TINDAKAN Bawaslu Provinsi NTT yang mengeluarkan
surat bernomor 210/Bawaslu-Prov/V/2014 yang sudah diputus oleh DKPP dengan
nomor putusan DKPP No. 22/DKPP-PKE-IV/2015 tanggal 9 Oktober 2015 masih terus
berlanjut. Honing Sanny melalui kuasa hukumnya, Petrus Bala Pattyona, Hendrikus
Hali Atagoran, dan F.X. Namang kembali mendatangi DKPP untuk mengadukan Bawaslu
Provinsi NTT.
Ketua Bawaslu
Provinsi NTT Nelce Ringu, Tim Asistensi Mikhael Feka, dan Anggota Bawaslu
Provinsi NTT Jemris Fointuna diadukan ke DKPP karena dianggap tidak patuh
menjalankan amar putusan DKPP.
"Kami kembali
mengadukan Nelce, dan kawan-kawan karena mereka tidak ada itikad baik dalam
memperbaiki kinerja, dan tidak patuh terhadap putusan DKPP," ungkap kuasa
hukum, Petrus Bala Pattyona di Jakarta, Jumat (27/11).
Keputusan
mengadukan Bawaslu NTT adalah merupakan langkah terakhir yang ditempuh pengadu,
karena dalam beberapa kesempatan pihak teradu tidak dapat diajak berbicara
untuk menyelesaikan persoalan dengan jalan musyawarah.
“Kami sudah mencoba
untuk menghubungi saudari Nelce, namun tidak ada respon dan bahkan mengatakan
bahwa semua yang dilakukan dalam menjalankan perintah DKPP sudah
dikoordinasikan dengan pihak Bawaslu RI, sehingga saya tidak akan membuat
perubahan atas surat klarifikasi yang kami kirimkan ke DKPP dan Bawaslu RI”
lanjut Petrus menjelaskan.
Sementara Kuasa
Hukum lainnya Hendrikus Hali Atagoran mengatakan selain peringatan keras
terhadap Ketua Bawaslu Provinsi NTT Nelce Ringu, peringatan kepada Mikhael Feka
dan Jemris Fointuna, Amar putusan dalam point ke-5 yang memerintahkan Bawaslu
NTT untuk membuat surat klarifikasi atas surat bernomor 210/Bawaslu-Prov/V/2014
yang menjadi pokok aduan pengadu. Amar putusan poin 5 ini, kata Hali memang
dilaksanakan dengan mengeluarkan surat bernomor 213/Bawaslu-Prov/X/2015.
"Namun, tidak
ada poin yang substansinya adalah mengklarifikasi poin kedua dan ketiga surat
nomor 210/Bawaslu-Prov/V/2015/. Pengadu menilai Pihak Bawaslu NTT terkesan
takut dalam membuat surat klarifikasi," ungkapnya.
"Bawaslu NTT
tidak profesional, dan karenanya harus diuji kembali kompetensinya, apakah
masih layak menjabat ketua dan/atau anggota Bawaslu NTT atau tidak,"
terang Hali menambahkan.
Honing Sanny
sebagai principal dari pengaduan ini menyampaikan bahwa pengaduan kedua yang
dilakukannya bukan didasari oleh ketidakpuasan atas putusan DKPP sebelumnya,
tetapi lebih dari itu sebagai upaya dalam meningkatkan kinerja dan kemampuan
Bawaslu NTT demi tegaknya demokrasi di bumi NTT.
"Saya tidak
sedang mengadili siapa-siapa. Yang saya lakukan adalah sebuah upaya untuk tetap
menjaga kehormatan Lembaga yang namanya Bawaslu. Lebih dari itu, ini adalah
sebuah pelajaran berharga bagi siapapun yang menjadi penyelenggara atau peserta
pemilu, bahwa kebenaran harus selalu dijunjung tinggi," kata Honing.
Bawaslu NTT diduga
melanggar pasal 5 Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Undang-undang Nomor
13 Tahun 2012, Undang Nomor 11 Tahun 2012, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2012
Tentang Kode Etik Penyelengara Pemilu, pasal 7 poin b, dan pasal 12. Pihak
pengadu berharap DKPP dapat memberikan sanksi yang tegas bagi para teradu demi
kehormatan lembaga Bawaslu/penyelenggara pemilu lainnya.
“Kami berharap DKPP
memberikan sanksi tegas kepada para teradu berupa pemecatan karena setelah
mendapatkan peringatan keras dari DKPP sesuai amar putusan DKPP No.
22/DKPP-PKE-IV/2015 tanggal 9 Oktober 2015 tidak menunjukan itikad baik dalam
menjaga nama baik lembaga, dan nampaknya tidak adanya usaha untuk meningkatkan
kualitas lembaga dalam menjalankan tugas dan peran sebagai penyelenggara
pemilihan umum,” ujar Petrus Bala Pattyona. (Yustinus Paat/FMB)
Sumber:
beritsatu.com, 28 November 2015
Ket foto: Ketua Bawaslu NTT Nelce P Ringu
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!