Headlines News :
Home » » Demokrasi Pancasila

Demokrasi Pancasila

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, July 19, 2017 | 12:50 PM


Oleh Saurip Kadi 
Mayor Jenderal (Purn) TNI &
Mantan Anggota Komisi II DPR

DALAM demokrasi, dengan alasan apa pun, hak-hak primer warga negara, yaitu hak-hak yang diatur langsung dalam UUD, seperti hak berserikat dan kebebasan menyampaikan pendapat, tidak boleh lagi didistorsi oleh pihak mana pun. Apalagi oleh pemerintah.

Namun, dalam menjalankan hak primer dimaksud diperlukan undang-undang yang mengatur agar siapa pun tak mendistorsi —apalagi meniadakan— hak primer lainnya. Termasuk hak mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai wadah bersama yang telah disepakati oleh Bapak Pendiri Bangsa.

Lagi pula, bangsa dan negara ini juga tak boleh terus-menerus disibukkan untuk menangani hal-hal yang semestinya sudah final, terlebih terhadap masalah Pancasila dan segenap nilai yang mengantar berdirinya NKRI. Maka, tepat kalau pemerintah kemudian menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang bisa digunakan mengatur sekaligus memberi sanksi, termasuk di dalamnya untuk membubarkan ormas yang hendak mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan ideologi lain.

Konsep jalan tengah

Pengelompokan masyarakat Indonesia berdasarkan wilayah, adat, agama, suku, golongan —belakangan juga partai— sudah tergelar jauh sebelum NKRI lahir. Berdasarkan fakta kebinekaan tersebut, para pendiri bangsa ini dalam proses membentuk negara bersepakat menjadikan NKRI sebagai wadah bagi segenap warga negara dengan perlakuan sama.

Keputusan final juga telah mereka ambil, yaitu bahwa negara yang hendak dibentuknya tidak didasarkan pada mayoritas apa pun, tak terkecuali karena agama. Tokoh-tokoh Islam yang duduk dalam BPUPKI dan juga PPKI dengan sadar melepas ego golongan sebagai mayoritas agama demi lahirnya NKRI yang satu untuk semua. Adapun konsep kerakyatan yang diterapkan, nilai-nilai luhurnya tertuang dalam sila keempat Pancasila.

Sudah barang tentu, kandungan nilai-nilai kerakyatan pada sila keempat Pancasila pada hakikatnya juga konsep jalan tengah yang mengakomodasikan segenap nilai dari sejumlah ideologi besar dunia, termasuk dari lingkungan Islam. Dengan kata lain, ia adalah perpaduan antara nilai-nilai demokrasi Barat dan nilai-nilai yang ada serta hidup dalam masyarakat kita, yang secara kebetulan sama seperti atau sejajar dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan Islam. Konsep kerakyatan kita sangat menghargai keberadaan tokoh, apalagi ia yang telah tercerahkan, sehingga dengan menggunakan akal sehat dan hikmah kebijaksanaannya mampu memutuskan secara benar dan tepat. Ia juga mengakomodasikan peran tokoh bangsa tanpa harus melalui partai, sebagaimana yang berlaku dalam konsep khilafah.

Munculnya pemikiran untuk mengubah dasar negara dengan paham lain lebih karena dalam praktik tata kelola negara yang dilaksanakan selama ini hasilnya jauh dari wujud yang dicita-citakan sebagaimana tuntunan Pancasila. Malah dalam banyak hal justru bertentangan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.

Jangankan pada era Orde Lama dan Orde Baru yang memang otoriter, dalam era Reformasi yang konon demokrasi pun, bahkan soal kawin campur (pasangan calon beda agama), justru negara membebani warga negaranya. Apalagi untuk kasus yang mengait soal keyakinan agama, nyata-nyata negara tak hadir dan bahkan terlibat dalam penzaliman terhadap rakyat oleh kelompok rakyat lainnya, seperti yang menimpa saudara-saudara kita pengikut Syiah dan Gafatar. Kita juga mengenal istilah hukum "wani piro", dan masih banyak lagi bukti tak terbantahkan bahwa bangsa ini gagal dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praktik tata kelola negara.

