Oleh Achmad Maulani
Kandidat Doktor UI &
Staf Ahli
Kementerian Desa
DESA-desa tampak mulai bergeliat dengan berbagai potensi yang
dimilikinya. Di bawah pengelolaan badan usaha milik desa, sejumlah desa wisata
bahkan telah membuat sebuah desa menjadi sangat mandiri.
Tengoklah Desa
Ponggok (Klaten) yang beromzet Rp 1,3 miliar per tahun, Desa Bleberan (Gunung
Kidul) beromzet Rp 2 miliar per tahun, Desa Karang Duwur (Kebumen) beromzet Rp
1 miliar per tahun, atau Desa Kertayasa (Pangandaran) yang beromzet Rp 300 juta
per tahun.
Beberapa desa di
atas adalah contoh kecil dari desa-desa di pelosok Tanah Air yang mulai sadar
memetakan potensi yang dimilikinya. Keberadaan dana desa punya andil besar
dalam mendorong tumbuhnya badan usaha milik desa (BUMDes) di desa-desa. Dana
desa yang terus mengalami peningkatan memang telah memberi harapan tersendiri
bagi pembangunan di desa. Dari anggaran sebesar Rp 20,5 triliun pada 2015,
kemudian Rp 47 triliun tahun 2016, dan pada 2017 dana desa meningkat menjadi Rp
60 triliun.
Nilai strategis
Peningkatan
keberadaan BUMDes memang sangat signifikan. Jika pada 2014 BUMDes di Indonesia
hanya 1.022 unit, awal 2017 jumlahnya telah 18.446 unit. Jumlah ini pun
diyakini akan terus meningkat karena salah satu amanah dalam penggunaan dana
desa, selain untuk pembangunan infrastruktur, juga untuk peningkatan
perekonomian masyarakat, salah satunya melalui wadah bernama BUMDes.
Nilai strategis
keberadaan ribuan BUMDes yang tersebar di penjuru Tanah Air adalah karena ia
tumbuh dari kesadaran masyarakat desa dan bergerak pada sektor riil. Ia juga
berbasis pada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di titik itulah
keberadaan BUMDes sebagai pengejawantahan gagasan tentang ekonomi kerakyatan
menemukan relevansi serta titik sumbunya. Ini bisa menjadi salah satu strategi
pembangunan pada masa depan.
Nilai strategisnya
bukan saja keberadaan BUMDes yang kebanyakan berbasis pada kegiatan ekonomi
sektor kecil itu menjadi salah satu katup penampung masalah ketenagakerjaan,
melainkan juga merupakan salah satu penyangga penting persoalan perekonomian di
Indonesia. Pertumbuhan jumlah UMKM yang sangat besar secara otomatis jelas
telah mendonorkan penyerapan tenaga kerja yang banyak.
Persoalan kemudian,
dalam realitasnya perkembangan usaha kecil yang begitu pesat —saat ini banyak
yang diwadahi oleh BUMDes— ternyata sering kali tak diimbangi percepatan
perhatian pemerintah terhadap sektor usaha itu. Banyak kasus menunjukkan,
pemerintah bukannya memproduksi kebijakan yang memperkuat sektor ini, melainkan
malah sering kali kebijakan yang dilahirkan berpotensi mematikan daya hidup
perkembangan mereka.
Oleh karena itu,
dukungan pemerintah terhadap keberadaan usaha kecil, baik yang di bawah BUMDes
maupun tidak, sesungguhnya bisa dengan penghindaran penciptaan
kebijakan-kebijakan diskriminatif. Selain itu, diperlukan juga kebijakan aturan
main yang memberikan kesepadanan yang sama bagi tiap pelaku ekonomi untuk
menjalankan aktivitasnya, termasuk pelaku ekonomi kecil dan menengah. Di
sinilah kerja sama lintas kementerian/lembaga mutlak perlu.
Komitmen ini
penting karena sebagai salah satu pilar ekonomi kerakyatan, keberadaan usaha
kecil di sektor riil jadi tumpuan sebagian besar tenaga kerja di Indonesia.
Banyak alasan yang melatarbelakanginya, di antaranya sektor itu tidak perlu
modal banyak dan tidak mensyaratkan tingkat keterampilan yang tinggi. Ia juga
tidak membutuhkan perizinan yang berbelit.
