Oleh
Yudi Latif
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
KEMERDEKAAN tidak menyudahi soal-soal,
kemerdekaan malah membangunkan soal-soal; tetapi kemerdekaan juga memberi jalan
untuk memecahkan soal-soal itu. Hanya ketidakmerdekaanlah yang tidak memberi
jalan untuk memecahkan soal-soal."
Pernyataan Bung
Karno ini mengisyaratkan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terbatas
kebebasan sebagai "hak negatif" ("bebas dari" berbagai
bentuk penjajahan, penindasan, dan pemiskinan), tetapi juga kebebasan sebagai
"hak positif" ("bebas untuk" mengembangkan diri dan nilai
tambah demi mencapai kemajuan, keluhuran, kebahagiaan hidup). Pengalaman
ketertindasan, diskriminasi, dan eksploitasi memang pantas diratapi, dilawan,
dan diperingati. "Tetapi manusia," ujar Isiah Berlin, "tidaklah
hidup sekadar memerangi keburukan. Mereka hidup dengan tujuan positif,
menghadirkan kebaikan." Kemerdekaan memimpikan banyak hal, yang hanya bisa
dipenuhi jiwa merdeka. Di sinilah letak paradoks Indonesia masa kini.
Selama belasan
tahun orde reformasi, kebebasan sebagai "hak negatif" mengalami
surplus. Namun, kebebasan sebagai "hak positif" masih defisit. Di
satu sisi, ledakan kebebasan dari berbagai bentuk represi membangkitkan harapan
rakyat akan kehidupan yang lebih baik, lebih adil, dan sejahtera. Di sisi lain,
kapasitas negara-bangsa untuk memenuhi ekspektasi itu dibatasi defisit jiwa
merdeka di kalangan elite negeri yang membuat energi nasional terkuras untuk
mempertentangkan hal-hal yang remeh-temeh dengan keriuhan berbagai manuver
politik yang terputus dari persoalan rakyatnya.
Demi memperjuangkan
kemerdekaan sebagai "hak positif", yang harus segera dijebol adalah
hambatan mental (mental bloc). Warisan terburuk kolonialisme, feodalisme, dan
otoritarianisme bukan terletak pada besaran kekayaan yang dirampas, penderitaan
yang ditimbulkan, dan nyawa yang melayang, melainkan pewarisan nilai koruptif,
penindasan, dan perbudakan yang tertanam dalam mental bangsa.
Indonesia bangsa
besar dengan mental kecil yang masih belum terbebas dari mentalitas kaum
terjajah dengan kompleks rendah diri. Dalam Amanat Presiden pada Ulang Tahun
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1957, Bung Karno mengingatkan
perlunya bangsa Indonesia memerangi diri sendiri, "zelfoverwinning atas
diri kita sendiri", sehubungan kecenderungan menurunnya kesadaran nasional
dan kekuatan jiwa nasional kita. Menurut dia, "Kelemahan jiwa kita ialah,
kita kurang percaya kepada diri kita sendiri sebagai bangsa sehingga kita
menjadi bangsa penjiplak luar negeri, kurang percaya-memercayai satu sama lain
padahal kita ini pada asalnya ialah rakyat gotong royong, kurang berjiwa gigih
melainkan terlalu lekas mau enak dan 'cari gampangnya saja'. Dan, itu semua
karena makin menipisnya 'rasa harkat nasional'-makin menipisnya rasa 'national
dignity'-makin menipisnya rasa bangga dan rasa hormat terhadap kemampuan dan
kepribadian bangsa dan rakyat sendiri."
Kemerdekaan tanpa
jiwa merdeka membawa ledakan kebebasan dengan minus kapasitas dan
produktivitas. Euforia kebebasan dalam intensitas arus globalisasi mendorong
kehidupan bangsa pengekor ini kian dibanjiri arus masuk informasi, teknologi,
dan ideologi dari luar. Tanpa kapasitas mengembangkan hak positif, arus masuk
berbagai unsur globalisasi itu di satu sisi kian meluaskan adopsi teknologi
tinggi; di sisi lain, kian menyempit peradaban tinggi. Semua itu membuat bangsa
ini krisis identitas dengan kecenderungan polarisasi dan fragmentasi sosial
yang kian parah.
