Peneliti Public Service Bradcasting;
Anggota Dewan
Pengawas LPP RRI
DI tengah gempuran ratusan stasiun televisi komersial, dua
ribuan radio penyiaran komersial, dan jutaan media sosial era digital, quo
vadis Radio Republik Indonesia yang genap 72 tahun mengudara 11 September 2017
dan Televisi Republik Indonesia ke-53 pada 24 Agustus 2017?
RRI dan TVRI adalah
lembaga milik negara yang telah dinobatkan sebagai corong publik. Sebelumnya
kedua lembaga itu merupakan lembaga pemerintah yang berubah sejak
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002. Hal ini ditegaskan melalui
seperangkat aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah Nomor 12 dan 13
Tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI dan TVRI, di mana
pemimpinnya adalah presiden.
LPP adalah alasan
(raison d'etre) pelayanan publik dalam arti luas, yakni pekerjaan yang dilakukan
terus-menerus, memiliki tujuan bermakna filosofis, ideologis, dan kultural.
David Sarnoff
(1921) menulis bahwa pekerjaan mendidik, menghibur, dan menginformasikan adalah
pekerjaan pelayanan penyiaran publik. David Hendy (2013) mencatat lima dasar
yang sangat menginspirasi pelayanan penyiaran publik, yakni pencerahan
(enlightenment), kebebasan (democracy), beretika (culture), pelayanan
(service), pilihan (choice), dan dapat dipercaya (trust).
Mencerdaskan bangsa
LPP memang bukan
lembaga propaganda. Tugasnya mencerdaskan bangsa pada berbagai aspek,
pendidikan, informasi, berita, dan hiburan. Inilah yang membedakan pelayanan
penyiaran publik dengan penyiaran komersial dan penyiaran pemerintah untuk
propaganda.
Pembiayaannya,
apabila siaran komersial membutuhkan kapital sangat besar, audiens yang banyak,
dan kemasan bagus untuk mendapatkan profit, sesungguhnya pelayanan publik hanya
membutuhkan pembiayaan "secukupnya" karena dalam melayani tidak
diukur berapa banyak pendengar/pemirsa. Cukup "satu" pendengar
tercerdaskan dan terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik, niscaya
sudah merupakan benefit.
Sebagaimana
diungkap George Garbner (1998), "Giant media has nothing to tell, only
plenty to sell". Pelayanan penyiaran publik adalah pekerjaan khusus yang
dikenal dengan lex specialis. Ini membutuhkan perhatian dan pengelolaan khusus
pula, di mana hambatanya adalah lex generale. Dalam konteks RRI dan TVRI adalah
bagaimana agar praktisi kedua lembaga itu mampu meyakinkan pemerintah dan
publik tentang tugas khusus ini, sementara banyak aturan umum yang mengancam
kekhususan pelayanan penyiaran publik.
Artinya, sebelum
sampai pada kemandirian kebijakan editorial, prasyaratnya harus jelas agar pembiayaan
dapat dikelola secara mandiri dengan sistem akuntabilitas yang dapat dipercaya.
Kenyataannya, LPP
malah semakin tidak menentu. Di satu sisi, RRI dan TVRI sudah menjadi LPP. Di
sisi lain, ada upaya menarik kedua lembaga ini kembali ke rezim tertutup dengan
menghadirkan aturan baru, seperti UU Penerimaan Negara Bukan Pajak dan Aparatur
Sipil Negara. Sementara revisi UU No 32 dan RUU Radio Televisi Republik
Indonesia yang bisa memberi kejelasan mandat belum terwujud.
Mantan Ketua
British Broadcasting Corporation (BBC Trust) Sir Lord Patten (2015) mengatakan,
public service broadcasting (PSB) di era sekarang berada di simpang jalan
sehingga perlu mencari jalan lain. Dewan Penyiaran Eropa (2009)
mengidentifikasi empat perubahan struktural yang berdampak pada organisasi
public service media (PSM), yakni digitalisasi, perubahan kebiasaan pemirsa,
tekanan ekonomi-politik, dan persaingan bisnis.
Peneliti senior
UNESCO, Toby Mandel (2011), dalam surveinya terhadap PSB di delapan negara
menemukan sejumlah ancaman terhadap keberhasilan PSB, yaitu penerapan kontrol
atas lembaga penyiaran publik oleh otoritas pemerintah; rongrongan pada
independensi, kualitas program berita, dan kebijakan editorial; penerapan
kontrol ekstensif agar masyarakat tidak mendapat informasi dari sumber yang
independen; serta pemerintah kurang percaya kepada LPP dalam mengendalikan
informasi sehingga berupaya hadir dengan penekanan (pressure).
Selain itu, ada
juga sejumlah ancaman yang menghambat pelayanan penyiaran publik, antara lain
pemotongan anggaran yang berakibat kurangnya pendanaan sehingga PSB berusaha
mencari alternatif pendanaan yang bisa menghambat profesionalisme dan mandat
utama PSB serta mekanisme pengelolaan SDM LPP yang tidak jelas sejak reformasi
1998-2017.
