Staf
Anggota DPR RI
Teror juga terjadi di kota Marawi, Mindanao selatan, kurang
lebih 800 kilo meter dari Manila. Pelaku tak lain adalah Maute, kelompok
pemberontak Islamic State of Lanao,
yang didirikan Abdullah Maute dan mendapat dukungan
kelompok Abu Sayyaf. Kelompok yang bermarkas di Lanao del Sur, Filipina, ini
diketahui mendapat dukungan Islamic State
of Iraq and Syria (ISIS), kelompok militan jihad yang tidak diakui di Irak
dan Suriah. Maute ingin mendirikan sebuah kekhalifaan di Filipina selatan.
Tatkala kelompok ini dikepung otoritas keamanan atas perintah
Presiden Rodrigo Duterte, baku hantam tak bisa dihindarkan. Aparat keamanan
setempat mengepung Marawi. Suara letusan pistol dan bom sejak Selasa (23/5)
sore hingga Rabu pagi waktu setempat terdengar bersahutan. Tiga aparat keamanan
tewas dan 12 warga terluka. Puluhan warga disandera teroris.
Katedral Santa Maria, Keuskupan Marawi, tak luput dari serangan.
Pastor Teresito Suganob, yang sedang mempersembahkan Misa pagi, sekretaris
paroki, dua karyawan dan sepuluh umat disandera. Para teroris mengancam
menghabisi tawanan, jika pemerintah memaksa untuk membebaskan mereka. Teror
Marawi membuat Duterte murka. “Kepada orang-orang sebangsaku yang pernah
mengalami darurat militer, ini tak akan jauh berbeda dengan yang pernah
diterapkan Presiden Marcos. Saya akan berlaku kejam,” ujarnya.
Teror juga terjadi di halte busway Kampung Melayu, Jakarta, Rabu
(24/5). Dua bom meledak pukul 21.00 dan 21.05 WIB. Teror Melayu terjadi di
tengah kegembiraan pawai obor sejumlah umat Muslim memasuki puasa Ramadhan.
Aksi teror ini memakan korban sekitar 25 orang, baik dari aparat maupun warga
sipil. Tiga anggota Polri Bripda
Gilang, Bripda Ridho, dan Bripda Tsunami berikut dua orang yang diduga pelaku,
menjemput ajal.
Motif teror
Teror Manchester, Marawi, dan Melayu menohok rasa kemanusiaan kita sebagai insan
ciptaan Tuhan. Tatkala teror terjadi dan memakan nyawa dan harta benda, beragam
reaksi muncul. Misalnya, aksi biadab itu melukai rasa kemanusiaan dan
pelanggaran terhadap prinsip
HAM universal. Sejarah
mencatat, bom yang melumatkan menara WTC pada 11 September 2011 di New York, adalah wajah
terburuk teror sepanjang sejarah.
Dalam konteks Indonesia, pertanyaan ini menarik. Teror bisa saja
membawa kita pada kesimpulan sementara bahwa aksi itu menunjukkan minimnya wawasan kebangsaan pelaku. Aksi teror seolah membuat rasa nasionalisme retak dan tercabik-cabik. Teror melenyapkan
kesempatan pemerintah dan masyarakat menuntaskan agenda pembangunan.
Zuhairi Misrawi dalam Pandangan Muslim Moderat (2010) menyebut, dalam konteks sebagai state, ada beberapa hal yang mendorong munculnya aksi terorisme.
Pertama, ambisi kekuasaan. Dalam banyak pengalaman, terorisme atau kekerasan
biasanya muncul dalam sebuah masyarakat yang memahami kekuasaan sebagai
perebutan hidup-mati. Menjadi kekhawatiran bersama bila aksi terorisme ini
tersimpan di belakangnya ambisi kekuasaan. Entah itu kekuasaan agama maupun
politik sekuler.
