Oleh Boy
Rafli Amar
Kadiv Humas Polri
SALAH satu persoalan besar yang tengah dihadapi
bangsa Indonesia adalah merosotnya nilai-nilai jati diri akibat pengaruh
perkembangan lingkungan lokal, regional, ataupun global.
Namun, di sisi lain, pengaruh
lingkungan juga bisa berdampak positif untuk mewujudkan karakter bangsa
Indonesia yang lebih kokoh dan tangguh.
Untuk Indonesia yang berdaulat dan
berkepribadian, ada Nawacita yang salah satunya adalah revolusi mental dalam
membangun bangsa. Di lingkungan Polri, Kapolri dalam Program Quick Wins Renstra
Polri tahun 2015-2019 telah menjabarkan Nawacita dengan agenda "Polri
sebagai Penggerak Revolusi Mental dan Pelopor Tertib Sosial di Ruang Publik".
Revolusi mental sebagai program
Nawacita ke-8 dan Program Quick Wins Polri nomor 6, dilaksanakan melalui jalur
pendidikan dan pelatihan. Di sinilah sarana transfer pengetahuan dan
keterampilan sekaligus proses pembelajaran berkelanjutan.
Profesional dan unggul
Dalam sasaran rencana strategis Polri
2015-2019, pada poin 2 terdapat agenda yang sejalan dengan revolusi mental,
yaitu terbangunnya Polri yang profesional, bermoral, modern, dan unggul. Dalam
kaitan dengan itu semua, patut kiranya di Hari Bhayangkara ini, kita
menjadikannya ajang otokritik kelembagaan untuk memampudayakan seluruh sumber
daya manusia (SDM) kepolisian. Anggota Polri harus kembali kepada jati diri
yang sungguh-sungguh memaknai nilai-nilai Pancasila.
Kiranya perlu pemikiran ulang terhadap
posisi polisi, baik dalam rangka menerjemahkan tugas sebagai pelindung,
pengayom, dan pelayan masyarakat, maupun tugas-tugas lainnya.
Dalam kesempatan yang berharga ini
perlu dimulai rejuvinasi atau upaya menghilangkan kejenuhan untuk memulihkan
kebugaran mental aparatur kepolisian. Dengan demikian, upaya ikut mendorong
terciptanya Revolusi Mental bisa dilaksanakan segenap anggota Polri.
Kekuatan moral itu adalah kemauan
bisa "merasa" dalam perspektif luas. Merasa sebagai bhayangkara yang
terpanggil untuk melindungi segenap bangsa dan negara. Merasa sebagai pejuang
dan penegak hukum yang menjunjung tinggi keadilan. Merasa sebagai pelayan
publik yang senantiasa bekerja dengan derma tulus dan ikhlas. Kemauan bisa
merasa ini menjadi modal sosial sekaligus arsenal untuk mewujudkan Revolusi
Mental.
Rombak manusia
Seperti yang sudah ditulis Presiden
Jokowi saat masih menjadi capres (Kompas, 10 Mei 2014), pembangunan bangsa
tidak mungkin berjalan maju kalau sekadar mengandalkan perombakan institusional
tanpa merombak manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem. Sehebat
apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan
salah kaprah, tidak akan membawa kesejahteraan.
Menurut Jokowi, sudah saatnya
Indonesia bertindak korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang
sudah berjalan, tetapi dengan mencanangkan revolusi mental yang menciptakan
paradigma, budaya politik, dan pendekatan pembangunan bangsa baru yang lebih
manusiawi, sesuai dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Indonesia memang memerlukan terobosan
budaya politik untuk memberantas segala praktik buruk yang sudah terlalu lama
berlangsung. Kita tahu, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla
mengangkat gagasan Trisakti Bung Karno sebagai jiwa dan panduan revolusi mental
melalui tiga prinsipnya: Indonesia yang berdaulat secara politik, Indonesia
yang mandiri secara ekonomi, dan Indonesia berkepribadian secara sosial budaya.
