Oleh Umbu TW Pariangu
Dosen Fisip Universitas Nusa Cendana, Kupang
RABU
(11/10) pukul 15.00 WIB, sekelompok warga sekitar 15 orang asal Tolikara,
Papua, mengamuk dan merusak sejumlah kendaraan dan gedung Kantor Kementerian
Dalam Negeri, Gambir, Jakarta Pusat. Para pegawai yang awalnya panik memberikan
perlawanan sehingga akhirnya bentrokan terjadi. Akibatnya, 10 karyawan
Kemendagri terluka, beberapa di antara mereka terluka parah. Selain itu, kaca
masjid rusak, empat mobil rusak, bus rusak, dan satu kamera milik MNC TV rusak.
Kerusuhan tersebut terjadi karena ketidakpuasan pendukung terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) terkait dengan pilkada Tolikara yang memenangkan
pasangan Usman G Wanimbo dan Dinus Wanimbo.
Menurut Mendagri
Tjahjo Kumolo, massa tersebut sudah dua bulan berada di Jakarta dan sudah
pernah difasilitasi olehnya, tetapi mereka tetap nekat mendesak Kemendagri
mengesahkan John Tabo dan Barnabas sebagai pemenang. Sikap tegas Mendagri sudah
tepat, tak menganulir keputusan MK. Keputusan MK memenangkan Usman G Wanimbo
dan Dinus Wanimbo pada 31 Juli 2017 adalah produk hukum yang harus ditaati
seluruh rakyat Tolikara. Mendagri tak bisa mengesahkan sesuatu di luar putusan
MK yang bersifat mengikat dan final sekalipun ada ancaman anarkistis mengingat
negara kita adalah rechtsstaat.
Machiavelli
Sudah 12 tahun
sejak pilkada langsung pertama kali (Juni 2005) dilaksanakan, tetapi proses
menuju kematangan berdemokrasi tak kunjung menguat. Sifat Machiavelli untuk
meraih kekuasaan sepertinya belum sirna dari wajah demokrasi. Kita tentu masih
ingat pada 2010 lalu, dari 224 daerah yang menyelenggarakan pilkada, sebanyak
73% di antaranya diwarnai gugatan.
Menurut Kesbangpol
Depdagri, dari 486 pilkada sejak 2005-2008, hampir separuhnya bermasalah. Ini
menunjukkan pilkada selalu identik dengan manipulasi dan pelbagai kecurangan.
Tragisnya, di 2012, konflik pilkada meletus di Puncak Ilaga, Papua, yang
menelan 47 korban jiwa dan ratusan orang luka. Mendagri Gawaman Fauzi pada saat
itu mencatat, sejak pelaksanaan pilkada langsung di seluruh Indonesia, sudah
sekitar 50 orang yang tewas akibat kisruh antarkandidat.
Menurut Tim
Asistensi Divisi Pengawasan Bawaslu Abdul Gofur, kekerasan dan konflik pada
pilkada serentak 2017 cenderung tinggi. Ada tiga provinsi yang mendapatkan
sorotan di Pilkada 2017, yaitu Aceh, Papua, dan Papua Barat. Aceh potensial
dilanda konflik pilkada karena merupakan provinsi yang melaksanakan pilkada
paling banyak. Satu pemilihan gubernur dan 20 pemilihan bupati atau wali kota.
Di Provinsi Papua, ada beberapa kabupaten yang dinilai rawan oleh Bawaslu,
termasuk Tolikara, karena rivalitas pasangan calon yang cukup tinggi.
Kita sungguh
prihatin dengan kondisi tersebut, dengan sikap kelompok masyarakat yang belum
hengkang dari budaya politik konservatifnya, yang selalu menganggap bahwa
kemenangan adalah tujuan utama kontestasi, simbol pertaruhan harga diri dan
kehormatan, sehingga segala cara ditempuh untuk merayakan kemenangan meski
harus mengorbankan kepentingan publik. Padahal, pilkada langsung didesain
sebagai instrumen elektoral untuk membangun budaya politik yang dewasa, sportif
dan tegak, serta konsekuen menjalankan keputusan hukum.
Politik dewasa
mestinya selalu meniscayakan keterbukaan diri terhadap aturan dan berbagai
kerangka sistem politik yang mendasari pelaksanaan proses pilkada. Selain itu,
kedewasaan berdemokrasi selalu diukur kejiwabesaran menerima hasil kontestasi
betapapun itu menyakitkan.
Sayangnya, pikiran
ideal tersebut hanya di atas kertas. Intensi kuat memenangi pertarungan politik
karena berbagai konsesi politik yang dirajut di belakang layar, belum lagi
janji-janji politik penuh propaganda para elite, membuat masyarakat khususnya
pendukung calon kepala daerah tertentu terjerat dalam lingkaran fanatisme
membabi buta. Pokoknya, apa pun hasil penghitungan suara, kubu yang dijagokan
harus menjadi jawara. Kalau tidak menang, yang dialibi tentu tuduhan kecurangan
terhadap para petugas penyelenggara pemilu, bahkan kerap kali rakyat, yang
mestinya menikmati perayaan pilkada tetapi ikut pula ditumbalkan sebagai
kausalitas kekalahan kubu tersebut. Akibatnya, konflik tak terhindarkan.
Berdasarkan
pengalaman, konflik dalam pilkada antara lain sering dipicu berpadunya pelbagai
kepentingan baik dari elite lokal, elite nasional, pengusaha, maupun
kepentingan kekuatan-kekuatan politik lain yang memiliki irisan kepentingan
tertentu. Biasanya paduan kepentingan tersebut diefektifkan lewat bahan bakar
propaganda berbasis nilai-nilai subjektivitas, parokial, etnosentris, dll.
Faktor SARA kerap dijadikan instrumen empuk untuk mengapitalisasi dukungan
sehingga selama berlangsungnya pilkada berbagai kecurigaan dan segregasi
identitas antar-individu/kelompok terus berkembang.
Perlu dewasa
Hal yang juga tidak
kalah mendasar ikut mewarnai eskalasi konflik dalam proses pilkada yakni
ketidakkonsistenan parpol dalam memberikan edukasi yang cerdas kepada
masyarakat terkait dengan nilai dan budaya politik yang konstruktif. Selama
ini, partai politik belum mampu menanamkan budaya siap kalah dalam politik
kepada masyarakat.
Parpol justru
terlihat lebih sibuk mengisi ruang-ruang politik dengan propaganda ambisius
yang minim menyisakan ruang rasional bagi rakyat pemilih untuk mencoba
memikirkan kepentingan dan keselamatan daerah daripada sebatas kemenangan calon
A atau B. Ini bisa terjadi karena memang parpol sangat berkepentingan untuk
memenangi dukungan elektoral dalam pilkada demi mengamankan eksistensi
kekuasaan dan insentif material lainnya.
Di titik ini Joseph
A Schlesinger (1966) benar bahwa kontestasi politik sejatinya selalu menyisakan
rongga ambisi politik yang memunculkan fanatisme membabi buta. Sikap tidak siap
kalah seorang calon kepala daerah dalam berkompetisi kemudian ditularkan pula
kepada massa pendukung untuk membangun amplifikasi imunitas politik kolektif terhadap
realitas politik yang dianggap tak memihak dirinya.
Perlu ada
kedewasaan politik dari para elite untuk merevolusi sebuah paradigma politik
bahwa kalah dalam politik itu biasa, sedangkan menang dalam politik dengan cara
manipulasi sungguh sebuah sikap pecundang yang akan dikutuk sejarah. Selain
itu, sejak sekarang perlu dibudayakan sebuah rivalitas politik yang lebih
berbasis program daripada uang agar desakan kemenangan dengan menggunakan
segala cara tidak terus menggerayangi jiwa politisi.
Harus diakui,
politik berbiaya mahallah yang membuat politisi selama ini tidak ikhlas
menerima kekalahan. Mereka sebelumnya sudah menggelontorkan banyak fulus untuk
mendapatkan kursi pencalonan dari partai, membiayai kampanye, hingga
menggelontorkan uang suap kepada pemilih. Tentu saja, sudah jatuh kalah, mereka
tak mau tertimpa tangga kebangkrutan ekonomi pula.
Sumber: Media Indonesia, 13
Oktober 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!