Staf Anggota DPR RI
MOMENTUM HUT ke-72 RI lalu semakin meriah
karena menjadi ajang bertemunya pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara seperti
DPR, MPR, dan DPD RI, para menteri Kabinet Kerja, Panglima TNI Gatot Nurmantyo
beserta jajaran dan Kapolri Tito Karnavian beserta jajarannya menjaga
dan meneruskan tradisi kenegaraan yang sudah berjalan selama 72 tahun. Berikut
pimpinan dan elite (partai) politik negeri seperti Setya Novanto, Surya Paloh,
Zulkifli Hasan, Oesman Sapta Odang, Muhaimin Inskandar, Romahurmuziy, dan para
tamu undangan yang sebagian besar mengenakan pakaian khas masing-masing daerah.
Pertemuan tersebut, yang juga melibatkan para petinggi partai tingkat nasional,
boleh jadi sekaligus memastikan makna politik hakiki dalam mengelola
pemerintahan dan relasi yang produktif untuk menggapai kebaikan bersama (bonum
commune).
Momentum ini juga
semakin menarik dan meriah kala Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Joko
Widodo beserta Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ibu Mufidah Jusuf Kalla tampil
dalam sesi foto bersama usai peringatan HUT RI di Istana Negara, Jalan Merdeka
Utara. Saat itu, Jokowi mengajak presiden-wakil presiden terdahulu seperti
Bacharuddin Jusuf Habibie, Megawati Sukarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono dan
Ibu Ani Yudhoyono, Try Sutrisno dan Ibu Tuti Sutiawati Sutrisno, Boediono dan
Ny Herawati Boediono, untuk foto bersama.
Gambar yang
diabadikan Agus Suparto, pewarta foto dari Sekretariat Presiden tentu
menggembirakan masyarakat. Meski negeri ini kerap dibelit berbagai persoalan
sosial-politik sesulit apapun, para pemimpin masih bisa bertemu dalam suasana
kekeluargaan penuh persaudaraan: hal yang selalu dirindukan masyarakat.
Keteladanan pemimpin seperti itu adalah hal yang terus memenuhi ruang batin
masyarakat meski pemandangan itu langka dan kerap absen di mata publik.
Kemeriahan acara
HUT RI kali ini boleh jadi merupakan sejarah baru dalam pemerintahan
Jokowi-Kalla. Sesi foto bersama Jokowi tersebut bisa saja merupakan hal biasa
bagi para pejabat, karyawan maupun wartawan yang bertugas di lingkup Istana
Kepresidenan. Bagi publik, apakah foto bareng ini membanggakan, menggembirakan,
dan luar biasa? Tentu. Paling kurang bagi publik dan masyarakat Indonesia yang
bermukim di seluruh pelosok Tanah Air; dari Sabang-Merauke dan dari Miangas hingga
Pulau Rote, yang menyaksikan langsung melalui tayangan televisi.
Makna politik
Apa yang bisa
dipetik dari –terutama– pertemuan antara Jokowi, Megawati, dan Yudhoyono dari
pertemuan penting tiga tokoh penting dari Merdeka Utara? Tulisan ini
terinsiprasi artikel terdahulu masing-masing, Asa di Hari Kemerdekaan ulasan
guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra (Kompas, 22/8) dan
Keteladanan dari Merdeka Utara tulisan pengajar Universitas Mercu Buana
Maksimus Ramses Lalongkoe (Media Indonesia, 23/8).
Azyumardi menyebut,
lewat peringatan Hari Kemerdekaan, kebinekaan ditegaskan kembali lewat politik
pengakuan (politics of recognition) yang merupakan prinsip dasar
multikulturalisme. Datang memenuhi undangan Presiden Jokowi untuk peringatan 17
Agustus, hadir tiga figur yang pernah menduduki jabatan presiden, yaitu
Habibie, Megawati, dan Yudhoyono.
Sedangkan Ramses
mengamati pertemuan itu dalam sebuah pertanyaan retoris: mengapa kehadiran SBY
menjadi perhatian publik? Ia menemukan tiga jawaban. Pertama, selama dua tahun
pemerintahan Presiden Jokowi, SBY tidak pernah menghadiri HUT RI di Istana
Negara. Kedua, selama sepuluh tahun SBY menjadi orang nomor satu Indonesia,
Megawati tidak pernah menghadiri HUT RI di Istana Negara meskipun mendapat
undangan resmi sebagai mantan presiden. Selama bertahun-tahun, demikian Ramses,
hubungan keduanya renggang dan saling menghindar. Ketiga, SBY kerap
menyampaikan kritik terhadap Jokowi baik lewat media massa maupun media sosial.
