Oleh Eduardus Lemanto
Alumnus Program Magister Filsafat STF
Driyarkara
BELAKANGAN ini media, baik
cetak maupun daring (online), disesaki oleh berita mengenai Saracen; produsen
dan sindikat penyebar ujaran kebencian dan berita bohong (hoaks), khususnya
lewat media-media daring, media sosial, dan jejaring komunikasi lainnya.
Sasaran dari
berita-berita itu tentu terfokus pada kecaman keras terhadap sindikat tersebut
dan terhadap aktor-aktor tersembunyi di baliknya. Namun, jika kita masuk lebih
jauh, terdapat sisi lain dari hoaks.
Hoaks dalam dunia
yang terdigitalisasi (digitalized world) merupakan sesuatu yang tak terelakkan.
Itu simtom normal, apalagi pemanfaatannya bagi dunia politik yang memang selalu
tidak pernah steril dari, mengutip istilah Castle (The Power of Identity, 1997),
politik pacuan kuda (horse race politics); yakni sebuah permainan ambisi tak
berakhir, manuver kasar dan halus, strategi dan counter-strategy. Jika ia
fenomena normal, lalu harus bagaimana menyikapinya?
Politik sumber
masalah
Dari sudut pandang
itu, Saracen atau hoaks tak selalu bersisi buruk kendati kita tahu bahwa isinya
berita bohong dan ujaran-ujaran kebencian, umpatan berwatak
suku-agama-ras-antargolongan (SARA), dan seterusnya. Mengapa? Sebab, ia
bukanlah penyebab dan sumber kekacauan politik (political chaos) dan kekacauan
sosial (social chaos). Saracen dan hoaks sebagian besar adalah gejala-gejala
luaran dari akar masalah, yakni politik itu sendiri.
Sumber masalahnya
terletak pada kelakuan pelaku politik, baik partai politik maupun politisi.
Karena Saracen dan hoaks adalah efek-efek samping dari kelakuan buruk politisi,
maka kedudukannya justru harus dianggap penting karena kemunculan mereka
merupakan alarm keras. Ia berisi peringatan serius bahwa perpolitikan bangsa
ini sesungguhnya sedang sakit parah. Sakit politik berwujud krisis parah
eksistensi parpol-parpol.
Pemakaian dan
pemanfaatan Saracen dan hoaks dalam politik merupakan ekspresi diri parpol-parpol dan politisi secara eksplisit tentang kondisi pemburukan diri mereka
masing-masing. Parpol-parpol mengalami kekurangan kader-kader bermutu.
Buntutnya, feodalisme dalam partai justru diperkuat.
Cara mengukurnya
bisa dibidik dari kelakuan parpol-parpol dalam mengusung kandidat, baik dalam
pemilihan gubernur, pemilihan anggota legislatif, maupun pemilihan presiden dan
wakil presiden.
Feodalisme itu
dalam wujud paling mendasar tampak dalam proses pengusungan kader-kader pada
kontestasi pilkada, pemilu legislatif, ataupun pilpres dengan tak
memperhitungkan mutu; integritas, kualitas, dan akseptabilitas kader, selain
disokong atas dasar jejaring kepentingan eksklusif (link of exclusive
interest), baik kepentingan perorangan maupun kelompok-kelompok sempit. Kita
tak sukar menemukan contohnya di lapangan.
Sementara, politisi
mengalami retrogresi diri; kondisi pemburukan dan penurunan kualitas diri
karena berpolitik semata-mata untuk tujuan mendapat kekuasaan, sembari
menyepak ke pinggir perihal kebaikan publik. Alhasil, Saracen dan hoaks
dipungut sebagai satu-satunya cara untuk memenangkan kontestasi dengan menebar
gosip, umpatan, caci maki, dan pembunuhan karakter (character assassination)
bagi lawan-lawan bermutu.
Celakanya,
instrumentalisasi Saracen dan hoaks itu menjadi jalan instan memenangkan
pertarungan dan dianggap tepat sasaran karena target pasarnya adalah masyarakat
emosional (emotional society); masyarakat yang menyerap berita secara cepat
kilat dan spontan, tanpa pencernaan dan tanpa filterisasi yang matang,
obyektif, dan tanpa verifikasi, pun tak memakai akal sehat.
Peluang demokrasi
Dari sisi itu,
saracen dan hoaks perlu dipandang dari aspek evaluatifnya. Maksudnya, arus
deras berita bohong dan gosip-gosip murahan politik mesti dipakai sebagai bahan
evaluasi, yakni pemeriksaan kembali elemen-elemen penting demokrasi, khususnya
eksistensi parpol-parpol dan kelakuan politisi. Kedudukan kedua elemen ini
sangat penting, menimbang maju-mundurnya atau berkualitas-tidak berkualitasnya
politik sangat tergantung dari cara mereka berperilaku.
Dengan demikian,
fenomena Saracen dan sindikat produsen hoaks itu perlu dibaca sebagai peluang
bagi bangsa ini untuk merombak dua hal sekaligus; reformasi politik (parpol dan
politisi) sekaligus transformasi masyarakat, dari masyarakat gosip ke
masyarakat literatur. Sebagaimana politik adalah sumber masalah, maka proses
kurasi kekacauan politik harus dirujuk pada proses penyehatan politik itu
sendiri.
Bisa juga dibaca
secara terbalik bahwa produksi dan pemesanan berita hoaks oleh parpol-parpol
atau politisi yang berkepentingan adalah simbol kekalahan demokrasi semu; demokrasi
yang semata bermain pada level pencitraan.
Artinya, kemunculan
dan pemakaian Saracen justru menjadi pertanda bahwa dalam demokrasi bangsa ini
sudah mulai bertumbuh kader-kader politisi dan para pemimpin yang berkualitas,
yang hanya bisa dikalahkan dengan penebaran hoaks untuk tujuan pembunuhan
karakter.
Tugas utama negara
adalah bagaimana menyemai tunas-tunas pemimpin yang baik tersebut. Orang-orang
baik dan konstruktif harus dilindungi, bukan dengan cara mematikan ruang
informasi digital, melainkan dengan menguatkan kultur literasi pada masyarakat;
membuka mata masyarakat untuk terus berpolitik dengan mengedepankan prinsip
obyektivitas; menilai dan memilih para pemimpin yang berintegritas,
berkapasitas, dan berakhlak manusiawi.
Dengan cara ini
pula, parpol-parpol dan politisi ditantang untuk berubah. Mata parpol didorong
untuk mulai terbuka bahwa tantangan yang dihadapinya di masa kini bukan lagi
pada "permainan-permainan politik tua" yang berwajah feodalistik itu.
Namun, ia sudah bergeser pada kualitas figur-figur yang diusung. Lalu,
kompetisi politik bukan lagi pada kuatnya jejaring kekuasaan (link of power).
Tetapi jualannya pada kualitas kader-kader pemimpin.
Jadi, Saracen atau
berita hoaks sesungguhnya bukanlah sebuah persoalan yang menakutkan. Namun, ia
menjadi titik awal untuk sebuah proses perubahan ke arah yang baik. Hoaks itu
bukan sebab. Namun, ia akibat. Penyebabnya tetap bersumber pada perilaku
politik, baik parpol maupun politisi.
Fenomena ini hanya
bisa dihanguskan jika parpol dan politisi memakainya sebagai alat evaluasi dan
peluang untuk berubah, dari partai feodal ke partai demokratis; dan jika
masyarakat berubah dari masyarakat emosional ke masyarakat rasional.
Sumber:
Kompas, 9 September 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!