Oleh Suhardi Alius
Kepala
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme RI
KONSER musikus Amerika
Serikat, Ariana Grande, di Manchester Arena, Inggris, Senin (22/5) malam waktu
setempat, telah mengguncang dunia. Aksi terorisme di akhir konser itu diduga
dilakukan dengan bom bunuh diri. Tragedi itu mengundang belasungkawa dari
berbagai negara dan mengutuk aksi terorisme tersebut.
Hanya berselang 2 hari setelahnya, bom bunuh diri terjadi di Kampung
Melayu, Jakarta Timur. Polisi yang bertugas mengawal pawai obor menjelang
Ramadan tak luput menjadi korban. Para petinggi ulama telah bersuara keras
mengutuk pelaku ledakan bom itu.
Mengutip kalimat Wakil Ketua MUI Zainut Tauhid, “Siapa pun pelakunya,
mereka manusia yang sudah kehilangan nilai kemanusiaan. Sangat biadab dan jauh
dari nilai-nilai agama.”
Aksi teror yang berusaha menarik perhatian dunia telah menjadi ciri khas
terorisme. Hal itu menjadi mudah bagi mereka dan seakan mendapat ruang besar
dengan kehadiran media yang lebih menyukai pemberitaan sensasional dan
ko¬mersial. Apalagi dengan aksesibilitas yang dihadirkan jejaring media sosial
dan internet, masyarakat pun terkadang latah turut menyebarkan foto-foto
korban.
Terorisme berkedok agama
Sebagian besar berasumsi menanggulangi terorisme dengan cara membombardir
pusat ISIS di Irak maupun di Suriah. Namun, meskipun IS semakin terjepit di
negara asalnya, seruan aksi teror di belahan dunia lainnya masih terus
dilancarkan. Kelompok ini telah menebarkan teroris asing (foreign terrorist
fighters/FTF) yang dapat mengancam setiap negara.
Keberadaan FTF semakin menguatkan apa yang pernah ditulis Ann E Robertson
10 tahun yang lalu (Terrorism and Global Security) bahwa terorisme yang terjadi
sekarang ini bisa terjadi kapan saja dan di mana saja, merupakan ancaman yang
serius bagi keamanan global dewasa ini.
Keberadaan FTF yang dapat ada di setiap negara menjadi ‘pekerjaan rumah’.
Indonesia sudah mengenal FTF sejak era Al-Qaeda. Eksploitasi situasi perang di
belahan Timur Tengah atas nama agama menjadi alat untuk merekrut jejaring baru
di Tanah Air. Kini, kehadiran FTF tidak hanya sekadar ideologi, solidaritas
seiman, tetapi juga dengan cara iming-iming kesejahteraan. Hal itu terbukti
dari keberangkatan WNI ke Suriah dengan membawa seluruh keluarganya karena
diimingi penghasilan yang besar.
Disadari bahwa berbagai aksi te¬ror yang mengguncang dunia kerap kali
memakai jargon keagamaan, jihad dan pengutipan kitab suci (seperti Islamic
State of Iraq and Syria-ISIS, Al-Qaeda, Al-Nusra, Taliban, dan Boko Haram).
Eksploitasi wacana, ajaran, dan simbol-simbol keagamaan yang digunakan dalam
aksi kelompok itu, menjadikan terorisme belakangan ini diidentikkan sebagai
suatu ajaran agama.
Fenomena itu seakan mendapatkan pembenaran teori dalam analisis kultural,
bahwa terdapat korelasi nilai-nilai/ideologi teroris dengan tindakannya. Namun,
analisis ini hanya menegaskan ajaran dan doktrin agamalah yang menggerakkan
mereka untuk melakukan aksi teror sebagai representasi ajaran agama. Tidak lagi
mampu menjelaskan seperti pemahaman yang keliru terhadap situasi politik atau
ketimpangan global, propaganda yang menggugah solidaritas identitas/seiman,
hingga kondisi pelaku teror secara sosial atau pun ekonomi, atau kekecewaan
psikis yang kemudian menggerakkannya melakukan aksi teror terhadap
simbol-simbol yang dianggap mewakili sasaran.
Penanggulangan terorisme dapat diwujudkan melalui analisis rasio¬nal dengan
memandang terorisme yang timbul karena adanya berbagai faktor penyebab, seperti
ekonomi, politik, psiko¬logis dan ideologis, meskipun terorisme menemukan
tempatnya berlindung di balik dalil-dalil agama.
