Oleh Yudi Latif
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KABUT kecemasan
mengepung dunia, menyulut sentimen primordial di berbagai belahan bumi. Api
permusuhan dan penyingkiran “yang berbeda” menjalar mulai dari Timur Tengah
hingga Eropa, Amerika Serikat hingga Amerika Latin, dari Myanmar hingga
Indonesia.
Arus
globalisasi membuka rongga kebebasan ruang publik dan intensitas perjumpaan
lintas peradaban. Kebebasan dan perjumpaan melambungkan banyak harapan.
Tingginya harapan pada kenyataannya tidak selalu sejalan dengan pemenuhan
ekspektasi keadilan. Jarak lebar antara kebebasan dan keadilan itulah yang
melahirkan kecemasan dan kekerasan.
Dalam
konteks Indonesia, Orde Reformasi melahirkan momentum keterbukaan ruang publik
dan pemberdayaan “masyarakat sipil” (civil society). Hal ini ditandai oleh
penguatan kembali hak-hak sipil, kebebasan berpendapat, berkumpul dan
berorganisasi.
Walaupun
demikian, nilai-nilai demokrasi tidak bisa ditegakkan dengan mudah di tengah
kuatnya budaya feodalisme, rendahnya tingkat pendidikan, buruknya situasi
ekonomi, dan lemahnya supremasi hukum. Pengembangan demokrasi dan reformasi
politik tanpa dukungan tertib hukum dan keadilan sosial-ekonomi seringkali
dibarengi dengan konflik sosial, disintegrasi, dan kekerasan etno-religius.
Dengan kata
lain, penguatan demokrasi dan masyarakat sipil menghendaki adanya kebebasan
yang bersejalan dengan keadilan. Dalam sistem politik otoritarian, ancaman
utama terhadap kebebasan muncul dari negara. Dalam sistem demokratis, ancaman
itu justru muncul dari kekuatan-kekuatan masyarakat sipil, dalam bentuk
fanatisisme komunalistik.
Fanatisisme
merupakan antipoda dari masyarakat sipil karena menolak rasionalitas, prinsip
representasi dalam politik serta pemerintahan hukum (konstitusional) sebagai
bantalan vital demokrasi. Kelompok-kelompok mapan yang mengalami kemunduran
atau kalangan yang terlempar dari gelanggang politik formal akan mengembangkan
fanatisisme dan cenderung bersikap “iri” (resentment) terhadap kebebasan,
partisipasi dan modernisasi.
Tetapi
fanatisisme tidaklah muncul tanpa akar. Ia muncul akibat terganggunya
basis-basis keadilan dan distorsi komunikasi dalam ruang publik. Berdasarkan
pengalaman lintas-negara, banyak kekerasan dan konflik sosial terjadi akibat
ketidakadilan (nyata maupun perseptual) dalam alokasi sumberdaya, penyerobotan
lahan kehidupan serta deprivasi sosial, baik dalam relasi domestik maupun
internasional.
Ketidakadilan
dan ketercerabutan sosial-ekonomi ini diperparah oleh pelumpuhan daya-daya
komunikatif dalam ruang publik karena penundukan sistem nilai kebajikan hidup
bersama (lifeworld) oleh dunia sistem kapitalisme.
Keadilan
hukum terganggu ketika warga negara diberi perlakuan yang berbeda atau tak
diberi perlindungan oleh negara atas hak-hak sipil-politik dan hak-hak
ekonomi-sosial-budayanya. Jika warga negara gagal memperoleh perlindungan dari
negara, secara alamiah mereka akan mencari perlindungan dari sumber-sumber yang
lain. Sumber-sumber alternatif ini bisa dalam bentuk fundamentalisme keagamaan,
tribalisme-etnosentrisme, premanisme, dan koncoisme.
Ketidakadilan
ekonomi terganggu manakalala perluasan ruang partisipasi di bidang politik
tidak seiring dengan perluasan partisipasi di bidang ekonomi. Di Indonesia,
pergeseran ke arah sistem politik demokratis yang membawa serta gelombang
aspirasi neo-liberal dalam perekonomian terjadi ketika tradisi negara
kesejahteraan masih lemah.
Penetrasi
kapital dan kebijakan pro-pasar di tengah-tengah perluasan korupsi serta
lemahnya regulasi negara, memberi peluang bagi merajalelanya
“predator-predator” ekonomi raksasa, yang secara cepat memangsa pelaku-pelaku
ekonomi menengah dan kecil. Ekspansi kepentingan predator besar ini tak
berhenti pada dunia usaha, melainkan juga menyusup ke soal perumusan
perundang-undangan bahkan sampai pada pemilihan pejabat pemerintah di daerah.
Kesenjangan ekonomi melebar yang menyulut kecemburuan sosial.
Dengan
demikian, untuk mencapai demokrasi substantif, kebebasan di ruang publik harus
dikelola secara dewasa. Kebebasan harus digunakan secara bertanggung jawab
dalam rangka “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dengan berdasar atas persatuan, dengan mewujudkan keadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia”.
.
Konsolidasi
demokrasi di Indonesia akan berhasil jika kita mampu mengelola tuntutan
kebebasan yang bersejalan dengan keadilan. Jika keduanya tak berjalan
berkelindan, ancaman yang akan kita hadapi tidak saja soal disintegrasi sosial,
tapi juga akan hancurnya kerekatan sosial dalam masyarakat.
Bila
kerekatan sosial hancur, akan tumbuh social distrust (iklim tidak saling
mempercayai) di antara kelompok-kelompok sosial, sehingga kelompok yang satu
dengan yang lainnya akan saling curiga, saling bermusuhan atau bahkan, yang
paling mengerikan, adanya upaya untuk saling meniadakan. Dalam situasi
demikian, mimpi buruk Hobbesian berupa “perang semua lawan semua” (war of all
againts all) bisa jadi kenyataan. Dengan ini, kita sadar, betapa pentingnya
melakukan refleksi diri, membuka hati penuh cinta untuk yang lain.
Sumber: Kompas,
29 November 2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!