Mayor Jenderal (Purn) TNI &
Mantan Anggota Komisi II DPR
Mantan Anggota Komisi II DPR
DALAM demokrasi,
dengan alasan apa pun, hak-hak primer warga negara, yaitu hak-hak yang diatur
langsung dalam UUD, seperti hak berserikat dan kebebasan menyampaikan pendapat,
tidak boleh lagi didistorsi oleh pihak mana pun. Apalagi oleh pemerintah.
Namun, dalam
menjalankan hak primer dimaksud diperlukan undang-undang yang mengatur agar
siapa pun tak mendistorsi —apalagi meniadakan— hak primer lainnya. Termasuk hak
mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai wadah bersama
yang telah disepakati oleh Bapak Pendiri Bangsa.
Lagi pula, bangsa
dan negara ini juga tak boleh terus-menerus disibukkan untuk menangani hal-hal
yang semestinya sudah final, terlebih terhadap masalah Pancasila dan segenap
nilai yang mengantar berdirinya NKRI. Maka, tepat kalau pemerintah kemudian
menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang bisa
digunakan mengatur sekaligus memberi sanksi, termasuk di dalamnya untuk
membubarkan ormas yang hendak mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan
ideologi lain.
Konsep jalan tengah
Pengelompokan
masyarakat Indonesia berdasarkan wilayah, adat, agama, suku, golongan —belakangan
juga partai— sudah tergelar jauh sebelum NKRI lahir. Berdasarkan fakta
kebinekaan tersebut, para pendiri bangsa ini dalam proses membentuk negara
bersepakat menjadikan NKRI sebagai wadah bagi segenap warga negara dengan
perlakuan sama.
Keputusan final
juga telah mereka ambil, yaitu bahwa negara yang hendak dibentuknya tidak
didasarkan pada mayoritas apa pun, tak terkecuali karena agama. Tokoh-tokoh
Islam yang duduk dalam BPUPKI dan juga PPKI dengan sadar melepas ego golongan
sebagai mayoritas agama demi lahirnya NKRI yang satu untuk semua. Adapun konsep
kerakyatan yang diterapkan, nilai-nilai luhurnya tertuang dalam sila keempat
Pancasila.
Sudah barang tentu,
kandungan nilai-nilai kerakyatan pada sila keempat Pancasila pada hakikatnya
juga konsep jalan tengah yang mengakomodasikan segenap nilai dari sejumlah
ideologi besar dunia, termasuk dari lingkungan Islam. Dengan kata lain, ia
adalah perpaduan antara nilai-nilai demokrasi Barat dan nilai-nilai yang ada
serta hidup dalam masyarakat kita, yang secara kebetulan sama seperti atau
sejajar dengan nilai-nilai yang ada di lingkungan Islam. Konsep kerakyatan kita
sangat menghargai keberadaan tokoh, apalagi ia yang telah tercerahkan, sehingga
dengan menggunakan akal sehat dan hikmah kebijaksanaannya mampu memutuskan
secara benar dan tepat. Ia juga mengakomodasikan peran tokoh bangsa tanpa harus
melalui partai, sebagaimana yang berlaku dalam konsep khilafah.
Munculnya pemikiran
untuk mengubah dasar negara dengan paham lain lebih karena dalam praktik tata
kelola negara yang dilaksanakan selama ini hasilnya jauh dari wujud yang
dicita-citakan sebagaimana tuntunan Pancasila. Malah dalam banyak hal justru
bertentangan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Jangankan pada era
Orde Lama dan Orde Baru yang memang otoriter, dalam era Reformasi yang konon
demokrasi pun, bahkan soal kawin campur (pasangan calon beda agama), justru
negara membebani warga negaranya. Apalagi untuk kasus yang mengait soal
keyakinan agama, nyata-nyata negara tak hadir dan bahkan terlibat dalam
penzaliman terhadap rakyat oleh kelompok rakyat lainnya, seperti yang menimpa
saudara-saudara kita pengikut Syiah dan Gafatar. Kita juga mengenal istilah
hukum "wani piro", dan masih banyak lagi bukti tak terbantahkan bahwa
bangsa ini gagal dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam praktik tata
kelola negara.
