SEPULUH perupa NTT memotret daerahnya dengan pendekatan seni
rupa pada pameran tiga hari, pada Minggu-Kamis (9-13/7) di Taman Ismail
Marzuki. Pameran itu pun menyingkap potensi perupa dan budaya daerah Nusalontar
itu.
Mulai saja dari
kekayaan warisan budaya dan tradisi. Pada ranah ini, budaya menjadi lokus yang
melahirkan kearifan, falsafah, dan cara hidup yang menjiwai setiap tindakan
masyarakat NTT. Masyarakat yang hidup di ujung barat Pulau Flores misalnya,
memiliki perilaku yang unik dalam membagikan bidang tanah ulayat atau lingko.
Tanah untuk kebun
bagi warga kampung dibagi dengan cara atau model jaring laba-laba. Mula-mula di
tengah lahan ulayat yang beratus hektare luasnya ditancap tonggak yang disebut
mangka. Dari mangka yang menjadi titik pusat ini setiap warga menarik patokan
keluar sejauh yang ditentukan. Jadi, tampak setiap warga memiliki kebun
menyerupai segitiga sama sisi dengan ujung kerucut pada satu titik pusat. Fakta
yang sama juga akan ditemukan dalam model kampung yang berbentuk lingkaran.
Di tengah kampung
ada compang, yaitu tugu dari undakan batu dengan tiang kokoh di tengah sebagai
tempat ritual adat berlangsung. Rumah gendang atau rumah adat pun demikian,
selalu ada tiang sentral, penopang utama. Falsafah di balik itu, yaitu satu titik
orientasi menjadi dasar dan tujuan kebersamaan, kekerabatan yang begitu kukuh
dari masyarakat Manggarai.
Kebersamaan itu
diwujudkan dalam tindakan dan kata. Kekayaan kultur ini yang diangkat oleh
perupa muda Efraim J Pranamantara. Aim, begitu dia disapa, merupakan alumnus
Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK), Ledalero, Maumere, yang berminat
mengeksplorasi budaya dan tradisi masyarakat Manggarai di Flores Barat.
Pemuda kelahiran
Kupang, 13 Maret 1986 ini mengeksplorasinya dalam ranah seni rupa. Pada pameran
kali ini Aim menyertakan empat karyanya, yaitu The Elder of Circle Village (Wae
Rebo), medium cat air di atas kertas berukuran 77x55 cm, Tuka Wing (Rahim)
dengan medium pigmen bebatuan kali dan cat air pada kanvas 80x100 cm, Paradoks
II : Menderita untuk Bebas (Cat minyak di atas kanvas, 120x100 cm), dan karya
berjudul Lingko, medium cat minyak di atas kanvas 150x100 cm.
Melalui karya
bertajuk Lingko, Aim sekaligus melontarkan kritikan dan mengungkapkan luhurnya
nilai di balik sistem pembagian tanah model jaring laba-laba. Dalam
pandangannya, salah satu permasalahan sosial di NTT adalah kemiskinan.
Kesenjangan sosial
antara miskin dan kaya tampak dalam kehidupan masyarakat NTT. Salah satu
penyebabnya, yaitu kepemilikan tanah yang dikuasai oleh sebagian masyarakat
yang memiliki “darah biru” atau keturunan bangsawan. Akibatnya mereka yang
tidak memiliki tanah sulit untuk memperoleh penghasilan dari bertani.
Walaupun bertani,
tidak di tanah sendiri akhirnya penghasilan mereka terbagi karena harus membayar
sewa tanah. Lingko, jelasnya, merupakan sistem pembagian tanah masyarakat
Manggarai di NTT. Bentuknya melingkar menyerupai jaring laba-laba. Lingkaran
bagi masyarakat Manggarai adalah simbol persatuan dan keadilan. “Sistem
pembagian tanah ini dimaksudkan agar setiap suku memperoleh luas tanah yang
sama besar dan sama-sama dialiri air.
Pembagiannya
seperti potongan kue tar atau piza dari tengah ke pinggir sebanyak kepala
keluarga di dalam suku. Falsafah tentang keadilan ini mungkin bisa menjadi
wejangan atau petunjuk bagi masyarakat luas agar selalu berlaku adil satu sama
lain,” beber Aim. Selain Aim, sembilan perupa lain yang ikut pada pameran ini
adalah Allen Fernandez (perempuan), Apri Manu, Fecky Messah, Feryry Wabang,
Jacky Lau, Maryam Mukin (perempuan), Peri Katemak, Tinik Royaniwati
(perempuan), dan Yopie Liliweri.
Apa yang disoroti
para seniman lewat karya seperti menyingkap berbagai potensi keindahan alam dan
budaya NTT. Kepala Dinas Kebudayaan NTT Mikhael Fernandez dalam sambutan
tertulisnya mengapresiasi karya-karya kesepuluh perupa. Bagi Fernandez, pameran
tersebut merupakan ajang memperkenalkan NTT ke kancah internasional.
Karena itu,
pemerintahan daerah NTT akan terus mendorong para seniman untuk menampilkan
karya mereka di kancah nasional ataupun internasional. “Pameran ini merupakan
media visual guna memberikan gambaran sosiokultural daerah Nusa Tenggara Timur
yang kaya dengan keindahan alam, keunikan budaya material, serta immaterial,”
kata Fernandes.
Pameran bertajuk
Nusalontar: Pilar Seni Rupa Indonesia Timur itu dikurasi oleh Yusuf Susilo
Hartono. Judul tersebut merujuk pada satu kenyataan bahwa NTT memiliki kekayaan
alam yang melimpah. Salah satu di antaranya pohon lontar yang bisa dimanfaatkan
untuk berbagai keperluan. Pameran bertajuk Nusalontar ingin mendorong kemampuan
perupa melihat daerah yang kaya itu dari berbagai pendekatan.
Menurut penilaian
Yusuf, karya-karya yang tampil pada pameran ini bukan potret mentah Nusalontar.
“Akan tetapi lebih dekat dengan pandangan Hidegger bahwa karya-karya seni ini
sebagai siasat untuk memantapkan dan mengubah persepsi sehari-hari dan membuka
kemungkinan-kemungkinan baru dalam menafsirkan kenyataan yang ada”. Meski seni
rupa NTT selama ini berada di luar arus utama seni rupa di Indonesia, Yusuf
berharap, pameran Nusalontar bisa mengangkat eksistensi seni rupa NTT dan
menjadi tiang seni rupa di Indonesia Timur. (Donatus Nador)
Sumber: Koran Sindo,
16 Juli 2017
Ket foto: Sepuluh perupa asal NTT menggelar pameran bersama di
Galeri III, Taman Ismail Marzuki, dari 9-13 Juli 2017. Pameran bertajuk Nusalontar:
Pilar Seni Rupa Indonesia Timur itu menyingkap kekayaan alam dan budaya yang
ada di NTT
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!