Headlines News :
Home » » Papua dan Jokowi

Papua dan Jokowi

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, May 18, 2017 | 3:41 PM

Ansel Deri 
Staf Ahli Anggota DPR RI 

PAPUA, kita tahu, merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang selalu mendapat perhatian (lebih) setiap Presiden sejak rezim Pak Harto tanggal. Mulai dari BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY hingga Jokowi. Namun pertanyaan retoris segera lahir.

Mengapa provinsi paling timur matahari terbit itu masih menyimpan seribu satu wajah ketertinggalan di tengah gelimang SDA yang merupakan salah satu penyokong pemasukan ekonomi nasional melalui –salah satunya– perusahaan tambang raksasa, Freeport Indonesia, dari perut Nemangkawi? Mengapa pula provinsi yang berhadapan muka dengan negara tetangga, Papua Nugini itu, kerap diterpa aksi kriminalitas atau sipil bersenjata yang segera dikait-kaitkan dengan kelompok OPM?

Pertanyaan retoris di atas menjadi relevan, termasuk semua pihak (stakeholder) dan elite politik tak hanya di tingkat nasional, tapi juga lokal. Mengapa? Bila mau jujur, Papua sudah memantik perhatian pemerintahan Presiden Jokowi. Setahu saya, selama memimpin Presiden Jokowi memiliki perhatian besar terhadap Papua.

Sentra perhatian itu boleh jadi dilatari dua alasan. Pertama, Papua masih jauh tertinggal dalam pawai dan dinamika pembangunan dibandingkan provinsi lain. Kedua, gelontoran dana bersumber dari APBN ke Papua setiap tahun nilainya mencapai triliunan rupiah. Namun, jumlah itu belum berimbang dengan kemajuan daerah dan masyarakat.

Menyapa Papua

Pada Selasa (9/5) lalu, pemerintah dan masyarakat Papua kembali dibuat senang. Presiden Jokowi dan Ibu Negara Iriana bersama sejumlah menteri dan Panglima TNI menyambangi Papua. Kadatangan Presiden kali ini dalam rangkaian kunjungan Lintas Nusantara sejak Sabtu (6/5) yang dimulai dari Aceh.

Perhatian pemerintah pusat terhadap Papua tak sekadar terlihat dari berbagai kunjungan guna menginspirasi masyarakat agar –meminjam slogan yang kerap didengung-dengungkan– kerja, kerja, kerja. Namun, itu sekaligus memastikan bahwa triliunan anggaran yang digelontorkan ke tanah Papua saban tahun harus tepat sasaran dan berdaya guna memajukan masyarakat dan daerah itu lebih sejahtera, aman, dan damai.

Dalam RAPBN Tahun 2016, misalnya, anggaran bagi Papua melalui alokasi dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 5,4 triliun. Sedangkan Papua Barat mendapat alokasi sebesar Rp 2,3 triliun. Jumlah ini masih digabung dengan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otsus Papua dan Papua Barat sebesar Rp 3,3 triliun. Jumlah dana tambahan infrastruktur ini dibagi masing-masing untuk Papua sebesar Rp 2,2 triliun dan Papua Barat sebesar Rp 1,1 triliun.

Tak hanya itu. Dalam RAPBN 2016, pemerintah juga mengalokasikan dana desa sebesar Rp 46,9 triliun, yang dialokasikan 90% secara merata kepada setiap desa, dan sisanya 10% berdasarkan jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa.

Gubernur Lukas Enembe di kantor gubernur Papua (15/12 2016) menjelaskan jumlah dana APBN Tahun 2017 untuk daerahnya. Ia mengakui, dalam APBN Tahun 2017, alokasinya meningkat sebesar Rp 56,85 triliun. Jumlah ini terdiri dari DIPA kementerian/lembaga atau satker sebesar Rp 13,68 triliun dan DIPA transfer ke daerah dan dana desa mencapai Rp 43,17 triliun. Meski demikian, anggaran puluhan triliun itu tak seluruhnya dikelola pemerintah Provinsi Papua, tetapi bagian dari kementerian/lembaga dan satker sebesar Rp 13,68 triliun. Sisanya sebesar Rp 43,17 triliun itu juga bagian dari APBD kabupaten/kota dan dana desa sehingga jumlahnya mencapai Rp 43,17 triliun.

Wajah paradoks

Meski merupakan provinsi dengan alokasi anggaran jumbo dan perhatian ekstra setiap berganti presiden, Papua masih menyimpan segudang persoalan. Butuh kesediaan dan kemauan kuat pemerintah, baik pusat maupun daerah, bersama masyarakat dan semua pemangku kepentingan agar serius seia-sekata memajukan masyarakat dan daerahnya dengan sumber dana dan sumber daya yang dimiliki, bergerak lebih maju. Wajah Papua hingga kini masih terlihat paradoks.