Tegasnya, Pancasila
memang nilai-nilai luhur yang mampu mengakomodasikan tata nilai yang terkandung
dalam sejumlah ideologi besar dunia dan kebinekaan yang ada, tetapi gagal dalam
tataran praksis.
Sangat disayangkan,
sejumlah tokoh yang memperjuangkan penerapan khilafah tak menangkap esensi
makna kerakyatan yang tertuang dalam sila keempat Pancasila secara mendalam.
Mereka bahkan mempertentangkan demokrasi dengan khilafah, lalu menempatkan
khilafah sebagai solusi dari kegagalan praksis termaksud. Padahal, persoalan
yang dihadapi bangsa ini, tak terkecuali dari lingkungan yang memperjuangkan
khilafah, adalah bagaimana nilai-nilai Pancasila sesegera mungkin dijabarkan
dan dijadikan sebagai hukum positif.
Ubah jadi peluang
Persoalan UUD 1945
yang asli bukan hanya karena singkat. Secara kesisteman, ia memang tak memenuhi
syarat untuk disebut sebagai demokrasi. Bahkan, dari ciri-ciri utama demokrasi,
sistem kenegaraan yang tergambar dalam UUD 1945 valid masuk dalam kategori
otoriter.
Dalam demokrasi,
keberadaan negara dan pemerintah haruslah dipisah atau dipilah. Sementara dalam
UUD 1945 asli, keberadaan negara dan pemerintah disatukan sebagaimana yang
diterapkan dalam negara otoriter sehingga kelemahan pemerintah sama dengan
kelemahan negara. Dalam demokrasi, keberadaan partai dan pemilu adalah mutlak,
tetapi UUD 1945 yang asli belum atau tak mengaturnya. Peran negara dalam
demokrasi dibatasi sebagai regulator dan fasilitator serta pelindung yang
lemah, sementara UUD 1945 yang asli, negara juga pemain. Karena proses
amandemen langsung menukik ke perubahan pasal-pasal, tanpa didului perubahan
platform dari otoriter jadi demokrasi, sistem kenegaraan kita tambah semrawut.
Apalagi, penyusun amandemen kemudian mencampuradukkan begitu saja nilai-nilai
otoriter dan demokrasi, juga menerapkan pilihan model parlementer pada sistem
presidensial.
Ambilah contoh asas
check and balance. Dari konsep politik yang tertuang dalam UUD 1945 hasil
amandemen, mustahil asas ini terwujud. Sebab, dalam sistem presidensial,
presiden dipilih langsung oleh rakyat, tetapi sistem perwakilan yang diterapkan
adalah perangkat DPR dari sistem parlementer, di mana anggota DPR adalah wakil
partai.
Dalam pemilu juga
muncul hal-hal aneh dan lucu, seperti ambang batas dalam pemilu presiden dan
pemilu legislatif yang perumusannya tidak mendasarkan pada logika politik dan
akal sehat. Dan, ketika Pilpres 2019 dan Pileg 2019 mendatang hendak
dilaksanakan secara serentak, para penyusun UU Pemilu masih bersikeras
mempertahankan ambang batas dengan norma perolehan suara Pemilu 2014. Seolah
mereka yang notabene penyelenggara negara tak tahu makna dan hakikat ambang
batas sehingga tak peduli ketentuan tersebut bakal menabrak dan juga menganulir
hak primer warga negara yang diatur langsung dalam UUD.
Masih banyak lagi
kelemahan lain yang mengindikasikan bukan otoriter, tetapi bukan demokrasi,
bukan presidensial, tetapi juga bukan pula parlementer. Adalah hal mulia kalau
saja belenggu realitas di atas oleh pemerintahanJokowi diubah menjadi peluang,
yakni dengan menyiapkan konsep perubahan UUD yang berisi penjabaran sila-sila
Pancasila ke dalam batang tubuh UUD. Konsep itu kemudian dihibahkan kepada
semua calon presiden agar amandemen UUD kelima dijadikan kontrak sosial pada
Pemilu 2019.
Dengan keberadaan
UKP-PIP, tugas itu menjadi tak terlalu sulit karena kekuatan "mayoritas
diam" sudah lama menunggu kehadiran Ratu Adil: sistem kenegaraan yang
mampu menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber: Kompas, 19 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!