Oleh Mun’im Sirry
Profesor Teologi di Universitas Notre Dame, Indiana, AS
TAK diragukan, arus radikalisasi dan intoleransi agama belakangan kian menguat.
Dalam beberapa survei disebutkan, fenomena itu ditopang semakin meluasnya
pandangan keagamaan eksklusif, termasuk di kalangan generasi muda dan guru
sekolah. Salah satu cara membendungnya ialah dengan menggalakkan diskursus dan
aktivitas yang menjadi lawannya. Dan, dialog agama merupakan
"ancaman" bagi mereka yang mengadvokasi pandangan eksklusif tentang
kebenaran agama.
Itulah mengapa
semangat dan api dialog agama tidak boleh meredup. Dialog agama di sini
dimaksudkan mencakup interaksi antar dan intra-agama. Tentu saja ada banyak
alasan lain mengapa diskursus dan aktivitas tersebut perlu terus dikembangkan.
Dalam masyarakat yang plural dan terpolarisasi seperti Indonesia, dialog agama
dapat dijadikan alat untuk mengurangi ketegangan dan intoleransi yang
melibatkan pemeluk agama-agama berbeda.
Belajar dari
pengalaman, sebenarnya banyak kalangan ingin terlibat dalam dialog agama. Akan
tetapi, sebagian orang khawatir bahwa dialog dengan mereka yang berbeda keyakinan
dapat mengikis komitmen terhadap agamanya atau melunturkan identitas
keagamaannya.
Untuk meyakinkan
bahwa hal itu tidak akan terjadi, saya kerap menganalogikan dengan orang yang
belajar bahasa asing. Jika Anda belajar bahasa Inggris, semakin Anda lancar
berbahasa Inggris dan mengetahui budaya mereka yang menggunakannya, yang
terjadi bukanlah bahasa Indonesia Anda akan hilang. Sebaliknya, belajar bahasa
lain justru akan memperkaya penguasaan "bahasa ibu" Anda.
Meski demikian,
kekhawatiran sebagian kalangan perlu dibicarakan. Itulah yang menjadi tujuan
tulisan ini: mendialogkan apa yang kita maksud dengan "dialog agama".
Apa yang
didialogkan?
Dialog
mengasumsikan tingkat keterlibatan berbagai pihak dalam berbagi pandangan dan
pengalaman. Dialog bisa mengambil banyak bentuk, misalnya tukar pikiran,
khususnya dalam urusan teologi; berbagi pengalaman keagamaan, kerja sama dan
kolaborasi, atau dialog dalam relasi kehidupan bersama. Dan, masing-masing
bentuk dialog tersebut memiliki tujuan yang spesifik.
Di samping berbagai
tujuan yang spesifik, dialog agama diharapkan mendorong dan menumbuhkan
kesadaran, pengetahuan, dan apresiasi terhadap keragaman agama dan pemahaman
keagamaan secara lebih signifikan. Dialog yang produktif akan sulit berkembang
jika para partisipan tidak cukup terbuka untuk berbagi pengalaman keagamaannya
dan mengeksplorasi realitas keragaman pandangan. Karena itu, diperlukan
penerimaan bahwa keragaman pandangan keagamaan bukan hanya mungkin, melainkan
juga fakta otentik. Berbeda pandangan keyakinan bukan kesalahan teologis.
Ada dua kesalahan
umum tentang tujuan dialog agama. Pertama, tujuan utama dialog ialah mengubah
pandangan partisipan lain. Sebagian orang terlibat dalam dialog dengan
"ambisi" untuk mengubah pandangan pihak lain. Jika ini yang menjadi
tujuan, besar kemungkinan dialog menjadi ajang perdebatan. Memang, keterlibatan
dalam dialog diharapkan menumbuhkan sikap yang lebih apresiatif terhadap
keyakinan pihak lain. Artinya, apabila seseorang memang tidak akan pernah
mengubah sikap dan pendiriannya karena sudah memiliki pandangan yang fixed,
tidak ada manfaatnya ia ikut serta dalam forum dialog.
Akan tetapi, apakah
orang lain berubah atau tidak, seharusnya bukan concern peserta dialog. Tujuan
pertukaran pikiran adalah agar kita menjadi lebih informed sebagai
"bekal" untuk menyikapi keyakinan orang lain. Dengan kata lain,
dengan terlibat dalam dialog, seseorang dapat melihat agamanya sendiri dari
berbagai sudut pandang. Banyak peserta pemula dialog agama yang mengekspresikan
pengalaman menarik yang tidak pernah terjadi sebelum punya kesempatan
berinteraksi dengan orang-orang dari agama berbeda.
Kedua, dialog
adalah aktivitas dakwah atau misionari untuk mengonversi orang lain kepada
agama kita atau memindahkan orang lain kepada golongan kita. Persepsi ini salah
karena aktivitas tersebut lebih terkait soal "menang-kalah" yang
menjadi tujuan debat, bukan dialog. Dalam perdebatan, seseorang yang cakap
berargumen akan memenangi perdebatan, tetapi tidak dapat membuktikan kebenaran keyakinan.
