Oleh Syamsuddin Haris
Profesor Riset LIPI
PEMERINTAH akhirnya meningkatkan nilai nominal subsidi negara bagi partai politik dari Rp 108 menjadi Rp 1.000 per suara parpol di DPR dan DPRD hasil pemilu legislatif. Peningkatan subsidi parpol sebesar hampir 1.000 persen itu direspons beragam. Bagaimana seharusnya?
Pada prinsipnya peningkatan subsidi negara bagi parpol adalah suatu keniscayaan, bukan hanya karena nilai nominal subsidi negara sebesar Rp 108 per suara hasil pemilu legislatif dewasa ini terlampau kecil. Studi yang pernah dilakukan Perludem (2012) mengonfirmasi, nominal rupiah subsidi negara yang diterima parpol hanya dapat memenuhi 1,3 persen kebutuhan pembiayaan parpol per tahun.
Sebagian kalangan yakin nilai nominal subsidi negara bagi parpol sebenarnya hanya memenuhi kurang dari 1 persen kebutuhan parpol per tahun. Padahal, studi itu menggunakan kasus parpol menengah sebagai unit analisis.
Empat argumen
Di luar fakta di atas, paling kurang ada empat argumen untuk mendukung peningkatan subsidi negara secara signifikan bagi parpol. Pertama, bagaimana pun parpol merupakan salah satu lembaga demokrasi yang paling strategis karena memiliki fungsi dan tanggung jawab perekrutan politik, baik melalui mekanisme elektoral (pemilu dan pilkada) maupun mekanisme nonelektoral, seperti fungsi uji kelayakan dan kepatutan atas jabatan publik tertentu oleh parpol di DPR.
Posisi penting dan strategis parpol yang juga telah diamanatkan oleh konstitusi hasil amandemen itu meniscayakan dukungan pembiayaan atau subsidi negara yang cukup besar.
Kedua, peningkatan subsidi negara secara signifikan diperlukan untuk mengambil alih kepemilikan parpol dari individu-individu pemilik uang sehingga ke depan parpol benar-benar menjadi badan hukum publik sebagaimana semangat Undang-Undang Partai Politik yang tak pernah terwujud dalam realitas politik.
Seperti diketahui, sebagian besar parpol kita dewasa ini lebih dimiliki para ketua umumnya ketimbang dimiliki anggota. Padahal, secara normatif, Undang-Undang Parpol mengamanatkan, kedaulatan partai berada di tangan anggota, bukan pada pimpinan partai.
Dampak luas dari personalisasi parpol tersebut adalah melembaganya oligarki, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan, baik dalam tata kelola partai maupun dalam seleksi pejabat publik.
Ketiga, demokrasi yang terkonsolidasi membutuhkan parpol yang juga sehat, demokratis, dan terinstitusionalisasi. Personalisasi parpol dan bahkan kepemilikan parpol oleh segelintir individu pemilik uang adalah ancaman serius bagi masa depan demokrasi bangsa kita. Betapa tidak, untuk beberapa parpol tertentu, keputusan akhir diambil oleh ketua umum ataupun ketua dewan pembina sehingga segenap pengurus dan anggota parpol tak lebih dari sekadar aksesori demokrasi belaka.
Keempat, negara tidak membolehkan parpol mencari sumber dana sendiri melalui badan usaha atau bisnis legal lainnya sehingga partai tak memiliki sumber pembiayaan yang berpotensi.
Sumber pembiayaan yang dilegalkan oleh Undang-Undang Partai Politik, seperti iuran anggota, dapat dikatakan tidak berjalan, sementara sumbangan sukarela dan tidak mengikat dari perorangan dan perusahaan tidak pernah pasti sehingga para politisi mencari "celah" korupsi untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan parpol. Tidak mengherankan jika jabatan publik akhirnya menjadi semacam "ATM" bagi parpol.
Lembaga terkorup
Meski demikian, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa partai politik adalah salah satu institusi terkorup, selain kepolisian dan kejaksaan. Survei publik yang pernah dilakukan Global Corruption Barometer (GCB) dan dipublikasikan Transparency International Indonesia (TII) pada Maret 2017, misalnya, mengonfirmasi DPR —yang seluruh anggotanya dari parpol— sebagai lembaga terkorup (Kompas, 9/3/2017). Survei serupa dengan hasil relatif sama pernah dipublikasikan lembaga yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, data Komisi Pemberantasan Korupsi mengonfirmasi, sekitar 32 persen "pasien" KPK alias pelaku tindak pidana korupsi adalah para politisi, baik politisi di lembaga legislatif, eksekutif, maupun lembaga pemerintahan lainnya. Operasi tangkap tangan yang digelar KPK dalam dua tahun terakhir, misalnya, memperlihatkan semakin banyaknya politisi parpol yang diindikasikan terlibat kasus suap dan korupsi.