Kedua, munculnya terorisme juga bisa dikaitkan dengan
ketidakadilan sosial dan kesenjangan ekonomi. Bertambahnya jumlah pengangguran
–seperti kata Todung Mulya Lubis,
munculnya “disintegrasi sosial”– akan membentuk sebuah kenekatan yang
bermetamorfosa bagi terciptanya terorisme. Seorang warga negara tidak hadir
sebagai “warga”, tetapi hadir sebagai “pribadi yang hampa”.
Ketiga, munculnya terorisme karena ketidakmampuan kita
melahirkan alternatif pandangan yang mengakomodasi pluralitas, keadaban, dan
kemanusiaan. Dalam banyak hal, kita masih menemui cara pandang keagamaan yang
yang hanya terhenti pada tataran “saya” dan “aku”. Gejala disintergrasi dan
formalisasi Syariat yang berkembang belakangan secara diam-diam ingin
menampilkan egoisme dan keakuan. Padahal, sebagai bangsa yang dibangun di atas
kebinekaan kita mesti melihat keberagaman sebagai rahmat Tuhan yang mesti
diakomodasi dan diperkaya menjadi perekat bersama.
Philips J Vermonte dalam artikelnya, “Menangkal Terorisme Global” (2005) juga
berpendapat, ada sejumlah
alasan yang memproduksi terorisme. Pertama, kelompok-kelompok teroris di
berbagai tempat dengan cermat memanfaatkan kemudahan yang ditawarkan oleh
perkembangan pesat kemajuan teknologi dan komunikasi untuk mencapai tujuannya.
Kedua, tindak terorisme berlaku indiskriminatiif terhadap warga
biasa yang tidak terkait langsung dengan tujuan politik yang hendak dicapai
aksi teror yang dilakukan dan juga pada instalasi negara yang dipandang sebagai
target yang sah dalam pemahaman konvensional atas konsepsi perang.
Ketiga, kelompok-kelompok teroris tidak lagi bergerak dalam
sebuah situasi isolasi di mana fakta-fakta menunjukkan bahwa saat ini terorisme
sulit dipisahkan dari berkembangnya organisasi kejahatan transnasional
terorganisasi dalam berbagai ragam dan bentuknya. Mulai dari tindak kejahatan
pencucian uang, perdagangan ilegal obat bius dan juga perdagangan senjata
secara ilegal.
Perlu waspada
Insiden Manchester, Marawi, dan Melayu menyampaikan pesan
penting bahwa teror masih jadi ancaman di tengah
pesatnya kemajuan teknologi dan informasi.
Ia (teror) bersafari menembus ruang dan waktu. Di tingkat global, kelompok-kelompok teroris –seperti
pernah diuraikan Andi Widjajanto– telah mengkristal dalam tiga identitas:
militansi religius, ideologi, dan etnonasionalisme.
Teror seperti maling yang datang dan pergi tanpa diketahui. Teror bukan sekadar
wacana tetapi terang benderang di depan mata. Teror
Kampung Melayu adalah contohnya. Oleh karena itu kewaspadaan menjadi pilihan.
Pertama, kemajuan teknologi memudahkan siapapun dan kelompok maupun mendapatkan
akses informasi, tak terkecuali teroris. Oleh karena itu, untuk memantau
potensi teror pemerintah perlu ikut memantau pergerakan pelaku diikuti proses
penyadaran dan dialog melalui berbagai program pemberdayaan.
Kedua, dalam kenyataan aksi teror kian meluas tak
hanya di tingkat nasional tapi global. Karena itu, pemerintah perlu memperkuat
regulasi di bidang pencegahan tindak pidana terorisme. Jika abai, teror tetap
menemukan ruangnya.
Ketiga, teror juga lahir akibat kemiskinan,
ketidakadilan, dan kesenjangan. Pada titik
ini, peran semua pihak dipertaruhkan karena secara tidak langsung, pelaku teror
juga produk sosial.
Sumber: Suara Pembaruan, 5 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!