Sementara itu, agenda dialog ialah untuk memahami "yang lain", bukan
memenangi argumentasi.
Perlu juga dicatat
bahwa dialog bukan arena untuk mencari-cari kesamaan antara satu agama dan
agama lain. Misalnya, melalui upaya penelusuran aspek-aspek esoteris untuk
menyingkap bahwa semua agama pada intinya adalah satu dan sama. Itu bukan
tujuan dialog agama. Persamaan tidak perlu dipaksakan. Yang diperlukan adalah
menghargai perbedaan.
Dua kesalahan umum
di atas perlu ditegaskan. Sebab, jika seseorang terlibat dalam kegiatan dialog
atau interaksi lintas agama dan golongan dengan motivasi yang salah, pertemuan
tersebut justru akan menjadi kontraproduktif, bahkan destruktif.
Beberapa pedoman
Supaya tidak
kontraproduktif, partisipan dialog agama perlu punya kerendahhatian untuk
mendengar pandangan yang lain. Biarkan orang bicara sampai selesai, jangan
terus diinterupsi. Kita boleh tidak setuju dengan pandangan pihak lain, tetapi
wajib memperhatikan dengan saksama. Untuk terlibat dalam dialog, seseorang
perlu tahu cara bicara yang sopan, bukan menyerang, apalagi menistakan
keyakinan orang lain. Untuk menunjukkan kita hebat dan superior, tidak perlu
dilakukan dengan merendahkan pandangan orang lain.
Sekilas, masalah
ini tampak urusan remeh-temeh. Akan tetapi, dalam dialog yang melibatkan
orang-orang yang cukup berpendidikan, dan sebagian juga sukangomong, panduan di
atas tidak mudah diterapkan. Tak jarang, fasilitator atau moderator dialog
kesulitan mengatur alur perbincangan karena masing-masing partisipan mau
memonopoli pembicaraan.
Catherine Cornille,
dalam The Im-Possibility of Interreligious Dialogue (2008), menyebut beberapa
persyaratan demi kesuksesan dialog agama. Pertama, humility (kerendahhatian).
Peserta dialog perlu memiliki sifat terpuji ini, baik dalam pengalaman
spiritual maupun doktrinal. Juga dalam cara menyampaikan pendapat atau
pandangan supaya tidak terkesan arogan dan sikap mau menang sendiri. Kita harus
menyadari, seberapa luas dan dalam pengetahuan kita tentang agama, tetap saja
sangat terbatas.
Kedua, commitment
to truth atau komitmen terhadap agama kita sendiri. Komitmen di sini perlu
dimaknai sebagai pengetahuan yang cukup tentang agama. Sulit dibayangkan
seorang terlibat dalam dialog, tetapi tidak tahu apa-apa tentang agamanya
sendiri. Dalam dialog, dia sebenarnya mewakili komunitas agamanya.
Ketiga,
interconnection, yakni perlunya keterlibatan para partisipan dialog untuk
saling memahami dan bekerja sama secara lintas golongan dan agama (religious
boundaries). Kesadaran interkoneksi ini memungkinkan seorang untuk
mengembangkan rasa solidaritas antarsesama umat manusia walaupun berbeda secara
keyakinan. Di sini, interkoneksi merupakan persyaratan penting agar dialog
agama menjadi bermakna.
Keempat, empathy.
Cornille memaknai empati sebagai "proses mentransformasi diri ke dalam
perasaan, pikiran, dan pengalaman orang lain". Dia menyadari bahwa empati
itu bersifat subyektif —karena pengalaman hidup bersifat sangat personal— tetapi
tetap diperlukan dalam dialog agama. Terakhir, hospitality atau keramahtamahan,
yakni sikap terbuka menyambut (seperti keramahan dalam menyambut tamu) dan
reseptif terhadap mereka yang punya pandangan keagamaan berbeda. Dengan kata
lain, peserta dialog mau mendengar dan belajar dari peserta lain.
Semua itu berarti —supaya
efektif dan sukses— dialog agama perlu persiapan, baik pada level individu
maupun institusi. Kesediaan belajar pandangan keagamaan yang berbeda, bahkan
mungkin terasa asing, bukan perkara mudah, terutama bagi mereka yang terbiasa
diajarkan "paling benar sendiri". Akan tetapi, itu diperlukan jika
kita mau hidup bersama secara bertanggung jawab di dunia yang kian beragam dan
interkoneksi.
Ada tantangan lain
bagi pemrakarsa dialog agama. Di kalangan akademisi, dialog agama tidak
dianggap bidang kesarjanaan yang serius. Dalam konteks itu, dialog agama perlu
berkontribusi bagi teologi agama-agama yang lebih viable. Juga, problem
intoleransi dan radikalisme agama cukup kompleks sehingga tak mungkin hanya
bisa diatasi dengan dialog agama. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi dengan
inisiatif-inisiatif lain untuk membendung militansi agama itu.
Sumber: Kompas, 5
Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!