Dengan
karakteristik semacam itu, jumlah pertumbuhan sektor-sektor usaha kecil
menengah jadi sangat besar dan secara otomatis mendonorkan penyerapan tenaga
kerja yang banyak. Hanya saja, jumlah UMKM yang begitu besar —saat ini mencapai
59 juta— dengan tingkat penyerapan tenaga kerja yang tinggi tersebut ternyata
tidak dibarengi kesejahteraan pelaku ekonominya. Pada titik inilah pemerintah
melalui kerja sama lintas sektoral perlu mengeluarkan paket-paket kebijakan
yang tepat.
Keberadaan ribuan
BUMDes yang berbasis pada sektor riil serta sumber daya yang ada di desa adalah
bagian dari pengembangan gagasan ekonomi kerakyatan. Gagasan pembangunan
ekonomi kerakyatan, seperti dikatakan Gran (1988), adalah sebuah konsep
pembangunan di mana rakyat punya kuasa mutlak menetapkan tujuan dan mengelola
swasembada ataupun mengarahkan jalannya pembangunan.
Ada dua hal yang
bisa disimpulkan dari pemikiran ini. Pertama, partisipasi rakyat merupakan
unsur mutlak dalam pembangunan. Tugas pemerintah hanya menciptakan keadaan yang
mendorong inisiatif rakyat dalam memenuhi kebutuhannya. Kedua, apa yang
dikehendaki rakyat merupakan pilihan terbaik dari negaranya.
Dengan paradigma
semacam itu, pembangunan yang berbasis kerakyatan juga berarti pembangunan
ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Artinya, bila sebagian
besar kegiatan ekonomi disusun dan dibangun oleh usaha menengah dan kecil yang
banyak menampung tenaga kerja, seharusnya sektor menengah dan kecil mendapat
perhatian yang lebih besar. Usaha skala besar tentu tetap diberi keleluasaan
berkembang selama tidak mengganggu keharmonisan ekonomi.
Komitmen atas
gagasan ekonomi kerakyatan ini penting untuk terus didesakkan kepada pengambil
kebijakan karena selama ini pengembangan usaha kecil dan menengah terbukti
lebih mampu menjawab kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu,
pembangunan ekonomi kerakyatan juga dinilai tidak hanya mampu
menumbuhkembangkan kegiatan ekonomi semata, tetapi juga memberikan
kesejahteraan secara merata.
Kebijakan yang
aplikatif
Guna mewujudkan
gagasan ekonomi kerakyatan dalam bentuk kebijakan yang lebih aplikatif, ada
beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, mengembalikan watak kebijakan
publik pada tempatnya semula, yakni tidak hanya mendapatkan legitimasi
rasional, tetapi juga memperoleh pembenaran secara etis. Pada aras ini, setiap
kebijakan tidak boleh meninggalkan kepentingan rakyat walaupun secara ekonomi
mungkin merugikan negara.
Kedua,
mengagendakan strategi pembangunan ekonomi yang memberi nisbah secara
proporsional bagi seluruh rakyat. Dalam pengertian ini, setiap strategi dan
kebijakan pembangunan harus mencerminkan pada pemenuhan kebutuhan rakyat
sehingga setiap hasil yang diperoleh benar-benar jatuh kepada sebagian besar
masyarakat.
Ketiga, memberi
penekanan terhadap penciptaan fasilitas publik yang ditujukan bagi sebagian
rakyat yang terpuruk dalam proses pembangunan. Kebijakan ini penting karena
dalam setiap proses pembangunan selalu menyisakan sebagian rakyat dalam posisi
tidak beruntung.
BUMDes sebagai
bagian dari pengembangan ekonomi kerakyatan dan sebagai salah satu wadah bagi
usaha sektor kecil di desa harus mampu melakukan transformasi sosial ekonomi di
desa. Untuk itu, ke depan, pemerintah harus mampu mengikis kebijakan
diskriminatif yang hanya berpihak pada usaha skala besar semata. Tanpa komitmen
itu, usaha kecil sebagai katup penangkal krisis sekaligus penampung tenaga
kerja akan terus mengalami jalan buntu.
Sumber: Kompas, 13 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!