Oleh Melky Koli Baran
Direktur YPPS dan Dewan Pengarah
PBH Nusra
SEMUA tahu bahwa Indonesia negara hukum. Diajarkan di
sekolah-sekolah. Diceramahkan di berbagai kesempatan. Dalam praktek? Sering
jadi sekadar sandiwara.
Apa itu sandiwara?
Selain sebagai seni pentas, sandiwara itu kisah fiktif imajinasi pernulisnya.
Ke mana arah negara hukum ini, jika proses hukum berubah jadi sandiwara? Artikel ini terinspirasi oleh proses hukum
kasus “dokumen palsu” di Lembata.
Mana Dokumen Palsu?
Proses hukum kasus
ini telah memasuki tahapan pemeriksaan saksi. Laporan jurnalistik mengatakan,
pemeriksaan saksi sempat tersendat ketika bupati Sunur selaku pelapor tidak
hadir walau telah dipanggil tiga kali. Menurut KUHAP, pada panggilan ketiga jaksa
harus jemput paksa. Itu tidak dilakukan. Apakah karena ini sandiwara maka
tergantung sutradara dan penulis skenario?
Ketika diperiksa,
bupati Sunur mengaku bahwa dokumen yang dikirim ke MA itu produk DPRD. Kalau
produk DPRD maka dokumen yang dikirim ke MA itu bukan palsu. Berarti tidak ada
yang memalsukannya. Sama dengan saksi lainnya yang telah diperiksa. Berarti
bukan karangan Philipus Bediona dan Fransiskus Limawai sehingga mereka dituduh
memalsukan dokumen itu. Bahwa ada perubahan kata tanpa mengubah substansi, itu
merupakan kerja finalisasi karena ditugaskan lembaga DPRD dan menjadi urusan
internal lembaga DPRD. Jika kedua anggota DPRD ini melakukan kesalahan dalam
tugas finalisasi, maka yang berhak mengadili mereka adalah Dewan Kehormatan
DPRD. Bukan Pengadilan Negeri.
Polisi yang
menerima laoran bupati sepertinya mengabaikan hal ini. Jaksa yang menerima BAP polisi
juga demikian. Dalam eksepsi, penasehat hukum telah mempersoalkan hal ini. Tapi
majelis hakim tak peduli. Semua mengabaikan fakta bahwa dokumen itu produk DPRD
dan jika diadili, itu kewenangan Dewan Kehormatan DPRD, bukan PN. Dalam putusan
sela hakim bisa saja menolak gugatan ini karena itu ranahnya Dewan Kehormatan
DPRD. Juga karena tidak ada dokumen palsu sebagaimana dilaporkan bupati Sunur.
Apa sesungguhnya yang membuat majelis hakim tertarik mengadili perkara
ini?
Bupati Sunur pernah
jadi anggota DPRD, karena itu mestinya dia tahu kemana ia melapor. Polisi juga
mestinya mengabaikan laporan bupati Sunur, seperti yang dilakukan Polda NTT
dalam laporan untuk Ferdy Kodo, Ketua DPRD Lembata.
Jaksa penuntut umum
dan majelis hakim PN Lewoleba juga demikian. Mereka mestinya tahu bahwa yang
berhak mengatakan dokumen itu palsu atau tidak adalah DPRD, bukan bupati Sunur.
DPRD sendiri mengatakan dokumen itu sah, sementara bupati bilang “palsu”.
Polisi gesit memproses laporan bupati. Artinya polisi sepakat dengan bupati.
Jaksa juga melimpahkan ke pengadilan. Artinya sepakat dengan polisi dan bupati.
Majelis hakim dalam putusan sela juga memutuskan bahwa perkara ini dilanjutkan.
Artinya, memiliki keyakinan minimal sama dengan bupati, polisi dan jaksa.
Setelah mencermati
laporan-laporan jurnalistik tentang perkara ini, saya melihat bahwa proses
pengadilan yang sedang berjalan di PN Lewoleba itu memang aneh. Pengadilan
Negeri Lewoleba mengadili dokumen resmi DPRD yang dibilang palsu oleh bupati.
Sidang digelar sangat panjang hanya untuk membuktikan benar tidaknya laporan
bupati Sunur bahwa dokumen uji pendapat DPRD yang dikirim ke MA itu palsu.
Memang aneh! Sia-sia!
Sejak kasus ini
merebak, saya mempertanyakannya dalam satu artikelku setahun yang lalu. Saya
tanya kepada Reskrim Lembata yang menerima dan memproses laporan bupati. Saya
menulis, “Tahukah Kasatreskrim bahwa yang seharusnya mempersoalkan palsu
tidaknya sebuah dokumen adalah pemilik dokumen itu sendiri? Begitu rendahkah
nalar seorang Kasat Reskrim dan seorang Kapolres di sebuah Resort
Kepolisian?” Karena artikel inilah saya
mendapat SMS dari Kasat Reskrim mengatakan akan menghadirkan saya sebagai saksi
ahli dalam perkara ini. Aneh! Saksi ahli itu ada kualifikasinya.
