Oleh Herry Darwanto
Mantan Direktur
Pengembangan
Kawasan Khusus dan Tertinggal, Bappenas
PEMERINTAH mulai 2015
mengalokasikan dana bagi masyarakat desa di seluruh Indonesia. Dari Rp 20,76
triliun pada 2015, menjadi Rp 60 triliun (2017), dan Rp 120 triliun pada 2018.
Bagaimana masyarakat desa seyogianya menggunakan dana sebesar itu?
Selain dana desa yang berasal dari APBN sesuai amanat
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, sumber keuangan pemerintah desa
adalah dari alokasi dana desa, bagi hasil pajak, dan bagi hasil retribusi. Dana
desa menambah anggaran yang dikelola pemerintah desa. Semula di bawah Rp 200
juta, kini Rp 800 juta-Rp 1 miliar.
Menurut UU Desa, dana desa digunakan untuk membiayai
pembangunan infrastruktur fisik (seperti jalan), sarana ekonomi (seperti
pasar), sarana sosial (seperti klinik), serta untuk meningkatkan kemampuan
berusaha masyarakat desa. Tujuan akhirnya adalah mengurangi jumlah penduduk
miskin, mengurangi kesenjangan kota-desa dan meningkatkan kesejahteraan
masyarakat pedesaan.
Menurut BPS, jumlah penduduk miskin di pedesaan September
2016 diperkirakan 17,28 juta orang, jauh lebih banyak daripada penduduk Kamboja
(16 juta orang), atau Laos (7 juta orang). Suatu capaian yang monumental jika
jumlah penduduk miskin dapat dikurangi hingga nol dalam waktu 1-2 dekade.
Penggunaan dana desa
Pada dua tahun pertama, dana desa dapat digunakan untuk
berbagai keperluan walaupun utamanya untuk pembangunan infrastruktur desa.
Namun, tahun 2017 ini, penggunaan dana desa utamanya untuk membiayai
pelaksanaan program dan kegiatan yang bersifat lintas bidang, badan usaha
bersama, embung, produk unggulan desa, dan sarana olahraga desa (Peraturan
Menteri Desa Nomor 4 Tahun 2017).
Perubahan ini penting untuk mencegah penggunaan dana desa
untuk kegiatan yang tidak berdampak signifikan pada pembangunan desa. Hal ini
dapat terjadi karena penggunaan dana desa diarahkan mengikuti proses dari bawah
ke atas, yaitu diusulkan oleh masyarakat dalam musyawarah desa yang
diselenggarakan Badan Permusyawaratan Desa (BPD), pemerintah desa, dan unsur
masyarakat. Usulan dalam musyawarah desa diakomodasi oleh pemerintah desa dalam
peraturan desa tentang anggaran pendapatan dan belanja desa (APB desa).
Pemerintah mempunyai dua alat untuk mengoreksi rencana
kegiatan agar sesuai dengan tujuan program dana desa, yaitu melalui penelaahan
oleh bupati. Bupati memastikan bahwa kegiatan-kegiatan yang dibiayai dana desa
telah memenuhi ketentuan, antara lain tidak tumpang tindih dengan
program/kegiatan dari pemerintah pusat/provinsi/kabupaten, dan sesuai dengan
Peraturan Menteri Desa tentang penggunaan dana desa yang ditetapkan.
Alat kedua adalah tenaga pendamping lokal yang memberikan
pertimbangan secara profesional terhadap kegiatan yang diusulkan masyarakat
desa.
Kelemahan dari mekanisme pengendalian ini adalah aparat
bupati harus menyisir ribuan kegiatan yang diusulkan ratusan desa di wilayahnya
dan membandingkannya dengan banyak kegiatan sejenis yang sedang dan akan
dilaksanakan oleh dinas-dinas kabupaten ataupun instansi pemerintah provinsi,
bahkan pemerintah pusat, agar tidak ada yang tumpang tindih.
Salah satu contoh kurang tajamnya penelaahan aparat bupati
adalah pekerjaan pengerasan suatu ruas jalan desa yang dibiayai dengan dana
desa, yang ternyata pada ruas jalan yang sama dilakukan pengaspalan oleh dinas
kabupaten dengan dana APBD. Kejadian ini sangat mungkin terjadi pada
bidang-bidang yang lain. Tanpa sistem informasi digital yang lengkap, upaya
mencegah tumpang tindih kegiatan mustahil dapat dilakukan.
Adapun pertimbangan oleh tenaga pendamping dapat
dikesampingkan oleh aparat desa yang memiliki informasi yang lebih banyak
tentang masalah dan kebutuhan desa. Dalam suasana musyawarah desa, pernyataan
korektif tenaga pendamping juga dapat dianggap menghambat aspirasi rakyat.
Kesalahan penggunaan
Ada berita, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan
menindaklanjuti 87 dari 362 laporan tentang penggunaan dana desa yang
diindikasi bermasalah. Contohnya adalah aparat desa merencanakan membangun
jalan sepanjang 1.400 meter, tetapi hingga akhir tahun hanya selesai 112,8
meter. Contoh lain, gedung PAUD yang dibangun ternyata ukuran dan kualitas
bangunan tidak sesuai spesifikasi.
Kesalahan penggunaan dana desa tidak selalu berarti ada niat
buruk aparat pemerintah desa untuk menyalahgunakan kesempatan. Kesalahan bisa
terjadi karena kelemahan dalam administrasi keuangan, perjanjian atau kontrak
dengan pelaksana proyek, penyusunan spesifikasi pekerjaan, ataupun estimasi
biaya.
Memang sudah dilakukan berbagai upaya untuk mencegah
kesalahan penggunaan. Dalam Permendes, ada ketentuan untuk memublikasikan
rencana penggunaan dana desa di ruang publik yang dapat diakses masyarakat.
Namun, kecil kemungkinan bahwa masyarakat desa akan
memanfaatkan informasi itu untuk mengawasi penggunaan dana desa karena faktor
keengganan atau ewuh-pakewuh. Masyarakat cenderung menyerahkan masalah kepada
pihak-pihak yang berwenang, seperti kepolisian, BPKP, dan KPK.
Dalam hal ini ada dua masalah mendasar yang perlu diperbaiki
dalam pelaksanaan program dana desa, yaitu rentang kegiatan dengan dana desa
terlalu banyak dan pengawasan yang sulit karena banyaknya obyek. Beberapa hal
berikut dapat dilakukan pemerintah untuk mengatasi. Jumlah kegiatan dengan dana
desa perlu dikurangi sehingga efektif dan terkendali.
Arahan Presiden Jokowi untuk membangun embung (waduk)
menggunakan dana desa adalah kebijakan yang tepat karena banyak desa
dikhawatirkan akan mengalami kekurangan air saat kemarau sehingga dapat
mengganggu terpenuhinya kebutuhan pangan lokal.
Dalam permendes ada kebijakan memprioritaskan pembangunan
embung ini bersama dengan kegiatan badan usaha milik (BUM) desa, produk
unggulan dan sarana olahraga. Namun, yang menjadi masalah masyarakat desa tetap
boleh memanfaatkan dana desa untuk kegiatan lain yang juga diuraikan dalam
permendes tersebut.
Karena itu, dikhawatirkan upaya memfokuskan dana desa untuk
sedikit kegiatan yang berdampak besar akan tidak berhasil. Solusinya adalah
membagi dana desa ke dalam dua bidang: dana desa khusus dan umum.
Dana desa khusus untuk membiayai pembangunan prasarana atau
sarana yang harus ada di tiap desa, misalnya 1 bangunan sekolah dasar, 1
bangunan pasar, 1 puskesmas, dan 1 lapangan sepak bola.
Dengan demikian, pada akhir tahun semua desa di Indonesia
sudah mempunyai ke empat jenis sarana tersebut dengan spesifikasi bangunan yang
relatif sama. Pada tahun berikutnya dana desa khusus dapat diarahkan untuk
membangun sarana air bersih dan sanitasi hingga ke rumah- rumah penduduk.
Tahun berikutnya, listrik dan seterusnya. Tidak semua desa
mendapat alokasi dana desa khusus jika prasarana/sarana yang ditetapkan sudah
tersedia.
Adapun dana desa umum digunakan untuk meningkatkan kegiatan
ekonomi masyarakat desa dengan jenis kegiatan yang dipilih oleh masyarakat
sesuai kesepakatan. Bisa saja dana umum ini untuk membangun balai desa,
merintis koperasi desa yang menjual produk kerajinan lokal, memodali BUM desa,
membangun sarana pendaratan ikan, dan sebagainya. Kegiatan dana desa umum perlu
terintegrasi dengan kegiatan yang dibiayai dengan dana untuk desa dari APBD.
Sumber:
Kompas, 1 Juli 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!