Menarik bahwa semua parpol yang memperoleh kursi di DPR dan DPRD memiliki "pasien" di KPK sehingga tidak ada satu pun parpol yang berhak mengklaim diri sebagai partai yang "bersih" dari korupsi. Pertanyaannya, apakah parpol tetap layak memperoleh peningkatan subsidi negara demikian besar? Bukankah potensi korupsi menjadi lebih besar lagi jika negara bermurah hati kepada parpol yang korup dan tak kunjung mereformasi diri?
Menggarami air laut
Pertanyaan tersebut tentu absah dan sangat relevan diajukan. Karena itu, sebelum pemerintah menggelontorkan subsidi negara yang ditingkatkan hampir 1.000 persen dari sebelumnya, semestinya diberlakukan persyaratan ekstraketat.
Pertama, harus ada kesepakatan pemerintah dan DPR mengenai besaran maksimum subsidi negara bagi parpol, apakah 10, 30, 70, atau 100 persen dari kebutuhan pembiayaan parpol per tahun. Pengalaman negara lain pun bervariasi, ada yang subsidinya besar (di atas 75 persen), seperti Turki dan Meksiko; sedang (30-60 persen), seperti Jerman dan Nikaragua; dan kecil (di bawah 25 persen), seperti Inggris dan Australia. Namun, ada juga parpol yang tidak disubsidi sama sekali, seperti di Selanda Baru.
Saya berpendapat, subsidi negara bagi parpol di Indonesia mestinya tidak lebih dari 40 persen kebutuhan parpol per tahun agar masih ada ruang bagi parpol untuk otonom secara finansial.
Kedua, subsidi negara dengan persentase maksimum yang disepakati itu hendaknya tidak digelontorkan sekaligus, tetapi secara bertahap mengingat ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang juga terbatas. Karena itu, skema maksimum 40 persen subsidi negara dari kebutuhan parpol itu semestinya baru bisa terpenuhi dalam jangka waktu tertentu. Misalnya saja diberikan selama satu periode pemilu atau lima tahun. Itu artinya, nominal subsidi negara sebesar 40 persen dari kebutuhan parpol tersebut baru bisa dinikmati parpol pada lima tahun mendatang.
Jika ruang fiskal APBN tidak memungkinkan, skema subsidi negara secara bertahap itu bisa dibuat untuk jangka waktu dua periode pemilu atau 10 tahun. Dengan demikian, parpol baru bisa menikmati subsidi maksimal 10 tahun dari sekarang.
Ketiga, subsidi negara yang bersumber dari APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tersebut tidak harus semuanya berbentuk uang tunai. Jadi, bisa saja subsidi negara dalam bentuk pembiayaan kampanye melalui media oleh negara sehingga potensi penyalahgunaannya pun bisa dihindari.
Keempat, pengelolaan dana subsidi negara bagi parpol harus dilakukan secara transparan melalui mekanisme pertanggungjawaban yang juga jelas serta standar dan prosedur yang memenuhi prinsip tata kelola keuangan yang baik. Selain itu, peruntukan dana subsidi negara harus diprioritaskan pada kegiatan strategis parpol, seperti pendidikan politik serta kaderisasi dan perekrutan politik.
Kelima, pemerintah perlu membuat skema pengawasan dan standar supervisi yang baku agar penggunaan dana subsidi negara tersebut benar-benar berkontribusi positif bagi perbaikan kualitas parpol dan demokrasi kita.
Dalam kaitan ini pemerintah semestinya menggandeng Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan KPK dalam rangka merumuskan skema pengawasan dan standar supervisi yang jelas dan baku tersebut.
Ironisnya, pemerintah sudah telanjur setuju untuk menggelontorkan subsidi negara bagi parpol yang mengalami kenaikan hampir 1.000 persen tanpa kejelasan syarat-syaratnya. Di sisi lain, belum tampak komitmen dan inisiatif parpol untuk mereformasi diri.
Sebab, jika syarat-syarat minimal itu tidak terpenuhi, peningkatan subsidi negara bagi parpol ibarat menggarami air laut karena tidak akan pernah ada hasilnya. Parpol yang korup dikhawatirkan akan semakin korup, apalagi dengan penggunaan hak angket DPR terhadap KPK saat ini. Publik belum sepenuhnya percaya bahwa parpol-parpol kita sungguh-sungguh memiliki komitmen pemberantasan korupsi dan penegakan pemerintahan yang baik dan bersih.
Sumber: Kompas, 11 Juli 2017
Subsidi Negara bagi
Parpol (SYAMSUDDIN HARIS)
Pemerintah akhirnya meningkatkan nilai nominal subsidi negara bagi
partai politik dari Rp 108 menjadi Rp 1.000 per suara parpol di DPR dan
DPRD hasil pemilu legislatif. Peningkatan subsidi parpol sebesar hampir
1.000 persen itu direspons beragam. Bagaimana seharusnya?
