Headlines News :
Home » , » Romo Avent Saur SVD: Melayani Umat dalam Pasungan

Romo Avent Saur SVD: Melayani Umat dalam Pasungan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, November 29, 2015 | 8:57 PM

Ketua Lingkungan meminta Romo Avent memberikan Sakramen Tobat untuk seorang umat. Ia terkejut, umat yang dilayani terpasung dalam kondisi mengenaskan. Dialah pastor orang gila.

SATU hari di bulan Februari tahun lalu, Romo Avent Saur SVD merayakan Misa di Lingkungan Kurumboro, Paroki St Martinus Roworeke, Keuskupan Agung Ende. Pelayanan ini biasa ia lakukan saban Minggu meskipun Romo Avent sebenarnya bukanlah gembala di paroki yang berada di pinggiran kota Ende, Flores, NTT itu.

Usai Ekaristi, Hendrik seorang Ketua Lingkungan mendatangi Romo Avent. “Bisakah Tuang (Pastor) mendengarkan pengakuan seorang umat yang sedang sakit?” tanyanya singkat. Sang imam menyanggupi permintaan itu. Bahkan, ia juga berniat memberikan Komuni kepada orang itu. “Umat saya gangguan jiwa. Dia memaksa bapaknya untuk men cari pastor,” dengan berbisik Hendrik menje laskan kondisi umatnya. Kondisi ini membuat Romo Avent terkejut.

Umat terpasung

Sama sekali tak terbetik sedikit pun kecemasan dalam diri Romo Avent. Ia tetap memegang teguh niat semula. Lalu, ia bersama Hendrik mengayun langkah menuju rumah umat itu. Jarak antara kapel tempat Ekaristi dirayakan dengan lokasi tujuan hanya puluhan meter.

Tempat yang mereka kunjungi adalah rumah milik keluarga Rafael Wanda. Umat yang sakit adalah Anselmus Wora, putra Rafael. Tiba di depan rumah berukuran 6 x 7 meter itu, Rafael menyambut kedatangan Romo Avent dan Hendrik dengan mimik gembira. Ia bersyukur keinginan buah hatinya terkabul.

“Anselmus, Tuang datang,” teriak Rafael saking gembira mengabarkan kepada putranya. Begitu Romo Avent berdiri di depan kamar berukuran 3 x 3,5 meter, lehernya seolah tercekat. Aroma anyir menyodok penciumannya. Tak dinyana sumber bau itu adalah borok di kedua kaki Anselmus yang terpasung. Luka itu membusuk bahkan belatung telah bersarang di sana.

Anselmus melempar pandang kewajah Romo Avent. Sambil menangis, ia memohon agar Romo Avent melonggarkan atau melepaskan jepitan kakinya.“Tuang, tolong saya. Kaki dan pantat saya lu ka. Saya tidak bisa mandi, sulit buang air kecil dan besar,” keluhnya dengan sesenggukan.

Sudah lima bulan suami Alfira itu dipasung. Kejadian bermula ketika Anselmus menghabisi nyawa Leonardus Langi, Mosalaki (Tetua Adat) dan mantan Kepala Desa Tiwu Tewa, Ende Timur pa da Oktober dua tahun lalu. Setelah sempat “kucing-kucingan” dengan petugas keamanan, Anselmus akhirnya berhasil dicokok gabungan Polsek dan Polres Ende.

Lelaki yang sempat merasakan bangku kuliah di jurusan Matematika, Universitas Flores, Ende itu luput dari jeratan hukum. Hasil pemeriksaan medis di RS WZ Yohanes, Kupang menyatakan, Anselmus mengalami gangguan jiwa. Polisi pun memulangkannya. Mereka meminta keluarga untuk mengurusnya.

Luput dari pasal pidana, tak berarti Anselmus bisa menghirup udara bebas. Ia diganjar hukum sosial dan kebiasaan setempat, yakni pasung. Anselmus sedikit beruntung meski kondisinya memprihatinkan. Sebelumnya, ada beberapa orang sepertinya meninggal dengan kaki masih terpasung, kata Romo Avent mengutip informasi warga.

Romo Avent mendatangi keluarga korban. Ia meminta mereka melepaskan pasung Anselmus. Namun, keluarga Leonardus bergeming. Usaha mantan Pastor Rekan Paroki Hati Yesus yang Maha kudus, Ili, Keuskupan Maumere itu baru menuai hasil setelah menyambangi Bupati dan Uskup Agung Ende, Mgr Vincentius Sensi Potokota. Setelah mereka turun tangan, Anselmus dilarikan ke RSUD Ende.