Jika fakta
persidangan mengatakan bahwa dokumen yang dikirim ke MA itu produk sah DPRD
Lembata, maka manakah dokumen palsu yang dimaksudkan oleh bupati Sunur, Kasat
Reskrim dan Jaksa Penuntut?
Uji Dokumen
Tugas sidang
pengadilan ini juga untuk menguji dokumen ini. Mana palsu dan mana asli. Polisi
yang menerima laporan bupati dan memprosesnya itu minimal harus miliki dua
dokumen berbeda. Penyidik yang cerdas mestinya meminta kedua dokumen itu dari
pelapor (Bupati Sunur). Dalam laporannya ke polisi mestinya Sunur juga
menyerahkan kedua dokumen itu, satu asli dan satunya diduga telah dipalsukan.
Jika pelapor bilang
bahwa dokumen yang dikirim ke MA itu dipalsukan, maka polisi dan jaksa harus
menyita dokumen itu di MA sebagai barang bukti, yakni dokumen uji pendapat DPRD
Lembata tentang pemberhentian bupati. Setelah disita, harus juga diperlihatkan
bagian mana yang dipalsukan sebagaimana laporan bupati Sunur. Sebab laporan
bupati Sunur ke polisi adalah Philipus Bediona dan Fransiskus Limawai melakukan
tindak pidana pemalsuan dokumen uji pendapat DPRD tentang usulan pemberhentian
bupati Lembata Eliaser Yentji Sunur.
Karena pokok
perkara ini adalah dokumen yang dikirim ke MA itu telah dipalsukan oleh
Philipus dan Fransiskus, maka dokumen itu wajib disita dan diselidiki di dalam
persidangan di PN Lewoleba untuk membuktikan benar tidaknya pemalsuan itu. Itu
logika berpikirnya yang sering beda dengan proses hukum.
Pengadilan Yang
Dipaksakan
Informasi yang saya
himpun menyebutkan bahwa dalam tahapan persidangan yang telah lewat, polisi dan
jaksa belum memperlihatkan alat bukti itu karena belum menyita dokumen yang ada
di MA.
Dari informasi ini
saya punya tiga pertanyaan. Pertama, atas dasar apa polisi penyidik yakin bahwa
Philipus Bediona dan Fransiskus Limawai telah melakukan pemalsuan dokumen uji
pendapat DPRD ke MA jika belum menyita dokumen itu di MA? Kedua, atas dasar apa
jaksa mengajukan perkara pemalsuan dokumen ini ke pengadilan jika tidak punya
alat bukti berupa dokumen palsu? Ketika menjawab pertanyaan penasehat hukum
mengapa perkara dua anggota DPRD ini displit, jaksa enteng menjawab “karena
tidak cukup bukti”. Lalu ketika FP2L mempertanyakan stagnannya proses hukum
tersangka pembunuhan Lorens Wadu, jaksa bilang karena belum cukup bukti. Sangat
ambivalen! Ketiga, informasi yang saya himpun menyebutkan bahwa dokumen yang
dipegang polisi dan jaksa berbeda dengan dokumen yang ada di MA. Pertanyaannya,
yang dipegang polisi itu dokumen produk siapa dan dengan cara apa didapatkan?
Patut diduga, ada rekayasa dokumen baru. Kalau ya, maka inilah sesungguhnya
pemalsuan itu. Maka yang patut diadili bukan Philipus Bediona dan Fransiskus
Limawai tetapi orang lain. Bisa saja polisi atau jaksa.
Ada kesan,
pengadilan ini sangat dipaksakan. Mengapa? Apakah ada sponsor yang menyiapkan
dana untuk “sandiwara hukum” ini? Kita tunggu keputusan hakim. Jangan-jangan
hakim menghukum Philipus Bediona dan Fransiskus Limawai karena perkara ini
hanya sandiwara untuk buat senang yang lapor. Rakyat Lembata telah menonton sandiwara
hukum di negara hukum.
Sumber: Flores Pos, 28 September 2015
Sandiwara apa ya? Burhan Kia, si Sekwan diperiksa sebagai saksi. Ketika hakim memperlihatkan kepadanya BAP dia oleh Polisi, kontan dia menolak: Ini bukan keterangan saya di Penyidik. Lalu keterangan siapa itu? Tambah terang sandiwara ini dipanggung Lembata. Polisi main sandiwara? Kejaksaan menetapkan P21. Turut bermain juga? Siapa Sutradaranya? Berapa honor para pemain? Mahal tentunya.
ReplyDelete