Oleh Adrianus Meliala
Kriminolog Fisip UI &
Komisioner Ombudsman RI
SEGERA setelah kasus bom Thamrin terjadi awal 2016,
pihak pemerintah, parlemen, dan berbagai kalangan ramai-ramai menyerukan
pentingnya merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.
Tujuannya, memberi
dukungan yang lebih kuat kepada penegak hukum dalam melakukan pencegahan dan
sekaligus penindakan terhadap terorisme.
Setelah 16 bulan
berselang, revisi UU tak kunjung muncul. Padahal, dalam kurun waktu itu telah
terjadi lagi berbagai serangan bom di Indonesia, mulai dari kasus penyerangan
Polresta Surakarta, penyerangan gereja-gereja, peledakan bom di Solo dan
Bandung, hingga rencana penyerangan obyek-obyek vital termasuk Istana Negara.
Insiden terakhir adalah peledakan bom di Kampung Melayu, Mei 2017.
Menarik bahwa untuk
masalah yang demikian nyata, telah membawa korban jiwa dan kerusakan masif,
ternyata bisa dilihat secara amat berbeda oleh beberapa pihak yang sama-sama
orang Indonesia dan sama-sama terdampak oleh terorisme. Bukan hanya dilihat
berbeda, di mata pansus DPR, masalah terorisme tampaknya dianggap tak penting.
Di mata hampir
semua negara di dunia, Indonesia diakui memiliki keunggulan strategik dalam
pemberantasan terorisme. Dimulai dari tahun 2000-an, Indonesia sejauh ini sudah
menangkap lebih dari 1.000 teroris, mantan teroris, ataupun calon teroris.
Semua tangkapan dapat diadili dan dihukum. Cukup banyak di antaranya kini sudah
keluar dari lapas dan sebagian kembali menjadi residivis. Tak hanya itu,
sekitar 100 orang tewas dalam baku tembak, khususnya dengan Detasemen Khusus 88
Polri.
Selain yang terkait
dengan tindakan tegas kepolisian, tak terhitung pula jumlah rencana teror yang
berhasil dicegah. Ada rencana teror yang terungkap saat pelaku melakukan aksi
rampok dalam rangka pengumpulan dana saat merakit bom dan ada pula saat bom
siap dibawa ke sasaran oleh calon "pengantin" (alias pelaku bom bunuh
diri), yakni ke Istana Negara.
Yang membuat
Indonesia unggul luar biasa adalah tebalnya data terkait terorisme di
Indonesia. Jika 1.000 orang yang telah ditangkap itu berkomunikasi dengan
katakanlah tiga orang saja sebelum ditangkap, dan ketiganya diketahui merupakan
simpatisan ataupun aktivis kelompok teroris, maka bisa dibayangkan knowledge
atau pengetahuan yang dimiliki Polri terkait jaringan terorisme.
Dengan penguasaan
data tersebut, Indonesia sebenarnya mampu proaktif melakukan tindakan
pemberantasan terorisme tanpa perlu menunggu terjadinya aksi terorisme itu
sendiri. Sebaliknya, jika masih mempergunakan perspektif penegakan hukum dan
bersandarkan aksi polisionil, data yang tebal paling-paling hanya bisa
dimanfaatkan setelah atau pasca-suatu aksi terjadi. Penangkapan serentak
hari-hari ini, seperti halnya yang dilakukan Polri pasca-peledakan bom di
Kampung Melayu, dapat dilakukan dengan mudah.
Pemandulan
strategik
Ketiadaan payung
hukum yang memampukan aparat bertindak secara dini menjadikan keunggulan
strategik ini tidak kunjung menjadi hal yang menentukan (decisive). Tak ubahnya
sebuah pertempuran, penentu kemenangan tak jarang berasal dari ada-tidaknya
persenjataan yang bisa digunakan untuk melumpuhkan lawan. Jika senjata tak juga
dimiliki dan dipergunakan, bagaimana bisa menang?
Alih-alih
memanfaatkan keunggulan, yang kini terjadi adalah pemandulan strategik. Sejak
kasus bom Thamrin, kita praktis telah berada pada posisi terpojok. Ini mirip
petinju yang dicecar dengan pukulan di sudut ring tinju tanpa mampu melawan.
Di pihak lain, para
kelompok radikalis dan intoleran sibuk mengkhotbahkan hal-hal yang bersifat
kebencian (hate speech), menulis dan membuat video yang berisi ajakan melawan
negara yang sah, mengganti pemerintahan serta dasar negara.
Pada tingkat lain,
ada kelompok yang melakukan latihan perang dengan senjata kayu atau melakukan
simulasi perkelahian, tapi tak bisa "disentuh" oleh penegak hukum.
Kegiatan-kegiatan rekrutmen juga berlangsung masif melalui pengajian dan baiat
gelap, di mana aparat hanya bisa melihat dan mencatat.
Penyebabnya cuma
satu: karena kita negara hukum, maka ketika tak ada hukum yang melarang atau
mengatur, orang pada dasarnya bebas melakukan hal-hal yang betapapun secara
strategik bisa dianggap membahayakan dan mengancam. Amat boleh jadi, ketika
pemandulan strategik ini terus-menerus terjadi, Indonesia akan berakhir seperti
Suriah atau Irak, minimal kota Marawi, yang hancur lebur akibat serangan faksi
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS ).
Esensi revisi
Ada pertanyaan
menggelitik: jika bermodalkan UU No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Terorisme saja Indonesia bisa memperoleh kemenangan strategik, mengapa UU
tersebut harus direvisi agar aparat memiliki kewenangan lebih besar?
Sebagaimana
diketahui, teroris dari generasi yang ada kaitannya dengan separatisme di
Indonesia ataupun dari generasi yang terkait Al Qaeda dan Jemaah Al-Islamiyah
(JAI) sudah tidak lagi memiliki kekuatan yang berarti. Selain telah tertangkap
dan kini menjalani hukuman pidana, cukup banyak juga yang tewas. Namun,
Indonesia kini menghadapi teroris dari generasi ketiga yang berkombinasi dengan
teroris generasi keempat.
Yang disebut
teroris generasi keempat adalah orang-orang yang tak memiliki afiliasi apa pun
dengan teroris generasi sebelumnya, tetapi menjalani self-radicalization.
Radikalisasi itu terjadi saat yang bersangkutan mengonsumsi, terutama informasi
dari situs-situs radikal. Generasi ini umumnya terdiri dari anak-anak muda yang
cerdas, memiliki akses pada bahan dan informasi pembuatan bom, serta memiliki
kehidupan yang tertutup.
Informasi dari
situs radikal itu adalah salah satu dari beberapa strategi besar teroris
generasi keempat, yang untuk mudahnya kita sebut NIIS. NIIS membawa fenomena
baru di mana para teroris dari mancanegara datang ke satu lokasi dan membentuk
organisasi. Organisasi ini amat kuat aspek internasionalnya, terlihat mulai
dari pendanaan, perekrutan SDM, penggunaan multimedia, hingga pemberian
perintah untuk melakukan aksi di sejumlah tempat di dunia.
Hal ini jelas tak
bisa lagi ditanggulangi dengan cara lama ataupun kewenangan hukum lama dari UU
No 15 Tahun 2003. Terkait fenomena baru, diperlukan hukum baru. Jadi, jika ada
kalangan yang menyebutkan bahwa UU hasil revisi tak seyogianya berisi soal
penindakan terorisme, itu ada benarnya. Dimensi pencegahan dan penindakan perlu
berimbang. Penekanan pada penindakan saja tak akan membuat masalah selesai.
Namun, harus diakui juga bahwa peningkatan ancaman terorisme yang luar biasa
akhir-akhir ini membuat pemerintah dan aparat terpaksa fokus pada penumpasan.
Itulah substansi yang diharapkan dari revisi UU tersebut.
Sumber: Kompas, 6
Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!