 


Melayani orang gila

Perjuangan dan perhatian Romo Avent terhadap Anselmus tak berhenti sampai di situ. Selama Anselmus dirawat, ia dan Komunitas Sastra Sare rutin menjenguk korban pasung asal Kurumboro itu. Mereka menggelar kegiatan Malam Puisi Ende untuk membangkitkan kepedulian masyarakat, secara khusus orang muda di Ende terhadap Anselmus dan para penyandang gangguan jiwa lain.

Setelah borok di kaki dan tubuh Anselmus sembuh. Romo Avent berupaya agar Anselmus mendapat perawatan lanjut di panti rehabilitasi. Gayung bersambut. Dinas Sosial Kabupaten Ende mengabulkan permohonannya. Dinas Sosial kemudian merujuk Anselmus ke Panti Rehabilitasi Renceng Mose, Manggarai, Flores, NTT.

Perjumpaan dengan Anselmus ternyata menggugah kesadaran Romo Avent. Sejak peristiwa itu, ia senantiasa menyapa dan menolong para penderita gangguan jiwa. Prinsipnya sederhana, gangguan jiwa tidak menghilangkan jati diri para penderita sebagai manusia. Dengan demikian, sebagai sesama, kita harus memperhatikan dan menyembuhkan mereka yang sakit. “Seperti orang haus, ya harus kita beri air,” ungkapnya singkat.

Keranjingannya melayani orang tak waras, membuat banyak umat melabeli dia sebagai “Pastor orang gila”. Imam kelahiran Weto, Manggarai Barat, 33 tahun silam itu tak keberatan dengan predikat tersebut. Bagi Romo Avent, karya yang ia lakukan sebenarnya bisa dibuat semua orang.

Dari hasil refleksi Romo Avent, pastoral untuk para penyandang gangguan jiwa, bukan soal nekad atau berani. Pelayanan untuk mereka hanya butuh kemauan dari diri masing-masing. Mereka juga umat Allah. Jika mereka disebut umat, haruslah mendapat perhatian dan pelayanan yang sama seperti umat lain.

Tidak standar

Romo Avent pun mengakui tak semua orang menyukai karya pastoralnya untuk para penyandang gangguan jiwa. Apalagi jika lewat tulisan, ia membeberkan fak ta minimnya perhatian dan layanan publik untuk orang-orang tak waras. Namun sebagai pastor dan wartawan, ia harus mewartakan kebenaran, apa pun konsekuensinya. “Bukankah Yesus juga mendapat perlakuan yang sama dalam kar ya pelayanan-Nya?” tanyanya.

Sejak Oktober 2012 Provinsial Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini, SVD) menugaskan Romo Avent di Flores Pos, surat kabar milik tarekat SVD. Di celah karyanya sebagai insan pers, ia diminta Pastor Kepala Paroki Roworeke, Romo Heribertus Avelinus untuk melayani umat di beberapa stasi dan lingkungan di parokinya.

Nampaknya Romo Avent tak ingin menjadi seorang gembala yang standar, atau imam yang hanya menjalankan tugas sesuai perutusan serikat atau uskup. Ia mendorong kaum klerus punya keberanian dan kekhasan karya pelayanan untuk umat selain tugas yang diberikan oleh serikat atau keuskupan. Dengan catatan, karya tersebut tidak bertentangan dengan tugas utama, hukum, dan moral.

Berangkat dari pengalaman karyanya, Romo Avent berpesan kepada rekan-rekan imam agar mereka tak hanya pandai atau terampil berkhotbah di mimbar. Sebagai kaum tertahbis, ia malu andaikata ada pastor yang berapi-api mengajak umat, giat membantu sesama, tapi dirinya sendiri loyo menjalankan pesan yang keluar dari mulutnya.

Romo Avent berharap, para imam jangan hanya mampu memimpin Ekaristi atau mengurus administrasi paroki. “Tugas utama imam adalah melayani umat. Bagaimana mungkin dia bisa melayani jika tidak pernah bertemu, berdialog, dan mengenal kondisi umat dengan beragam kom pleksitasnya,” katanya menantang.

Ia mengusulkan, agar tiap keuskupan punya kebijakan pastoral khusus untuk orang-orang yang mengalami gangguan jiwa. Lebih lanjut, sarannya, keuskupan bisa menjalin kerjasama dengan Dinas Sosial atau tarekat yang punya fokus pastoral di bidang tersebut. Dengan demikian, layanan kepada umat Allah yang “berbeda” bisa tertangani secara optimal. “Semua rumah sakit di Flores dan pulau-pulau sekitar belum ada dokter jiwa,” kata Romo Avent. 
Ansel Deri/Yanuari Marwanto
Sumber: HIDUP Edisi 46 Tanggal 15 November 2015
Ket foto: Pastor Avent Saur SVD bersama orang yang mengalami gangguan jiwa.
Foto: dok fb Avent Saur
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger