Oleh A Prasetyantoko
Pengajar di Unika Indonesia Atma
Jaya, Jakarta
IDIOM ”papa minta saham” mendadak tenar. Ada dugaan, ada permintaan saham PT Freeport Indonesia oleh para pemburu rente ekonomi. Kasusnya sudah melebar ke ranah politik dan sejauh ini belum terlihat ujungnya.
Sejatinya, bagi
PT Freeport Indonesia (PT FI), singgungan dengan politik sama sekali bukan hal
baru. Sejak kehadirannya pertama kali pada 1967, nuansa politik sudah sangat
kuat. Kini, mendekati berakhirnya kontrak pada 2021, aroma politik kembali
menyeruak.
Investasi asing
yang melibatkan sumber daya besar di negara berkembang selalu menyisakan
fenomena konspirasi. Potensi ”persekongkolan tak suci” antara pemodal dan
politisi lokal sangat besar. Apalagi, sektor pertambangan yang melibatkan
penjualan ”tanah dan air”, baik dalam arti harfiah maupun kiasan. Begitulah
kasus yang dialami Freeport-McMoRan Inc (FCX), induk perusahaan PT FI yang
berbasis di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat (AS).
Ladang Grasberg
di Papua menyimpan cadangan emas terbesar di dunia. Sekitar 93 persen produksi
emas FCX dihasilkan ladang Papua, hanya 6 persen disumbang pertambangan di
Amerika Selatan dan 1 persen Amerika Utara. Bagi perusahaan ini, mempertahankan
investasi di Papua adalah soal masa depan perusahaan. Lebih dari itu,
Pemerintah AS pun sangat berkepentingan.
Menghadapi
pelambatan ekonomi global serta penurunan harga komoditas, FCX mengalami
penciutan laba. Per Mei 2015, perusahaan ini mengalami penurunan laba 1,3
miliar dollar AS dengan penjualan 21,7 miliar dollar AS. Di tengah situasi yang
kurang bersahabat, renegosiasi kontrak akan menjadi momentum yang sangat
krusial.
Sementara di
dalam negeri, keberadaan pemerintah baru dan perubahan kerangka regulasi
merupakan tantangan penting. Sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan, telah terjadi peralihan dari sistem
kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus. Dalam UU ini juga diatur,
renegosiasi kontrak baru bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir.
Mengingat
investasi pertambangan sangat mahal, diperlukan kepastian kontrak tersebut. Di
sinilah berbagai kepentingan domestik bermain memanfaatkan situasi. Dalam
konteks ini pula terjadi dugaan pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden
terkait pengalihan saham.
Harian Financial
Times (19/11/2015) menulis, kasus ini hanya akan meningkatkan ketidakpastian
investasi Freeport di Indonesia setelah larangan ekspor mineral mentah.
Dengan mengacu
pada kerangka regulasi yang sudah ada, pemerintah baru mengajukan lima syarat
perpanjangan kontrak. Pertama, perpanjangan baru diberikan dua tahun sebelum
kontrak habis, artinya 2019. Kedua, muatan lokal ditingkatkan agar berdampak
bagi perekonomian domestik dan lokal. Ketiga, kewajiban mendivestasi 30 persen
saham dari posisi sekarang, yakni 9,36 persen yang dimiliki pemerintah.
Keempat, meningkatkan pembayaran royalti tembaga menjadi 4 persen, emas menjadi
3,75 persen, dan perak menjadi 3,25 persen. Kelima, kewajiban membangun
fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) sebelum habis kontrak pada 2021.
Beberapa hal
teknis belum dibicarakan sehingga memunculkan ruang pemburuan rente. Misalnya,
tentang mekanisme divestasi 20,64 persen saham senilai kurang lebih Rp 48
triliun, apakah melalui pengalihan saham atau pasar modal.
Pada periode 30
tahun pertama kontrak karya 1967-1997, selain terjadi pengalihan 9,36 persen
saham pada Pemerintah Indonesia, juga terjadi pengalihan saham 9,36 persen dari
PT Indocopper Investama kepada PT Nusamba yang kembali lagi ke FCX. Setiap
proses pengalihan saham selalu diwarnai drama politik.
Dengan komitmen
pemerintah di bawah Presiden Joko Widodo untuk membenahi segala bidang, ada
momentum mereformasi iklim investasi asing di Indonesia. Dalam investasi
langsung, Indonesia semakin diperhitungkan dan akan terus meningkat. Dipastikan
transaksi bisnis yang melibatkan investor asing besar akan kian intensif.
Namun, ada
banyak perusahaan domestik yang juga semakin besar. Baik pelaku asing maupun
domestik sama-sama membutuhkan kepastian kerangka regulasi dan komitmen politik
yang kuat.
Komitmen
pemerintah baru melalui politik anggaran tak diragukan lagi. Sementara, dari
sisi kerangka regulasi juga mulai terlihat dari berbagai paket kebijakan yang
sudah mencapai paket VI. Dalam paket kebijakan tersebut, pada dasarnya
pemerintah memberikan jaminan dan kepastian hukum bagi pelaku swasta.
Meletupnya kasus
”papa minta saham” bisa menjadi momentum pembenahan iklim investasi di
Indonesia. Jika itu dilakukan, pasti akan menjadi sinyal positif bagi pelaku
usaha besar, baik asing maupun domestik.
Pada September
lalu, John McBeth menulis begini, ”Why Indonesia is Going Nowhere Fast Under
Jokowi: Jakarta is losing the international perceptions game.”
Presiden Jokowi
tengah kehilangan kepercayaan, baik di mata publik domestik maupun
internasional. Ini saat yang baik untuk memulihkan kepercayaan lewat sikap
tegas menyingkirkan para pemburu rente dari lingkungan dekatnya.
Sumber: Kompas,
23 November 2015
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!