RRI dan TVRI belum berkesempatan
mengelola SDM secara profesional sesuai sistem renumerasi dan karier sebagai
media pelayanan penyiaran publik lex specialis. Masalah tumpang tindih
kebijakan akan berdampak pada karier SDM RRI dan TVRI ataupun harapan pemenuhan
kebutuhan publik akan informasi yang mencerdaskan.
Faktor pembiayaan
Dengan demikian,
pembiayaan penyiaran publik bukanlah utama, melainkan yang terpenting sebagai
alat pembiayaan terstruktur. Pendanaan menjadi salah satu variabel penting
dalam menjaga independensi pelayanan penyiaran publik, seperti RRI dan TVRI.
Kedua lembaga milik negara ini tampak masih sangat bergantung pada APBN.
Sebagai contoh,
anggaran RRI terbesar dari APBN, 98 persen. Hanya 2 persen sisanya dari
penarikan pajak siaran dan nonsiaran atau PNBP. Padahal, anggaran senilai Rp
900 miliar itu sebagian besar (Rp 650 miliar) untuk membiayai 6.500 karyawan
PNS dan pegawai bukan PNS.
Negara hanya
menyiapkan sekitar Rp 90 miliar untuk membiayai lima program siaran, yakni pro
1 (ibu kota), pro 2 (anak muda), pro 3 (berita dan informasi), serta pro 4
(budaya). Biaya tersebut untuk program dan konten penyiaran 24 jam non-stop
mencakup 92 stasiun penyiaran RRI di 92 kota provinsi dan kabupaten/kota di
seluruh Indonesia, The Voice of Indonesia (pelayanan penyiaran dalam sembilan
bahasa asing ke luar negeri), serta sisanya sekitar Rp 165 miliar untuk
pengembangan teknologi penyiaran, pemeliharaan, dan pengelolaan perkantoran.
Ilustrasi ini dapat memberikan gambaran bagaimana kedua LPP dibentuk dari UU
Penyiaran yang jauh dari harapan pelayanan penyiaran publik yang independen dan
profesional.
Dari perspektif
pembiayaan tersebut, RRI dan TVRI sulit melepaskan diri dari citra status quo
sebagai lembaga pemerintah atau corong pemerintah sehingga memberi kesan jauh
dari independen dan profesional. Model tunggal pendanaan anggaran negara dapat
membuat pertumbuhan RRI-TVRI bergantung pada pemerintah yang berkuasa dan sulit
meraih citra sebagai media pelayanan penyiaran publik.
Inilah barangkali
yang membuat RRI dan TVRI belum masuk PSB dalam survei terbaru UNESCO (2009).
Thailand menjadi satu-satunya anggota negara di Asia Tenggara (ASEAN) yang
terpilih sebagai PSB karena PSB Thailand walau dibawa kontrol junta militer,
tetapi dapat menunjukkan model pembiayaan subsidi negara dari pajak tembakau
dan minuman keras.
British
Broadcasting Corporation (BBC) dipilih sebagai model PSB asli selama hampir
satu abad karena dibiayai dari iuran rakyat Inggris (public lessens fee),
sedangkan South African Broadcasting Corporation (SABC) bisa bertahan dengan
bersandar pada penjualan iklan. Sekitar 76 persen dari total pendapatan SABC
pada 2009 berasal dari iklan.
Walaupun cara
tradisional model penarikan dana langsung dari publik sudah tidak lagi populer,
media publik di sejumlah negara berusaha menutupi kekurangan biaya dengan cara
smart, yakni membuka kanal penjualan, memfungsikan aset, dan mendapat subsidi
terbatas dari pemerintah terkait tanggung jawab sosial dan tetap independen
dalam kebijakan editorial.
BBC merupakan
contoh paling tepat terhadap kerja media pelayanan penyiaran dalam pencerdasan
publik (educate, inform, and entertain) dan mampu memfungsikan asetnya yang
dirawat sejak 1922. Mungkinkah RRI dan TVRI diberikan kemampuan mengelola
sumber daya secara independen yang dikuasai sejak 1945 sebagai modal dasar LPP?
Tampaknya PSB di
setiap negara memiliki masalah pendanaan untuk bisa memberikan pelayanan
maksimal. Pertanyaannya kemudian, dalam menyongsong digitalisasi penyiaran,
model pembiayaan seperti apakah yang paling pas, yang menjamin independensi
editorial dan memastikan PSB dapat melayani publik sesusai mandatnya?
Mampukah DPR,
pemerintah, bersama praktisi penyiaran publik menghasilkan mandat bagi kedua
lembaga sehingga segera menemukan jalan yang disarankan Sir Lord Patten agar
mandiri dan profesional sehingga menghapus citra corong pemerintah di masa
lalu?
RRI dan TVRI sedang
menghadapi tantangan. Adakah jalan untuk kesinambungan kedua lembaga ini
mengingat sejarah berdirinya sangat melekat dengan perjalanan bangsa dan negara
Indonesia?
Sumber: Kompas, 26 Agustus 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!