Oleh Asvi Warman Adam
Sejarawan LIPI
TAHUN 1854 kewarganegaraan
di Hindia Belanda terbagi atas golongan Eropa, Timur Asing (Vreemde
Osterlingen), dan inlander yang kemudian diterjemahkan pribumi. Orang-orang
Tionghoa termasuk golongan kedua. Bagaimana perlakuan terhadap kaum pribumi
terlihat dari papan yang dipasang di pintu masuk kolam renang; 'Verboden voor
honden en inlander' (Anjing dan pribumi dilarang masuk). Peran sebagai
perantara ekonomi yang diberikan kepada kelompok Tionghoa (pemungut pajak,
penjual opium, pengelompokan mereka di suatu tempat yang kemudian disebut
pecinan) menyebabkan mereka relatif kuat sebagai pelaku ekonomi.
Kesenjangan
tersebut kian menguat pascakemerdekaan. Pada 1959 dikeluarkan PP No 10 Tahun
1959 yang melarang orang-orang China warga negara asing untuk tinggal dan
beraktivitas di daerah di bawah tingkat dua. Jadi mereka harus pindah dari desa
atau kecamatan ke ibu kota kabupaten. Di dalam praktiknya aturan ini juga
berlaku bagi orang-orang Tionghoa yang sudah memilih menjadi warga negara
Indonesia. Itulah sebabnya kemudian sekitar 140 ribu orang harus dipulangkan ke
RRT. Kenyataannya hanya 40 ribu orang yang terangkut oleh kapal yang dikirim
dari Tiongkok. Selebihnya sebanyak 100 ribu orang tetap tinggal di Indonesia
tanpa kejelasan status kewarganegaraan. Kebijakan ini mempunyai dampak ekonomi
dan politik yang buruk. Para petani kehilangan pedagang perantara yang membeli
hasil bumi mereka dan menjualnya ke kota. Timbul sentimen rasial di tengah
masyarakat.
Pada masa Orde Baru
etnik Tionghoa ini mendapat perlakuan diskriminatif. Tuduhan keterlibatan RRT
membantu G-30-S menyebabkan dibekukan hubungan diplomatik dengan negara
tersebut. Agar terputus hubungan antara orang-orang Tionghoa yang di Indonesia
dan negara musuh (RRT), maka terhadap mereka diberlakukan kebijakan ganti nama.
Keharusan ganti nama adalah ganti identitas, dan ini sangat menyakitkan bagi
siapa pun yang mengalaminya. Tiga pilar budaya Tionghoa (sekolah, pers, dan
organisasi) dilarang. Diberlakukan semacam pembatasan bagi orang-orang Tionghoa
untuk bekerja di pemerintahan dan masuk perguruan tinggi negeri. Secara umum
disebut bahwa etnik Tionghoa ini nonpribumi, sedangkan suku bangsa lain di
Indonesia disebut pribumi. Sementara beberapa konglomerat Tionghoa dirangkul
bekerja sama oleh penguasa dan siap membantu dana bila diperlukan. Ketika
kesenjangan ekonomi semakin melebar, pengusaha Tionghoa itu menduduki posisi
teratas (walaupun ada juga orang Tionghoa yang miskin di beberapa tempat).
Manipulasi sejarah
yang dilakukan Orde Baru tidak menyebutkan sumbangan budaya Tionghoa itu bagi
peradaban Indonesia, termasuk peran orang-orang Tionghoa dalam memperjuangkan
dan mempertahankan kemerdekaan. Ada empat orang Tionghoa yang ikut Sumpah
Pemuda pada 1928. Ketika membicarakan dasar negara dan UUD 1945 terdapat empat
tokoh Tionghoa pada sidang BPUPK (seorang pada PPKI). Orang Tionghoa juga
berjuang pasca-1945 seperti John Lie yang kemudian menjadi pahlawan nasional
pada 2009. Semuanya ini tidak ada dalam memori kolektif masyarakat sehingga
mereka hanya melihat komunitas Tionghoa ini sebagai 'binatang ekonomi'.
Tambahan lagi rezim Orde Baru dengan sengaja memakai istilah 'Cina' bagi mereka
dengan konotasi negatif.
Ketika terjadi
kerusuhan pada 1998 saat pergantian kekuasaan, etnik Tionghoa menjadi sasaran
kemarahan dan target penjarahan serta pemerkosaan. Di berbagai tempat,
toko-toko atau bangunan yang ingin terhindar dari perampokan ditulisi 'Milik
Pribumi'. Dengan kata lain, itu bukan milik orang-orang nonpribumi. Pada saat
krisis 1998 itu kata nonpribumi menjadi menakutkan bagi orang yang dilabeli
istilah tersebut karena itu berarti 'mereka boleh dijarah dan boleh diperkosa'.
Itulah sebabnya Presiden BJ Habibie kemudian secara bijaksana mengeluarkan instruksi
presiden yang melarang penggunaan istilah itu di kalangan pemerintahan.
Setelah itu
dikeluarkan berbagai kebijakan yang positif terhadap etnik Tionghoa menyangkut
kewarganegaraan dan kependudukan. Konghucu diakui kembali sebagai agama resmi
dan Imlek dijadikan hari libur. Tidak ada persyaratan 'Indonesia asli' dalam
pencalonan presiden sehingga seorang Tionghoa pun dapat menduduki posisi
tersebut bila terpilih. Presiden SBY kembali menetapkan istilah 'Tionghoa'
untuk menyebut komunitas ini dan Tiongkok untuk menyebut negara yang beribu
kota di Beijing tersebut. Belakangan timbul persoalan terkait dengan
kebangkitan Tiongkok sebagai negara adidaya dan raksasa ekonomi yang juga
melakukan ekspansi ke Indonesia. Maka bermunculan di media sosial foto-foto
imigran dari Tiongkok yang berambut cepak (untuk mengesankan bahwa mereka
militer) dan jumlahnya 10 juta jiwa. Padahal ini tidak benar. Jumlah 10 juta
jiwa itu ialah target wisatawan dari Tiongkok.
Tentu ada saja
pekerja asing itu yang melanggar aturan keimigrasian, tetapi tidak berjumlah
jutaan. Ada kesengajaan untuk membaurkan sentimen anti-Cina yang terkait dengan
negara Tiongkok yang secara formal masih berideologi komunisme dengan pengusaha
Tionghoa yang ada di Indonesia. Maka diciptakanlah istilah 'asing-aseng'.
Seyogianya harus dibedakan antara Tiongkok sebagai sebuah negara besar dengan
komunitas Tionghoa yang menjadi bagian seutuhnya dari bangsa Indonesia. Kita
menghadapi negara Tiongkok seperti halnya kita berurusan dengan AS, Jerman,
Jepang, dan Korea Selatan. Kita bisa bekerja sama dengan mereka, bisa bersaing
dalam komoditas tertentu bahkan bisa bermusuhan bila meletus konflik Laut China
Selatan.
Di sisi lain, kita
menyadari bahwa etnik Tionghoa itu seperti suku bangsa lainnya di Tanah Air yang
sudah sama-sama berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Kita juga
bersama-sama dalam mengisi kemerdekaan terutama dalam bidang perekonomian.
Munculnya kembali dikotomi pribumi versus nonpribumi, pribumi muslim versus
pribumi nonmuslim, ialah mimpi buruk yang merusak sendi-sendi kebangsaan yang
telah ditancapkan para pendahulu kita. Ada inpres dan ada andang-undang yang
melarang praktik diskriminasi. Pihak kepolisiaan seyogianya bertindak tegas
terhadap mereka yang melanggarnya, terhadap kelompok yang mengeluarkan spanduk
pribumi-nonpribumi selain ujaran kebencian di media sosial.
Sumber: Media
Indonesia, 19 Oktober 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!