Oleh Budi Santoso
Profesor
Teknik Industri ITS
SALAH satu masalah yang sering diperbincangkan berkaitan
dengan dunia pendidikan tinggi kita adalah jumlah profesor. Rasio jumlah
profesor terhadap jumlah dosen kita masih terlalu kecil, masih kurang dari 10
persen.
Seperti dikemukakan Direktur Jenderal Sumber
Daya Iptek Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti)
Ali Ghufron, jumlah profesor kita baru 5.389. Angka ini lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah dosen kita yang sekitar 260.000. Dengan jumlah
program studi (prodi) yang mencapai 22.000 untuk seluruh Indonesia, seharusnya
ada minimal 22.000 profesor. Dengan asumsi satu prodi mempunyai satu profesor.
Kita kekurangan jumlah profesor. Benarkah jumlah profesor menjadi indikator
penting sebuah perguruan tinggi?
Mengapa minim
Memang harus diakui dari sisi jumlah, profesor kita jauh di bawah negara tetangga,
Malaysia. Mereka mempunyai sekitar
25.350 profesor. Jika dibandingkan jumlah penduduk, profesor per kapita kita
jauh di bawah Malaysia, meskipun terjadi peningkatan jumlah cukup signifikan
sejak 2015, dari 4.700 orang menjadi 5.389 orang pada 2017.
Prosedur pengurusan yang makin mudah dan
syarat yang makin ketat ternyata tidak mengurangi kecepatan pertambahan jumlah
profesor dalam dua tahun terakhir. Namun, jumlah itu jauh dari memadai jika digunakan standar 10 persen
atau satu prodi satu profesor. Mengapa
jumlah profesor kita minim? Ini adalah masalah yang terkait dengan masalah lain
di pendidikan tinggi kita, terutama masalah finansial.
Ada setidaknya dua hal penting mengapa tak
banyak dosen bergelar doktor berminat mencapai jabatan profesor. Pertama, tanpa
menjadi profesor, banyak dosen merasa sudah aman secara finansial dan nyaman.
Banyak dosen yang hanya bergelar master sudah mampu hidup layak. Mereka
mempunyai pendapatan memadai. Tentu bukan gaji sebagai penopang utama karena
gaji plus tunjangan dosen tanpa jabatan profesor tidak besar ketimbang profesi
lain di luar dosen.
Pekerjaan sampingan berupa proyek dari
perusahaan, BUMN, atau lembaga pemerintah telah memberikan pemasukan yang besar
bagi para dosen. Pemasukan itu bisa didapat dengan cara yang lebih mudah dan
waktu lebih cepat daripada, misalnya, dengan honor penelitian yang butuh waktu
lama dan rumit pertanggungjawabannya.
Hubungan baik dosen dengan lembaga pemberi
pekerjaan bahkan juga membuat para dosen muda bergelar master malas untuk
meneruskan jenjang pendidikan yang lebih
tinggi ke luar negeri. Mereka takut kehilangan jaringan (network) kalau harus
melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Buat apa mencapai gelar doktor kalau
dengan master saja mereka masih bisa mengajar dengan hak-hak yang penuh dan pekerjaan mereka di luar kampus tidak
mensyaratkan gelar akademik doktor.
Kedua, banyak dosen muda bergelar master dan
doktor yang menduduki jabatan struktural. Jabatan struktural di perguruan
tinggi, walaupun bukan jalur karier utama seorang akademisi, ternyata telah
menyebabkan banyak dosen kurang berminat atau kehilangan fokus untuk mencapai
jabatan profesor. Dengan jabatan struktural, dari sisi keuangan mereka merasa
sudah mendapatkan imbalan yang memadai. Di sisi lain dengan jabatan struktural
dan tanggung jawab yang melekat, banyak dosen berpindah fokus.
Fokus akademik dikalahkan oleh tugas-tugas
struktural mengelola urusan operasional kampus yang berat. Selain itu, dengan
jabatan struktural, mereka merasa menjadi orang
penting dalam suatu institusi pendidikan tinggi.
Dalam praktiknya para pejabat struktural ini
lebih berkuasa mengatur program di pendidikan tinggi daripada para profesor.
Ini juga menjadi keasyikan tersendiri bagi sebagian dosen. Kenyataan akan jabatan struktural ini membuat
mereka nyaman untuk terus berkarier di struktural daripada mengejar jabatan
fungsional dosen untuk mencapai karier tertinggi sebagai profesor.
Jalan keluar
Ini terjadi hampir di semua perguruan tinggi
kita. Bahkan, mungkin jabatan struktural menjadi incaran utama para dosen
daripada karier akademik. Apakah ini bagus untuk perkembangan perguruan tinggi
kita? Inilah salah satu masalah mendasar kita. Banyak akademisi lebih senang
meniti karier sebagai pejabat struktural daripada sebagai akademisi. Ini yang
harus dikurangi secara perlahan atau bahkan dihilangkan. Berikan jabatan
struktural kepada para profesional di bidangnya.