Pada prinsipnya peningkatan subsidi negara bagi parpol adalah suatu
keniscayaan, bukan hanya karena nilai nominal subsidi negara sebesar Rp
108 per suara hasil pemilu legislatif dewasa ini terlampau kecil. Studi
yang pernah dilakukan Perludem (2012) mengonfirmasi, nominal rupiah
subsidi negara yang diterima parpol hanya dapat memenuhi 1,3 persen
kebutuhan pembiayaan parpol per tahun.
Sebagian kalangan yakin nilai nominal subsidi negara bagi parpol
sebenarnya hanya memenuhi kurang dari 1 persen kebutuhan parpol per
tahun. Padahal, studi itu menggunakan kasus parpol menengah sebagai unit
analisis.
Empat argumen
Di luar fakta di atas, paling kurang ada empat argumen untuk mendukung
peningkatan subsidi negara secara signifikan bagi parpol. Pertama,
bagaimana pun parpol merupakan salah satu lembaga demokrasi yang paling
strategis karena memiliki fungsi dan tanggung jawab perekrutan politik,
baik melalui mekanisme elektoral (pemilu dan pilkada) maupun mekanisme
nonelektoral, seperti fungsi uji kelayakan dan kepatutan atas jabatan
publik tertentu oleh parpol di DPR.
Posisi penting dan strategis parpol yang juga telah diamanatkan oleh
konstitusi hasil amandemen itu meniscayakan dukungan pembiayaan atau
subsidi negara yang cukup besar.
Kedua, peningkatan subsidi negara secara signifikan diperlukan untuk
mengambil alih kepemilikan parpol dari individu-individu pemilik uang
sehingga ke depan parpol benar-benar menjadi badan hukum publik
sebagaimana semangat Undang-Undang Partai Politik yang tak pernah
terwujud dalam realitas politik.
Seperti diketahui, sebagian besar parpol kita dewasa ini lebih dimiliki
para ketua umumnya ketimbang dimiliki anggota. Padahal, secara normatif,
Undang-Undang Parpol mengamanatkan, kedaulatan partai berada di tangan
anggota, bukan pada pimpinan partai.
Dampak luas dari personalisasi parpol tersebut adalah melembaganya
oligarki, korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan, baik dalam tata kelola
partai maupun dalam seleksi pejabat publik.
Ketiga, demokrasi yang terkonsolidasi membutuhkan parpol yang juga
sehat, demokratis, dan terinstitusionalisasi. Personalisasi parpol dan
bahkan kepemilikan parpol oleh segelintir individu pemilik uang adalah
ancaman serius bagi masa depan demokrasi bangsa kita. Betapa tidak,
untuk beberapa parpol tertentu, keputusan akhir diambil oleh ketua umum
ataupun ketua dewan pembina sehingga segenap pengurus dan anggota parpol
tak lebih dari sekadar aksesori demokrasi belaka.
Keempat, negara tidak membolehkan parpol mencari sumber dana sendiri
melalui badan usaha atau bisnis legal lainnya sehingga partai tak
memiliki sumber pembiayaan yang berpotensi.
Sumber pembiayaan yang dilegalkan oleh Undang-Undang Partai Politik,
seperti iuran anggota, dapat dikatakan tidak berjalan, sementara
sumbangan sukarela dan tidak mengikat dari perorangan dan perusahaan
tidak pernah pasti sehingga para politisi mencari "celah" korupsi untuk
memenuhi kebutuhan pembiayaan parpol. Tidak mengherankan jika jabatan
publik akhirnya menjadi semacam "ATM" bagi parpol.
Lembaga terkorup
Meski demikian, kita juga tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa
partai politik adalah salah satu institusi terkorup, selain kepolisian
dan kejaksaan. Survei publik yang pernah dilakukan Global Corruption
Barometer (GCB) dan dipublikasikan Transparency International Indonesia
(TII) pada Maret 2017, misalnya, mengonfirmasi DPR—yang seluruh
anggotanya dari parpol—sebagai lembaga terkorup (Kompas, 9/3/2017).
Survei serupa dengan hasil relatif sama pernah dipublikasikan lembaga
yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.
Di sisi lain, data Komisi Pemberantasan Korupsi mengonfirmasi, sekitar
32 persen "pasien" KPK alias pelaku tindak pidana korupsi adalah para
politisi, baik politisi di lembaga legislatif, eksekutif, maupun lembaga
pemerintahan lainnya. Operasi tangkap tangan yang digelar KPK dalam dua
tahun terakhir, misalnya, memperlihatkan semakin banyaknya politisi
parpol yang diindikasikan terlibat kasus suap dan korupsi.
Menarik bahwa semua parpol yang memperoleh kursi di DPR dan DPRD
memiliki "pasien" di KPK sehingga tidak ada satu pun parpol yang berhak
mengklaim diri sebagai partai yang "bersih" dari korupsi. Pertanyaannya,
apakah parpol tetap layak memperoleh peningkatan subsidi negara
demikian besar? Bukankah potensi korupsi menjadi lebih besar lagi jika
negara bermurah hati kepada parpol yang korup dan tak kunjung
mereformasi diri?
Menggarami air laut
Pertanyaan tersebut tentu absah dan sangat relevan diajukan. Karena itu,
sebelum pemerintah menggelontorkan subsidi negara yang ditingkatkan
hampir 1.000 persen dari sebelumnya, semestinya diberlakukan persyaratan
ekstraketat.
Pertama, harus ada kesepakatan pemerintah dan DPR mengenai besaran
maksimum subsidi negara bagi parpol, apakah 10, 30, 70, atau 100 persen
dari kebutuhan pembiayaan parpol per tahun. Pengalaman negara lain pun
bervariasi, ada yang subsidinya besar (di atas 75 persen), seperti Turki
dan Meksiko; sedang (30-60 persen), seperti Jerman dan Nikaragua; dan
kecil (di bawah 25 persen), seperti Inggris dan Australia. Namun, ada
juga parpol yang tidak disubsidi sama sekali, seperti di Selanda Baru.
Saya berpendapat, subsidi negara bagi parpol di Indonesia mestinya tidak
lebih dari 40 persen kebutuhan parpol per tahun agar masih ada ruang
bagi parpol untuk otonom secara finansial.
Kedua, subsidi negara dengan persentase maksimum yang disepakati itu
hendaknya tidak digelontorkan sekaligus, tetapi secara bertahap
mengingat ruang fiskal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang juga terbatas. Karena itu, skema maksimum 40 persen subsidi negara
dari kebutuhan parpol itu semestinya baru bisa terpenuhi dalam jangka
waktu tertentu. Misalnya saja diberikan selama satu periode pemilu atau
lima tahun. Itu artinya, nominal subsidi negara sebesar 40 persen dari
kebutuhan parpol tersebut baru bisa dinikmati parpol pada lima tahun
mendatang.
Jika ruang fiskal APBN tidak memungkinkan, skema subsidi negara secara
bertahap itu bisa dibuat untuk jangka waktu dua periode pemilu atau 10
tahun. Dengan demikian, parpol baru bisa menikmati subsidi maksimal 10
tahun dari sekarang.
Ketiga, subsidi negara yang bersumber dari APBN dan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD) tersebut tidak harus semuanya berbentuk uang
tunai. Jadi, bisa saja subsidi negara dalam bentuk pembiayaan kampanye
melalui media oleh negara sehingga potensi penyalahgunaannya pun bisa
dihindari.
Keempat, pengelolaan dana subsidi negara bagi parpol harus dilakukan
secara transparan melalui mekanisme pertanggungjawaban yang juga jelas
serta standar dan prosedur yang memenuhi prinsip tata kelola keuangan
yang baik. Selain itu, peruntukan dana subsidi negara harus
diprioritaskan pada kegiatan strategis parpol, seperti pendidikan
politik serta kaderisasi dan perekrutan politik.
Kelima, pemerintah perlu membuat skema pengawasan dan standar supervisi
yang baku agar penggunaan dana subsidi negara tersebut benar-benar
berkontribusi positif bagi perbaikan kualitas parpol dan demokrasi kita.
Dalam kaitan ini pemerintah semestinya menggandeng Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) dan KPK dalam rangka merumuskan skema pengawasan dan
standar supervisi yang jelas dan baku tersebut.
Ironisnya, pemerintah sudah telanjur setuju untuk menggelontorkan
subsidi negara bagi parpol yang mengalami kenaikan hampir 1.000 persen
tanpa kejelasan syarat-syaratnya. Di sisi lain, belum tampak komitmen
dan inisiatif parpol untuk mereformasi diri.
Sebab, jika syarat-syarat minimal itu tidak terpenuhi, peningkatan
subsidi negara bagi parpol ibarat menggarami air laut karena tidak akan
pernah ada hasilnya. Parpol yang korup dikhawatirkan akan semakin korup,
apalagi dengan penggunaan hak angket DPR terhadap KPK saat ini. Publik
belum sepenuhnya percaya bahwa parpol-parpol kita sungguh-sungguh
memiliki komitmen pemberantasan korupsi dan penegakan pemerintahan yang
baik dan bersih.
SYAMSUDDIN HARIS
Profesor Riset LIPI
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juli 2017
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!