Jauh-jauh hari Bung
Karno telah mengingatkan, "Revolusi Atom harus disertai Revolusi Mental.
Revolusi Atom harus dikawani Revolusi Moral. Kita harus berani berpikir dalam
alam damai, bukan dalam alam perang. Kita harus berani berpikir dalam alam
percaya-memercayai, bukan dalam alam curiga. Kita harus berani berpikir dalam
alam kerja sama, bukan dalam alam jegal-menjegal. Jikalau Revolusi Atom itu
tidak disertai dengan Revolusi Mental dan Revolusi Moral, kemajuan yang
dibawanya itu akan membawa manusia masuk terjungkal dalam jurangnya
kebencanaan."
Visi negara merdeka
Setiap kali
kemerdekaan diperingati, bangsa Indonesia harus kembali menghidupkan api
semangat proklamasi; jiwa kemerdekaan yang terpancar dalam semangat juang,
semangat persatuan, dan semangat membangun negeri. Ketiga semangat itu harus
diletakkan dalam kerangka merealisasikan visi dan misi kemerdekaan bangsa.
Bahwa motif terbesar meraih kemerdekaan adalah meraih kebahagiaan. Dalam
Pembukaan UUD 1945, motif itu tersirat dalam alinea kedua, "Dan perjuangan
pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang
berbahagia." Namun, dalam alinea itu juga disebutkan, pemenuhan atas motif
meraih kebahagiaan itu hanya bisa terpenuhi sepenuhnya bilamana bangsa
Indonesia bisa mencapai visi negara merdeka, yakni menjadi bangsa dan warga
yang "merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur".
Jika kita telaah
secara lebih saksama, visi negara ini merupakan turunan dari cita Pancasila.
Menjadi "merdeka" merupakan pancaran cita moral sila Ketuhanan dan
Kemanusiaan. Bahwa di hadapan Tuhan dan Kemanusiaan, segala jenis manusia, apa
pun perbedaan warna kulit, ras, dan golongannya bersifat setara. Saat yang
sama, keberadaan manusia tak bisa berdiri sendiri, terkucil dari yang lain.
Untuk ada bersama dengan yang lain, manusia tak bisa tidak harus ada-bersama-dengan-cinta
dengan mengembangkan rasa kemanusiaan penuh cinta kasih pada yang lain.
Sikap mental yang
harus ditumbuhkan sebagai ekspresi kesetaraan ini adalah mental mandiri.
Kemandirian tidaklah sama dengan kesendirian. Kemandirian adalah sikap mental
yang bisa dan berani berpikir, bersikap dan bertindak secara berdaulat, serta
bebas dari paksaan dan intervensi pihak-pihak lain. Menumbuhkan mental mandiri,
selain mensyaratkan mental egaliter, juga meniscayakan adanya kecerdasan serta
kreativitas berbasis pengembangan ilmu dan teknologi.
Kemandirian
kolektif bangsa Indonesia juga bisa tumbuh secara ajek jika warga Indonesia
mengembangkan rasa cinta kasih dengan menunaikan kewajiban publiknya secara
amanah, jujur, dan bersih. Kolektivitas yang tak disertai mentalitas kejujuran
akan merobohkan kemandirian bangsa. Dalam suatu bangsa di mana korupsi
merajalela, kedaulatan bangsa mudah jatuh ke dalam dikte bangsa lain.
Selain semangat
mental egaliter, mandiri, dan amanah, manusia sebagai makhluk religius yang
berperikemanusiaan juga harus membebaskan diri dari berhala materialisme dan
hedonisme. Kegagalan proyek emansipasi Revolusi Perancis yang melahirkan tirani
kapitalis dan Revolusi Rusia yang melahirkan tirani "nomenklatur"
disebabkan keduanya sama-sama terpenjara dalam pemujaan terhadap materialisme.
Menurut pandangan hidup Pancasila, materi itu penting, tetapi tidak boleh
diberhalakan. Di hadapan Yang Maha Kuasa, materi itu bersifat relatif yang tak
dapat dimutlakkan. Dengan semangat ketuhanan yang berperikemanusiaan, materi
sebagai hak milik itu memiliki fungsi sosial yang harus digunakan dengan
semangat altruis (murah hati, suka menolong).
Menjadi
"bersatu" merupakan pancaran cita moral sila Persatuan. Dalam ada
bersama, manusia sebagai makhluk sosial memerlukan ruang hidup yang konkret dan
pergaulan hidup dalam realitas kemajemukan bangsa. Cara menghidupkan cinta
kasih dalam kebinekaan manusia yang mendiami tanah air sebagai geopolitik
bersama itulah manusia mengembangkan rasa kebangsaan. Dengan mental altruis, manusia
Indonesia sebagai makhluk sosial dapat mengembangkan pergaulan hidup kebangsaan
multikultural dengan mentalitas gotong royong, "Bhinneka Tunggal Ika"
(persatuan dalam keragaman). Dengan semangat gotong royong, persatuan
manusia/warga negara Indonesia bisa dikembangkan dengan menghargai adanya
perbedaan; sedangkan dalam perbedaan, bisa merawat persatuan.
Untuk bisa
menumbuhkan mentalitas persatuan dalam keragaman diperlukan semangat mental
pengorbanan dan pelayanan. Ujung dari semangat persamaan, kemandirian,
kejujuran, altruisme, dan persatuan adalah pelayanan kemanusiaan. Maknanya,
bukan hanya kesiapan mental menunaikan kewajiban sosial sesuai tugas dan
fungsi, melainkan juga kerja keras mengaktualisasikan potensi diri hingga
meraih prestasi tertinggi di bidang masing-masing untuk memberikan yang terbaik
bagi kemuliaan bangsa dan umat manusia.
Menjadi
"berdaulat" merupakan pancaran cita moral sila Kerakyatan. Bahwa
menjadi bangsa berdaulat berarti memiliki kemandirian "keluar" (dalam
relasi internasional) dan "ke dalam" (relasi dalam negeri) dalam
mengambil keputusan. Dalam mengemban amanah pelayanan publik dalam kebangsaan
majemuk, cara mengambil keputusan yang menyangkut masalah bersama ditempuh
dengan cara-cara permusyawaratan berlandaskan semangat cinta kasih. Ukuran
utama cinta adalah saling menghormati. Cara menghormati manusia dengan
memandangnya sebagai subyek berdaulat, bukan obyek manipulasi, eksploitasi, dan
eksklusi, itulah yang disebut demokrasi dalam arti sejati.
Menjadi "adil
dan makmur" merupakan pancaran cita moral sila Keadilan Sosial. Dalam
pandangan hidup Pancasila, keberadaan manusia sebagai roh yang menjasmani perlu
papan, sandang, pangan, dan pelbagai kebutuhan material lain. Perwujudan khusus
kemanusiaan melalui cara mencintai sesama manusia dengan berbagi kebutuhan
jasmaniah secara fair itulah yang disebut keadilan sosial. Untuk itu, di
samping kemerdekaan (emansipasi) politik, perlu juga ada kemerdekaan
(emansipasi) ekonomi. Menjadi bangsa adil dan makmur meniscayakan pengelolaan
basis material yang berorientasi menciptakan perekonomian merdeka yang
berkeadilan dan berkemakmuran; berlandaskan usaha tolong-menolong (gotong
royong) dan penguasaan negara atas cabang-cabang produksi penting yang
menguasai hajat hidup orang banyak serta atas bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya; seraya memberi peluang bagi hak milik pribadi dengan
fungsi sosial.