Lepas dari itu,
hemat saya pertemuan para tokoh tersebut terutama “trio” orang nomor satu RI
yang pernah dan sedang mengemban tugas bersama rakyat: Jokowi, Mega, dan
Yudhoyono, menyampaikan pesan penting dari makna politik ideal. Dalam arti
luas, seperti kerap diulas, politik dipahami sebagai bagian dari dimensi
terdalam hidup manusia (rakyat).
Dalam Spiritualitas
Politik (2014), Paulinus Yan Olla, MSF, doktor teologi spiritual lulusan
Pontificio Instituto di Spiritualita Teresianum, Roma, lebih jauh menjelaskan
detail makna politik. Politik dipahami sebagai partisipasi aktif semua warga
negara secara bebas dan aktif dalam meletakkan dasar juridis bagi suatu
masyarakat maupun dalam tata pemerintahan. Setiap warga negara mempunyai hak
dan kewajiban membangun kesejahteraan umum sebagai tujuan dari politik.
Ia bisa menjadi
bentuk keterlibatan di tempat kerja, di perkumpulan-perkumpulan, maupun dalam
kelompok masyarakat sipil. Dalam arti umum, partisipasi politik adalah tindakan
seorang warga negara biasa yang dilakukan secara sukarela untuk memengaruhi
keputusan-keputusan publik. Politik mencakup pula hal khusus yakni keterlibatan
langsung dalam politik praktis demi tercapainya kebaikan umum. Di sana ada
keterlibatan langsung mengurus kepentingan publik di tingkat pemerintahan baik
pusat maupun daerah (hal. 17).
Awal yang baik
Hemat saya,
pertemuan Jokowi yang diikuti dengan sesi foto dalam suasana kekeluargaan pada
peringatan hari kemerdekaan memiliki arti penting. Pertama, pertemuan itu
merupakan awal yang baik bagi bagi masa depan Indonesia dan keberlangsungan
kehidupan berbangsa dan bernegara serta relasi mengurus negeri dan merawat
partai guna menggandakan peran dan arti terdalam politik yang berkiblat ke
kebaikan bersama. Kedua, Jokowi dan Jusuf Kalla adalah tipikal pemimpin negara
yang cerdas dalam mengelola setiap perbedaan di antara para pemimpin melalui
komunikasi politik yang efektif dan apa adanya.
Ketiga, Jokowi
melalui gerak-gerik yang terkesan ‘kampungan’; ndeso, kebiasaan hidup ada
adanya, dan melalui tindakan-tindakan terkesan remeh temeh namun sangat luar
biasa pengaruhnya bagi bangsa dan negara adalah kekuatan kecil yang boleh jadi
mampu meyakinkan para tokoh dan pemimpin negeri untuk ikut memberikan nasihat
dan saran konstruktif atas kepemimpinan yang tengah diemban. Ia mantap di
jalurnya dan memahami sungguh bahwa bersama rakyat (termasuk para pemimpin
pendahulunya), politik itu menjadi simpel.
Dalam bahasa
Jokowi: Politik tanpa Pencitraan (2012) bekas Walikota Surakarta itu dilukiskan
tampil apa adanya yang merupakan karakter khasnya. Jokowi tak neko neko,
simpel, dan sederhana baik dalam berbicara maupun berperilaku. Ia bukannya
tidak peduli apa yang dikatakan orang tentang dirinya; malah ia cederung
“manut”, apa yang orang mau ia lakukan. Pokoknya ia mengiyakan dulu saran dan
pendapat orang. Apakah ia benar-benar mengikuti dan melaksanakan apa yang orang
mau dia lakukan, itu soal nanti atau malah soal lain. Dia menerima orang lain
dan orang lain itu pada akhirnya akan menerima dirinya, bukan menerima Jokowi
yang mereka mau (hal. 27).
Hal-hal kecil
inilah sesungguhnya merupakan keteladanan yang sudah dan sedang mekar dan terus
akan berdenyut dalam nadi politik para elite negeri dan politisi kita yang
sedang dikobarkan dari pertemuan dan sesi foto di ruang sejuk Istana Negara
bilangan Merdeka Utara, 17 Agustus lalu. Hebat, kan? Ini sesungguhnya yang
selalu dirindukan rakyat: keteladanan pemimpin dan elite (politik).
Jakarta, 23 Agustus 2017
Terimakasih informasinya
ReplyDeleteTerima kasih kembali. Salam hormat
Delete