Dalam pandangan Presiden Jokowi-JK,
istilah mental dipersepsikan sebagai pola pikir, sifat, dan kebiasaan yang
menyeluruh baik individu, kelompok, maupun masyarakat untuk bertransformasi
menjadi lebih baik.
Tindak lanjut dari konsep Presiden
Jokowi-JK dijabarkan dalam tiga program, yaitu Indonesia Ramah, Indonesia
Mandiri, dan Indonesia Kita.
Pijakan baik dan bersih
Bagi Kepolisian Republik Indonesia,
revolusi mental adalah titik awal batu lompatan dalam menciptakan polisi dan
lembaga kepolisian yang baik dan bersih.
Dengan menjadikan "bisa
merasa" sebagai kekuatan moral, diharapkan seluruh insan Polri dapat
melakukan kerja-kerja extraordinary (luar biasa). "Bisa merasa"
adalah ungkapan yang memberikan dorongan untuk pertama-tama meyakini bahwa
kekuatan moral adalah pilar utama dalam melaksanakan tugas dan kewajiban
sebagai aparatur bhayangkara. Dengan demikian, Polri bisa menjadi lembaga yang
menginspirasi perbuatan-perbuatan nasional.
Kepribadian adalah modal, tidak hanya
dalam bentuk aktualisasi pelaksanaan tugas, tetapi sekaligus juga identitas
utama yang harus digenggam sebagai perilaku yang memiliki nilai-nilai
kemuliaan. Insan Bhayangkara harus menjadi teladan, kepada diri sendiri,
keluarga, organisasi, dan terlebih kepada kepentingan bangsa dan negara secara
luas.
Keunggulan moral dapat diterjemahkan
sebagai berikut: Pertama, melampaui ruang dan waktu. Artinya, kekuatan moral
sebagai sesuatu yang otentik dan genuine bisa berlaku kapan saja dan menjadi
kekuatan moral dalam pencapaian tugas.
Kedua, kekuatan moral sangat efektif
untuk menyelesaikan tugas-tugas pokok kepolisian. Ketiga, kekuatan moral akan
memberikan inspirasi untuk menghormati tiang-tiang kebaikan berbangsa dan
bernegara.
Dengan demikian, perjuangan
keorganisasian ataupun kelembagaan didasari dengan kekuatan moral. Kekuatan
moral juga menjadi pemandu untuk menjaga pola perilaku yang prima.
Upaya pencapaian
Bagaimana mencapainya? Perlu strategi
untuk mengukur program dan kegiatan revolusi mental. Caranya, dengan membuat
cetak biru landasan kerja jangka pendek, menengah, dan panjang. Perlu pula
dibentuk Gugus Respons untuk Penerapan Revolusi Mental (GRUP Revolusi Mental)
di semua satuan Polri yang berorientasi pada pemampudayaan sumber daya manusia
kepolisian.
Semua itu menjadi bagian dari upaya
polisi berbenah, bukan karena desakan publik, tetapi karena keberhasilan
otokritik internal. Dengan demikian, kita dapat menciptakan embrio-embrio
kegiatan baik internal maupun eksternal yang melibatkan partisipasi publik.
Sekali lagi, "bisa merasa"
adalah kekuatan moral untuk mengembangkan Prima Rasa yang meliputi sikap-sikap
profesional, responsif, berintegritas, modern, dan mampu beradaptasi.
Penguatan Prima Rasa perlu
dukunganpsychological capital yang meliputi terpeliharanya harapan bahwa insan
Polri dapat mencapai tujuan organisasi dengan terpeliharanya optimisme dan
ketangguhan mental.
Agar aplikasi Prima Rasa membumi,
dibutuhkan tagline yang bisa membantu polisi menjalankan Revolusi Mental.
Inilah yang diwujudkan dengan moto "Kerja 24 jam PLUS (Pelayanan Lebih
Upaya Solutif)".
Semoga di hari ulang tahunnya yang
ke-70, Kepolisian Negara Republik Indonesia semakin solid, profesional, dan
membanggakan bangsa.
Sumber: Kompas, 1 Juli 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!