Misi negara
Dalam rangka
merealisasikan visi negara merdeka, segenap elemen negara-bangsa dituntut
mengemban misi negara sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD
1945. Pertama, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia. Kedua, memajukan kesejahteraan umum. Ketiga, mencerdaskan kehidupan
bangsa. Keempat, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Kalau kita cermati,
keempat misi negara-bangsa tersebut merupakan perwujudan imperatif moral
Pancasila. Misi "melindungi" merupakan imperatif moral Ketuhanan,
Kemanusiaan, dan Persatuan. Bahwa setiap warga, apa pun latar primordial dan di
mana pun berada, wajib dilindungi hak hidupnya, hak miliknya, dan martabatnya;
baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya.
Misi
"menyejahterakan" merupakan imperatif moral Keadilan Sosial.
Terwujudnya keadilan dan kesejahteraan adalah bukti paling nyata idealitas
Pancasila. Jalan mencapai keadilan sosial menghendaki perwujudan negara
kesejahteraan ala Indonesia yang tidak hanya mengandalkan peran negara secara
luas, tetapi juga menghendaki partisipasi pelaku usaha dan masyarakat dalam
mengembangkan kesejahteraan. Dengan kapasitas masing-masing, mereka harus
bergotong royong memajukan kesejahteraan umum, mengembangkan jaminan pelayanan
sosial, melakukan pembangunan berkelanjutan untuk keadilan dan perdamaian
dengan karakter kemandirian, sikap hemat, etos kerja, dan ramah lingkungan.
Misi
"mencerdaskan" merupakan imperatif moral sila Kerakyatan (demokrasi)
dan Keadilan Sosial. Bahwa demokrasi Pancasila yang hendak dikembangkan hendak
merealisasikan cita permusyawaratan (deliberatif-argumentatif) dan cita
hikmat-kebijaksanaan (kearifan konsensual). Demokrasi yang imparsial
(inklusif), didedikasikan bagi banyak orang, berorientasi jauh ke depan, dan
didasarkan pada asas rasionalitas. Semuanya itu menuntut prasyarat kecerdasan
kewargaan.
Misi
"melaksanakan ketertiban dunia" merupakan imperatif moral
Kemanusiaan. Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung visi kebangsaan
yang humanis dengan komitmen besar menjalin persaudaraan dalam pergaulan dunia
dan antarsesama anak negeri berlandaskan nilai-nilai keadilan dan keadaban yang
memuliakan hak-hak asasi manusia. Dalam membumikan prinsip ini, para pendiri
bangsa telah mewariskan kemampuan untuk memadukan antara visi global dengan kearifan
lokal, antara kepentingan nasional dan kemanusiaan universal.
Dalam visi dan misi
negara sebagai cerminan kebebasan positif itu begitu jelas tergambar, warisan
terbaik bangsa ini bukanlah politik ketakutan (politics of fear), melainkan
"politik harapan" (politics of hope). Bahwa rumah kebangsaan ini
dibangun dengan penuh harapan: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Ada begitu banyak
masalah dihadapi bangsa ini. Namun, dengan jiwa merdeka, kita hadapi dengan
optimisme mata terbuka. Usaha merealisasikan visi dan misi kemerdekaan perlu
jiwa besar. Jiwa yang dilukiskan Bung Karno "djiwa jang berani menelan
kesulitan-kesulitan, djiwa besar adalah djiwa jang berani menerkam segala
kesulitan-kesulitan. Djiwa besar adalah djiwa jang mempunjai tjipta besar."
Dengan semangat
kebersamaan dalam perbedaan, kekuatan cinta mengatasi putus asa. Seperti
dingatkan kembali oleh Bung Karno, "Ingat, memproklamasikan bangsa adalah
gampang, tetapi menyusun negara, mempertahankan negara buat selama-lamanya itu
sukar. Hanya rakyat yang memenuhi syarat-syarat sebagaimana yang saya sebutkan
tadi-rakyat yang ulet, rakyat yang tidak bosanan, rakyat yang tabah, rakyat
yang jantan-yang dapat bernegara kekal dan abadi. Siapa yang ingin memiliki
mutiara, harus ulet menahan-nahan napas dan berani terjun menyelami samudra
yang sedalam-dalamnya."
Sumber: Kompas, 16 Agustus 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!