Tegasnya, Pancasila memang nilai-nilai luhur yang mampu mengakomodasikan tata nilai yang terkandung dalam sejumlah ideologi besar dunia dan kebinekaan yang ada, tetapi gagal dalam tataran praksis.

Sangat disayangkan, sejumlah tokoh yang memperjuangkan penerapan khilafah tak menangkap esensi makna kerakyatan yang tertuang dalam sila keempat Pancasila secara mendalam. Mereka bahkan mempertentangkan demokrasi dengan khilafah, lalu menempatkan khilafah sebagai solusi dari kegagalan praksis termaksud. Padahal, persoalan yang dihadapi bangsa ini, tak terkecuali dari lingkungan yang memperjuangkan khilafah, adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila sesegera mungkin dijabarkan dan dijadikan sebagai hukum positif.

Ubah jadi peluang

Persoalan UUD 1945 yang asli bukan hanya karena singkat. Secara kesisteman, ia memang tak memenuhi syarat untuk disebut sebagai demokrasi. Bahkan, dari ciri-ciri utama demokrasi, sistem kenegaraan yang tergambar dalam UUD 1945 valid masuk dalam kategori otoriter.

Dalam demokrasi, keberadaan negara dan pemerintah haruslah dipisah atau dipilah. Sementara dalam UUD 1945 asli, keberadaan negara dan pemerintah disatukan sebagaimana yang diterapkan dalam negara otoriter sehingga kelemahan pemerintah sama dengan kelemahan negara. Dalam demokrasi, keberadaan partai dan pemilu adalah mutlak, tetapi UUD 1945 yang asli belum atau tak mengaturnya. Peran negara dalam demokrasi dibatasi sebagai regulator dan fasilitator serta pelindung yang lemah, sementara UUD 1945 yang asli, negara juga pemain. Karena proses amandemen langsung menukik ke perubahan pasal-pasal, tanpa didului perubahan platform dari otoriter jadi demokrasi, sistem kenegaraan kita tambah semrawut. Apalagi, penyusun amandemen kemudian mencampuradukkan begitu saja nilai-nilai otoriter dan demokrasi, juga menerapkan pilihan model parlementer pada sistem presidensial.

Ambilah contoh asas check and balance. Dari konsep politik yang tertuang dalam UUD 1945 hasil amandemen, mustahil asas ini terwujud. Sebab, dalam sistem presidensial, presiden dipilih langsung oleh rakyat, tetapi sistem perwakilan yang diterapkan adalah perangkat DPR dari sistem parlementer, di mana anggota DPR adalah wakil partai.

Dalam pemilu juga muncul hal-hal aneh dan lucu, seperti ambang batas dalam pemilu presiden dan pemilu legislatif yang perumusannya tidak mendasarkan pada logika politik dan akal sehat. Dan, ketika Pilpres 2019 dan Pileg 2019 mendatang hendak dilaksanakan secara serentak, para penyusun UU Pemilu masih bersikeras mempertahankan ambang batas dengan norma perolehan suara Pemilu 2014. Seolah mereka yang notabene penyelenggara negara tak tahu makna dan hakikat ambang batas sehingga tak peduli ketentuan tersebut bakal menabrak dan juga menganulir hak primer warga negara yang diatur langsung dalam UUD.

Masih banyak lagi kelemahan lain yang mengindikasikan bukan otoriter, tetapi bukan demokrasi, bukan presidensial, tetapi juga bukan pula parlementer. Adalah hal mulia kalau saja belenggu realitas di atas oleh pemerintahanJokowi diubah menjadi peluang, yakni dengan menyiapkan konsep perubahan UUD yang berisi penjabaran sila-sila Pancasila ke dalam batang tubuh UUD. Konsep itu kemudian dihibahkan kepada semua calon presiden agar amandemen UUD kelima dijadikan kontrak sosial pada Pemilu 2019.

Dengan keberadaan UKP-PIP, tugas itu menjadi tak terlalu sulit karena kekuatan "mayoritas diam" sudah lama menunggu kehadiran Ratu Adil: sistem kenegaraan yang mampu menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Sumber: Kompas, 19 Juli 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger