Oleh August Mellaz
Direktur
Eksekutif Sindikasi
Pemilu dan Demokrasi (SPD)
SECARA instrumental, kerangka
legal pelaksanaan pemilu serentak 2019 telah disediakan dengan diundangkannya
UU No 7/2017 tentang Pemilu.
Namun, bagaimana
para aktor politik baik partai, caleg, dan capres memahami dan menerjemahkan
pemilu serentak 2019, masih menyisakan tanda tanya besar. Mengingat, ini kasus
pertama dan belum ditemui preseden sebelumnya di Indonesia.
Harapan besar ingin
dicapai melalui keserentakan, yaitu meminimalkan ekses bawaan presidensialisme
multipartai.
Ekses itu
meniscayakan hadirnya situasi, yaitu presiden beroleh legitimasi mayoritas
pemilih, tetapi berkebalikan dengan kursi dukungan di parlemen.
Situasi itu
memunculkan fenomena Parlamentarisierung
des Praesidentialismus atau parlementarisasi sistem presidensial (Nolte,
2004).
Satu situasi, yakni
berbagai agenda utama pemerintahan tidak lagi menjadi ranah eksklusif presiden,
tetapi bergantung restu parlemen.
Sinyalemen tersebut
menemukan relevansinya dalam model pemerintahan presidensialisme yang menganut
prinsip penyatuan kekuasaan dan tujuan, alih-alih pemisahan kekuasaan dan
tujuan.
Asumsi dasarnya,
efektivitas pemerintahan terwujud dan hanya jika terjadi kolaborasi harmonis
atau 'perkawinan' antara Presiden dan DPR dalam pengambilan kebijakan, utamanya
pengesahan UU.
Kolaborasi harmonis
ketika Presiden menikmati dukungan kekuatan signifikan di DPR. Prinsip itu
tecermin dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, "Setiap RUU dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama".
Coattails effect
Sebagai jalan
keluar, negara-negara Amerika Latin -penganut presidensialisme multipartai- melakukan
rekayasa politik dengan menyerentakkan pelaksanaan.
Melalui
keserentakan, muncul fenomena coattails
effect, yakni popularitas figur dan elektabilitas capres berdampak positif
pada perolehan suara partai pengusung (Samuels, 2000).
Fenomena yang hadir
dalam keserentakan pemilu tersebut diyakini menyediakan insentif memadai bagi
efektivitas pemerintahan presidensialisme multipartai, karena legitimasi presiden
terpilih kongruen dengan signifikansi kursi partai pendukung di parlemen.
Namun, berbagai
pengalaman empiris dan kisah sukses negara-negara Amerika Latin, untuk konteks
RI tetaplah sebuah misteri. Sejauh ini terdapat tiga instrumen coattails effect yang disediakan UU.
Pertama, surat
suara pasangan calon yang memuat tidak saja foto, nama, dan nomor urut pasangan
calon, termasuk juga memuat tanda gambar partai atau gabungan partai pengusul,
sebagaimana diatur Pasal 342 ayat (1) UU Pemilu.
Kedua, pelaksanaan
kampanye pada Pasal 267 ayat (2) yang berlangsung simultan baik pileg maupun
pilpres.
Ketiga, hari
pemungutan suara yang bersamaan, sebagaimana diatur Pasal 347.
Daftar terbuka
Ada satu pertanyaan
besar yang luput didalami, yaitu sejauh mana kompatibilitas sistem pileg dengan
pemilu serentak.
Apakah skema daftar
terbuka berbasis suara terbanyak, sudah tepat dengan kebutuhan serta tujuan
keserentakan?
Pada pelaksanaan
pemilu di RI, para caleg baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota menanggung
beban selain memenangkan suara partai dan memastikan keterpilihan dirinya,
termasuk pemenangan presiden.
Bedanya, ketika
pileg dilakukan terpisah terdapat jeda bagi setiap caleg untuk fokus pada
pemenangan partai dan keterpilihan dirinya. Sesudahnya fokus untuk pemenangan
pilpres.
Ketika pemilu
dilakukan pada hari bersamaan, dua cabang kekuasaan bukanlah variabel
independen, mereka dependen satu dengan lainnya.
Hanya pendulumnya
berbeda, yakni secara teoretis hasil pileg bergantung pilpres, bukan
sebaliknya.
Namun, gejala
teoretis itu terbantahkan melalui pertanyaan, apakah caleg dengan skema suara
terbanyak hendaknya memikirkan keterpilihan dirinya atau presiden.
Situasi Pemilu 2019
total berbeda. Kemewahan berbentuk jeda waktu dan pembagian perhatian yang dulu
hadir dan dimiliki caleg, absen pada momen itu.
Di saat bersamaan,
sejak masa kampanye hingga waktu pemberian suara, nasib caleg dan pasangan
calon ditentukan pada hari pemilihan yang sama.
Berkaca dari
pengalaman negara-negara Amerika Latin, 13 dari 18 negara yang melaksanakan
keserentakan menerapkan Daftar Tertutup untuk Pileg.
Dua negara, Bolivia
dan Venezuela, menerapkan sistem proporsional berbasis personal model Jerman.
Meksiko sistem
Campuran, dan Cile sistem Binominal, dan satu negara, Brasil menggunakan Daftar
Terbuka.
Hasil ukur sejumlah
indikator, seperti koalisi permanen berbasis program, konsentrasi sistem
kepartaian, efektivitas, serta proporsionalitas hasil dan fragmentasi politik
mendekati tujuan keserentakan.
Hanya satu negara,
yaitu Brasil yang menunjukkan hasil sebaliknya (Payne, 2002).
Pilkada serentak
2018 penentu
Pada akhirnya,
pemilu serentak 2019 akan ditentukan sejauh mana para aktor menerima dan
memaknai constraint (batasan) terpasang.
Batasan pertama,
pemilihan dua cabang kekuasaan pada hari yang sama.
Batasan kedua,
pileg daftar terbuka berbasis suara terbanyak.
Pemahaman dan
penerimaan dua batasan ini merupakan input penting bagi partai guna penentuan
strategi hadapi pemilu serentak 2019.
Partai akan
dihadapkan pada lanskap politik baru yang gambar detailnya masih direka-reka.
Kemampuan
menjernihkan peta politik yang dihadapi merupakan penentu, bagaimana strategi
alokasi dan distribusi sumber daya hendaknya dilakukan.
Taruhlah momen
pilkada serentak 2018 di 171 daerah.
Momen politik itu
akan beroleh signifikansinya sebagai basis pijak strategi politik partai hadapi
pemilu serentak 2019.
Kemenangan gubernur
dan bupati/wali kota merupakan modal tersendiri yang berkontribusi positif guna
menjernihkan lanskap politik yang sedang direka.
Setidaknya peta
teritorial, kinerja elektoral, serta kepala daerah terpilih jadi sumber daya
yang difokuskan untuk pilpres.
Dampak selanjutnya,
beban caleg berkurang dan berkonsentrasi hadapi pileg.
Dengan demikian,
partai sejak jauh hari, secara terukur melakukan alokasi dan distribusi sumber
daya menghadapi belukar pemilu serentak 2019.
Pada akhirnya,
sebagai negara penganut presidensialisme, pilpres tetaplah jadi puncak hajatan
politik, dan itu akan menyita segenap perhatian utama para aktor.
Oleh karena itu,
pertukaran sinyal yang beri indikasi munculnya koalisi permanen dan berbasis
program, asosiasi simbolis partai kepada figur potensial dan sebaliknya,
tetaplah jadi informasi menarik dan dinanti.
Sumber: Media Indonesia, 17 Oktober
2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!