Bahkan, kalau perlu jabatan rektor pun bisa
dijabat orang luar yang bukan akademisi, tetapi punya kompetensi memadai dalam
manajemen perguruan tinggi. Jabatan-jabatan struktural di perguruan tinggi tak
ubahnya jabatan di perusahaan umum. Perusahaan umum perlu ahli keuangan, ahli
sumber daya manusia, ahli teknologi informasi, ahli organisasi, dan sebagainya
yang diambil dari para profesional di bidangnya. Perguruan tinggi ke depan harus berani
mengambil langkah seperti itu. Dosen lebih baik berkonsentrasi di akademis dan
Tri Dharma.
Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN
BH) adalah salah satu solusi untuk ke arah sana. PTN BH dimaksudkan untuk
membangun universitas dengan gaya manajemen "swasta", tetapi mutu
akademiknya PTN plus. Gaya "swasta" berarti organisasinya ramping,
tetapi tetap efektif. Mutu akademik PTN plus berarti PTN BH harus menghasilkan
keluaran lebih dari PTN pada umumnya.
Dengan segala kelebihan kewenangan yang
dimiliki PTN BH, seharusnya sasaran di atas bisa dicapai. Walaupun dalam praktiknya
hal ini masih tabu karena tidak mudah menggaet profesional untuk berkarier di
bidang pendidikan jika dana terbatas.
PTN BH yang sudah mampu menggali dana di luar
bantuan pemerintah sudah semestinya merekrut para profesional untuk mengelola
pendidikan. Sebuah perguruan tinggi swasta di Korea Selatan, Konkuk University,
berani merekrut para tenaga muda Korea lulusan master dari perguruan tinggi
ternama di AS untuk menjadi tenaga
pemasaran (marketing) untuk beberapa wilayah regional di seluruh dunia. Ini salah satu terobosan bagaimana para pekerja
non-dosen dilibatkan dalam pengelolaan perguruan tinggi.
Usulan seperti ini kemungkinan akan mendapat
tantangan keras banyak pihak. Karena konsekuensi dari sistem ini adalah dosen
kembali ke laboratorium dan kelas. Tugas utamanya adalah meneliti, mengajar,
dan melakukan pengabdian masyarakat. Pada kenyataannya, para pejabat struktural
yang dosen menghabiskan sebagian besar waktunya justru memikirkan masalah
manajemen pendidikan tinggi baik di level universitas, fakultas, maupun
departemen. Sulit diharapkan keluaran akademis berupa publikasi atau karya
ilmiah lain yang berbobot ketika para dosen itu menduduki jabatan struktural.
Mungkin ada beberapa superior mampu memegang keduanya, tetapi umumnya sulit.
Fokus Tri Dharma
Keresahan akan minimnya jumlah profesor
sesungguhnya identik dengan keresahan dengan jumlah karya ilmiah yang dihasilkan
karena profesor dianggap identik dengan produsen karya-karya ilmiah atau produk
akademik yang lain.
Akan tetapi, benarkah jumlah profesor
merupakan indikator yang penting bagi sebuah perguruan tinggi? Mari kita tengok
beberapa data terbatas untuk universitas top di Indonesia dari sisi peringkat.
Baru-baru ini, QS mengeluarkan peringkat perguruan tinggi di Indonesia 2017.
Memang Dikti telah berkomitmen menaikkan peringkat PTN kita di kancah dunia.
Dikti memilih lembaga yang dipakai adalah peringkat universitas oleh QS. Lembaga pemeringkat yang lain, antara
lain Jiao Tong atau Times Higher Education. Standar apa yang digunakan oleh QS
dalam memeringkat universitas dunia diikuti oleh Dikti dalam rangka menaikkan
peringkat universitas kita. Tiga besar
universitas dalam negeri yang mampu mencapai peringkat bagus di QS adalah UI,
ITB, dan UGM.
Jika kita lihat, UI, ITB, dan UGM mempunyai
231, 167, dan 321 profesor. UI dan ITB,
meskipun jumlah profesornya di bawah UGM, mempunyai peringkat lebih baik daripada
UGM. Dari sisi produktivitas riset, yaitu berupa publikasi terindeks Scopus,
ternyata ITB justru yang paling baik di antara ketiganya. Jumlah profesor bukan
jaminan kualitas sebuah perguruan tinggi.
Sampai di sini sebenarnya yang lebih penting
dalam menaikkan peringkat perguruan tinggi adalah meningkatkan jumlah doktor.
Universitas harus mendorong dosen-dosennya meningkatkan jenjang pendidikan hingga doktor. Dari sanalah
kualitas dan kuantitas riset atau publikasi akan bisa ditingkatkan karena pendidikan
doktorlah yang secara mendalam mengasah kemampuan riset dan publikasi. Ini lebih penting daripada mempermasalahkan
jumlah profesor.
Pemerintah lebih baik memberikan insentif
bagi para dosen yang bergelar doktor untuk meningkatkan kerja Tri Dharma di
dalam pengajaran, penelitian termasuk publikasi dan pengabdian kepada
masyarakat.
Kalau itu bisa ditingkatkan bersama dengan
perbaikan prosedur pengurusan pangkat, profesor hanyalah konsekuensi yang akan
tercapai. Perguruan tinggi juga sebaiknya memberikan porsi jabatan struktural
kepada tenaga non-dosen sehingga dosen akan berkonsentrasi pada Tri Dharma
perguruan tinggi.
Sumber: Kompas, 5 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!