Komisioner Komnas
HAM;
tinggal di Jakarta
tinggal di Jakarta
Dagang pengaruh (trading in influence) atau tindakan
memperdagangkan pengaruh demi keuntungan pribadi, rekan bisnis atau golongan
merupakan perilaku koruptif yang menyimpang dari etika dan moralitas.
Perdagangan
pengaruh yang dilakukan oleh sang pemangku jabatan, sanak saudara atau kerabat
dekatnya adalah para aktor (actor of crimes) yang kita jumpai dalam negara-negara
dunia ketiga yang pemerintahannya cenderung otoriter, koruptif dan miskin.
Rezim Ferdinand Marcos
di Filipina, rezim Soeharto di Indonesia dan sebagian pemimpin dunia ketiga secara
terang-benderang menerapkan birokrasi patrimonial (patron-klien) yang cenderung
nepotis, koruptif dan kolutif.
Di Indonesia,
meskipun kejahatan ini telah berlangsung sejak zaman VOC, namun pada masa Orde Baru,
dagang pengaruh (trading in influence)
telah sukses mengorbitkan para taipan besar sebagai kelompok oligarki yang
menguasai hampir 80% kekayaan nasional.
Bergulirnya
reformasi tahun 1998 dengan menumbangkan rezim Suharto, adanya desentralisasi
otoritas dalam tata kelola pemerintahan, keterbukaan informasi, kemajuan
demokrasi, perdamaian dan hak asasi manusia belum mampu memberi harapan untuk
membangun negara bangsa (nation state)
Indonesia yang nihil korupsi, kolusi dan nepotisme.
Berbagai kasus
penyuapan seperti Lufti Hasan, Ahmad Fathanah, Andi Alfian Mallarangeng bahkan
terakhir Irman Gusman telah menyatakan bahwa dagang pengaruh (trading in influence) tetap ada mesti
waktu dan periode silih berganti.
Ada benarnya jika dalam
Dagang Pengaruh-Trading In Influence di
Indonesia karya Brigita P. Manohara, tergambar jelas bahwa perilaku koruptif
adalah korupsi moral (moral coruption)
yang telah menua sejak zaman Aristoteles hingga Machiaveli (hal. 1).
Bahkan di dalam
perkembangan hukum dari zaman Mesir, Ibrani, India, China, dan juga penerapan
hukum hamurabi di Babilonia terhadap gubernur yang terbukti disuap (hal. 3).
Kejahatan dagang jabatan
sebagai sebuah tindakan atau perbuatan korupsi yang secara nyata tumbuh dan
berkembang di Indonesia, namun sampai saat ini pemerintah belum menerapkan
jenis delik trading in influence di
dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Padahal
Undang-Undang Tipikor diadakan sejak tahun 1999 dan revisi terbatas di tahun
2001, ketika Indonesia meratifikasi UNCAC tahun 2003 atau selanjutnya, seharusnya
pemerintah melakukan penyesuaian melalui revisi terbatas UU tersebut, termasuk
memasukkan dagang pengaruh (trading in
influence) sebagai delik kejahatan dengan ruang lingkup yang jelas. Itulah intisari
kesimpulan dan saran dalam buku ini (hal.
187).
Kalau boleh jujur, buku
ini amat berat karena menemukan (eksplorasi) secara ilmiah atas suatu tindakan
kejahatan yang tidak pernah terdengar, bahkan asing dan tidak banyak (bahkan
tidak ada) karya tulis ilmiah yang ditemukan di negeri ini.
Buku ini merupakan
kontribusi penulis, selaku pribadi dan anak bangsa bagi negeri ini karena
sangat gerah melihat pera pemimpin yang aji mumpung memanfaatkan status dan
jabatan untuk memperkaya diri sendiri, sanak saudara dan kroni-kroninya. Sedang
di lain sisi, pada waktu bersamaan tidak sedikit anak bangsa menjerit dan
berada dalam kemiskinan, kebodohan, dan ketertinggalan.
Dalam buku ini,
penulis menyajikannya dengan bahasa ilmiah populer dan tata bahasa yang lugas
dan jelas sebagai seorang jurnalis yang malang melintang di berbagai media. Buku
ini juga enak dibaca, mudah dicerna dan gampang dipahami.
Apresiasi tentu
harus diberikan kepada penulis muda berbakat ini atas karya cemerlang yang
mampu membangun khazanah ilmu pengetahuan tentang sebuah tindakan kejahatan
dalam sistem peradilan pidana (criminal
justice system) kita.
Judul : Dagang Pengaruh:Trading In Influence di Indonesia
Judul : Dagang Pengaruh:Trading In Influence di Indonesia
Penulis : Brigita P
Manohara
Penerbit : Rajawali Press
Tahun Terbit : 2017
Penerbit : Rajawali Press
Tahun Terbit : 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!