Dalam perspektif inilah penanggulangan terorisme dapat berjalan efektif.
Apa yang dilaksanakan BNPT dengan mengelaborasi pendekatan keras (penegakan
hukum) dan pendekatan lunak (kegiatan pencegahan radikalisme di hulu dan
deradikali¬sasi di hilir) telah mendapat apresiasi internasional. Beberapa kali
BNPT diundang negara lain untuk memahami pola penanggulangan terorisme di
Indonesia.
Pemahaman keliru mengidentikkan kelompok seperti ISIS dan kelompok
radikalisme-terorisme di dunia sebagai representasi nilai ajaran agama telah
membawa bencana bagi kemanusiaan. Indonesia pun tidak lepas dari stereotipe
itu. Padahal meskipun Indonesia sebagai mayoritas muslim, itu tidaklah
merepresentasikan banyak teroris. Bahkan secara statistik jumlah FTF dari
Indonesia di Suriah berkisar di atas angka 500 orang, jumlah yang sangat kecil
bila dipersentasekan dengan jumlah populasi muslim di Indonesia. Hal itu
menunjukkan Indonesia mampu mengatasi masalah dinamika terorisme dengan baik.
Justru aksi-aksi terorisme di Indonesia datang dari luar, FTF, atau bagian dari
jejaring global.
Mereka ini dengan berbagai propaganda berusaha merekrut, membaiat,
mengiming-imingi, yang justru jauh dari ajaran agama yang selama ini hidup
dalam masyarakat Indonesia, agama ialah rahmat bagi semua umat dan sekalian
alam semesta. Semua agama di Indonesia memberikan pesan perdamaian dan
toleransi.
Kompleksitas fenomena terorisme
Fenomena terorisme semakin kompleks. Begitu pula dengan faktor-faktor yang
melandasi aksi terorisme. Dari persoalan sosial, ekonomi hingga menjadi
pergerakan politik kelompok tertentu. Akibatnya, definisi terorisme semakin
luas pula. Meskipun beragam faktor pendorong atau pemicu gerakan terorisme,
terdapat karakteristik yang sama, yakni penggunaan kekerasan dalam aksinya.
Terorisme merupakan ancaman global yang mencekam nilai-nilai kemanusiaan.
Seluruh negara telah menjadikan terorisme musuh bersama. Penanganan terorisme
dari berbagai negara memang dengan beragam cara. Hal tersebut disebabkan
kompleksitas terorisme mengha¬ruskan berbagai model dan cara dalam
penanggulangannya. Namun, di balik semua itu, ada aksi dan kolaborasi global
dalam penanggulangannya.
Berbagai kerja sama bilateral, regional, dan internasional dilaksanakan
sebagai upaya bersama dalam penanggulangan terorisme. Dengan kerja sama di
segala bidang menjadi kunci dari menangkal penyebaran terorisme secara global.
Terorisme dalam sejarahnya tidak saja merupakan bagian dari masyarakat sipil,
tetapi juga dapat menjadi representasi negara dalam mencapai tujuan politik.
Bagi Indonesia, perang melawan terorisme tidak menjadi dalih untuk melakukan
intervensi, agresi, dan melanggar hak asasi manusia.
Efektivitas penanggulangan terorisme dapat berjalan bila mampu mengurai
secara detail berbagai kompleksitas penyebab, faktor, dan motif para pelaku
terorisme. Salah satu strategi BNPT ialah melakukan kontraradikalisasi dan
penegakan hukum. Kontraradikalisasi misalnya melalui kampanye antiterorisme,
kontranarasi melalui buku bacaan, booklet, serta menggalakkan berbagai kegiatan
dialog dan pembekalan ke berbagai forum. Strategi kontraradikalisasi ditujukan
terhadap masyarakat agar tidak terpengaruh kepada kelompok-kelompok radikal.
Langkah ini bertujuan meningkatkan daya tangkal dan kewaspadaan masyarakat
terhadap terorisme.
Sebagai negara majemuk dengan mayoritas muslim, Indonesia diharapkan mampu
menangkal terorisme. Secara kuantitas mereka sedikit. Kita semua harus bisa
mengendalikannya dengan memberikan pemahaman yang benar.
Sumber: Media
Indonesia, 30 Mei 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!