Cypri JP Dale dan John Djonga dalam Paradoks Papua (2011) melukiskan Papua adalah tanah yang penuh paradoks, ironi, dan kontradiksi. Eksploitasi kekayaan alamnya telah menghasilkan keuntungan tak terhitung bagi perusahaan-perusahaan nasional dan transnasional serta memberi kontribusi luar biasa bagi pembangunan Negara. Akan tetapi, tidak sedikit rakyatnya masih hidup dalam kemiskinan dan ketertinggalan.

Secara umum ada tiga dimensi kegagalan negara di Papua. Pertama, terkait tujuan negara untuk menciptakan keadilan sosial sebagaimana terumus dalam Pancasila dan UUD 45. Mayoritas orang asli Papua –terutama yang tinggal di pedalaman– tidak mendapatkan keadilan dalam bentuk pelayanan pemerintahan, pelayanan publik (terutama pendidikan dan kesehatan), pembangunan ekonomi, serta alokasi dana yang setara dengan warga negara non-Papua di Papua. Sebaliknya tanah dan kekayaan alam mereka diambil secara masif.

Kedua, terkait dengan HAM, negara belum mengambil langkah yang jelas untuk memenuhi hak atas pembangunan orang Papua. Sejauh ini orang Papua belum menikmati ‘proses ekonomi, sosial, kultural, dan politik yang menyeluruh’. Ketiga, terkait otsus, kendati signifikan dari segi jumlah dana kebijakan otsus tidak berhasil menyelesaikan persoalan pembangunan di Papua.

Dalam Pemekaran Wilayah di Tanah Papua (2012), Paskalis Kossay juga menyebut sejumlah faktor yang membuat otonomi khusus tidak berjalan mulus, tertatih-tatih selama sepuluh tahun sejak terbit UU itu. Namun, paling kurang ada empat faktor yang dapat dicatat di sini. Pertama, adanya inkonsistensi pemerintah terhadap pelaksanaan otsus. Kedua, tidak adanya pemahaman yang utuh terhadap roh dan jiwa lahirnya otsus.

Ketiga, adanya kebijakan yang mengesampingkan program prioritas sesuai amanat otsus seperti pendidikan, kesehatan, dan gizi, ekonomi kerakyatan, dan infrastruktur dasar dalam perencanaan pembangunan daerah. Keempat, belum adanya evaluasi kinerja pelaksanaan otsus secara komprehensif dan berkala sehingga faktor-faktor yang memperkuat dalam pelaksanaan otsus tidak dapat dipahami dengan tepat.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua sudah berjalan 16 tahun. Selama itu pula instrumen kebijakan ini telah memberi harapan baru bagi masyarakat dan daerah sekaligus menampakkan wajah paradoks. Meski demikian, paling kurang ada sejumlah catatan. Pertama, sejak pemerintahan Jokowi, Papua terus mendapat perhatian serius, terutama alokasi anggaran bersumber dari APBN. Perhatian itu diarahkan menyusul berbagai persoalan yang membelit Papua belum kunjung diminimalkan melalui kebijakan pembangunan di tingkat lokal sehingga daerah itu tetap terpenjara dalam pawai pembangunan.

Kedua, pemerintahan Jokowi-JK memberikan perhatian serius dan berkomitmen besar membangun Papua agar masyarakat lebih sejahtera lahir dan batin. Komitmen ini tampak sejak kampanye dan saat memulai tugasnya, termasuk alokasi anggaran dan intensitas kunjungan yang tinggi dengan berbagai gebrakan yang dibuat.

Jalan trans-Papua di ruas Wamena menuju Kenyam Agas sepanjang 287 kilometer, misalnya, menjadi salah komitmen Presiden Jokowi untuk dikerjakan. Selama ini ruas jalan ini baru dikerjakan 37 kilometer setelah Kepala Negara mengendarai motor trail dan memastikan kondisi jalan yang baru dibangun itu. Medan di Papua terbilang sulit untuk dibuka akses menghubungkan wilayah-wilayah lain.

Oleh karena itu untuk mengerjakan dengan cepat, pembangunannya diserahkan kepada pihak TNI dan Kementerian PU-Pera. Langkah ini boleh jadi merupakan salah pendekatan efektif. Dengan demikian, Papua meski jauh di mata tetapi selalu di hati Jokowi beserta seluruh jajaran pemerintahan baik di pusat maupun daerah.  
Sumber: Media Indonesia, 18 Mei 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

3 comments:

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger