Oleh Muazzah Muhammad
Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh
SEIRING
dengan gencarnya program literasi yang digalakkan pemerintah, berbagai bantuan
untuk pengembangan perpustakaan juga cukup mendapat perhatian dari berbagai
kalangan.
Hampir semua
sekolah mulai tingkat PAUD hingga perguruan tinggi difasilitasi untuk memiliki
perpustakaan yang memadai dan dirasa mampu mendukung berbagai program
pembelajaran.
Jumlah perpustakaan
berdasarkan data Perpustakaan Nasional Republik Indonesia cukup memukau, 25.728
buah, dengan sebaran yang sangat tidak merata.
Terdapat 4.780
perpustakaan di Jawa Barat dan hanya 3 di Papua Barat.
Ketimpangan ini
juga dapat mencerminkan kualitas literasi di daerah tersebut.
Meski jumlah
perpustakaan di 'Negeri Seribu Pulau' ini cukup tinggi, minat baca
masyarakatnya masih sangat rendah, tepatnya berada di urutan ke-60 setelah
Thailand (59).
Jika menilik
persoalan di atas, pasti ada banyak sebab sehingga jumlah perpustakaan yang
tinggi tidak dapat menjamin kualitas literasi masyarakatnya.
Banyak perpustakaan
yang seperti 'mati suri', keberadaannya nyata tapi kemanfaatannya seperti
tiada.
Salah satu sebab
mengapa perpustakaan kehilangan rohnya ialah ketiadaan konsep yang
memberdayakan.
Padahal, dalam
Pasal 3 UU No 43 Tahun 2007 jelas dinyatakan bahwa 'Perpustakaan berfungsi
sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi
untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa'.
Realisasi dari visi
inilah yang tak menyentuh perpustakaan yang pada akhirnya membuat perpustakaan
hanya sebagai tempat koleksi buku yang hanya akan usang bersama waktu.
Mengembalikan roh
perpustakaan sebenarnya tidaklah sulit.
Menurut Hernowo
(2004), dua hal penting yang harus dimiliki perpustakaan ialah; pertama,
tersedianya buku-buku yang menarik dan kontekstual, artinya buku yang menjadi
koleksi adalah buku-buku yang memang dibutuhkan para pengunjung; kedua,
pengelola yang gigih dan mau menjadi 'model' kegiatan baca-tulis yang
memberdayakan.
Belajar dari
Tiongkok
Kita sudah sangat
familier dengan ungkapan lama 'Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina
(Tiongkok)'.
Namun, kenapa
Tiongkok yang disebut, bukannya negara lain? Sejarah mencatat Tiongkok sebagai
salah satu negara dengan peradaban yang sangat maju pada masa dahulu.
Bahkan, saat masih
sangat jarang ada yang mampu merangkum berbagai ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa itu, Tiongkok justru mampu membuat ensiklopedia terbesar
yang pernah ada.
Ensiklopedia dari
Tiongkok tersebut ditulis pada masa pemerintahan Kaisar Chu Ti (1410 M) dengan
judul Yung-lo Tatien (Buku Rujukan Besar) yang ditulis 2.000 staf dengan
tulisan tangan dan terdiri atas 22.937 bab, dengan total 917.480 halaman dan
terbagi dalam 11.095 jilid (Hernowo, 2004).
Karya itu
mengalahkan ensiklopedia buatan Caius Plinius Secundus (23-79 M) dari Yunani
yang hanya terdiri dari 38 jilid.
Sadar bahwa ilmu
jika tak diabadikan dalam tulisan akan menguap begitu sajalah, yang mengilhami
Tiongkok untuk membuat banyak buku mahakarya. Begitu juga dengan ensiklopedia
Plini yang sangat kontekstual hingga masih terus dijadikan rujukan seni lukis
dan patung di Romawi.
Maka tidak salah
pepatah tersebut menjadikan Tiongkok sebagai rujukan tempat menuntut ilmu.
Kecintaan pemerintahnya pada ilmu menyebabkan masyarakatnya juga secara
paripurna mencintai ilmu.
Tempat yang memang
layak untuk para pecinta ilmu menimba berbagai pengetahuan.
Cerdas memilah buku
Dewasa ini, buku
terbit menjamur, mungkin ratusan buku terbit setiap harinya.
Namun, kualitasnya
banyak yang masih jauh dari kata layak dan bermanfaat.
Percetakan dan
penerbit buku mudah sekali menerbitkan naskah yang kadang justru bisa menjadi
'racun' bagi otak.
Buku yang jika
dibaca justru menjadikan pembacanya berpikiran picik, sempit, dan kadang tak
rasional.
Padahal,
seyogianya, buku mampu mengaktifkan dan menyambungkan neuron-neuron di otak,
juga merangsang pusat berpikir untuk lebih berkembang. Namun, buku-buku 'racun'
tersebut justru menghambat bagian frontal otak untuk berkembang.
Dapat kita
bayangkan jika perpustakaan hanya berisi buku-buku tanpa kualitas dan tidak
kontekstual.
Pengunjung tidak
akan tertarik untuk datang dan membaca karena tidak adanya daya tarik dan
manfaat yang bisa mereka ambil dari perpustakaan tersebut.
Atau sebaliknya,
akibat buku 'racun' dapat menyebabkan pembacanya skeptis atau candu pada
hal-hal negatif.
Di sisi lain,
kebanyakan pustakawan juga berpikir bahwa tugas utama mereka hanyalah
mengontrol arus buku (peminjaman dan pengembalian) dan mendata buku-buku yang
menjadi koleksi perpustakaan tempatnya bekerja.
Padahal, sejatinya,
tugas utama pengelola perpustakaan ialah memberdayakan diri sendiri dengan
berbagai buku yang bergizi untuk kemudian memfasilitasi para pengunjung dengan
hal-hal serupa.
Maka, jika
pustakawan belum mampu memberdayakan dirinya, mustahil perpustakaan tersebut
akan mampu memberdayakan orang lain.
Betapa jika
pustakawan hanya berkutat pada kesibukan administrasi, dan melupakan peran
utamanya sebagai pembangkit roh perpustakaan, tak akan ada program-program
penggerak literasi bagi para pengunjung dan masyarakat sekitarnya.
Pustakawan yang
baik harusnya memiliki wawasan yang luas tentang buku, up to date terhadap
buku-buku best seller dan bersifat kontekstual.
Mampu melihat
kebutuhan para pengunjung sehingga mampu pula menyediakan buku yang benar-benar
bermanfaat bagi mereka.
Selanjutnya,
pustakawan juga harus mampu menjadikan dirinya sebagai role model dalam
kegiatan yang berbau literasi. Ia mampu menjadi pembaca dan penulis yang baik.
Artinya, ketika ia
mampu menemukan buku-buku berkualitas, ia juga harus mampu (setidaknya) membuat
sinopsis untuk kemudian dipajang di perpustakaan sehingga orang-orang dapat
melihat betapa hebatnya peran buku dan dapat mencontohnya.
Dengan demikian,
pengadaan buku oleh pemerintah juga semestinya ditinjau ulang.
Program yang selalu
diusahakan merata hingga buku yang dipasok ke seluruh perpustakaan di Indonesia
juga tanpa seleksi, justru menyebabkan perpustakaan tidak mampu menyediakan
buku yang kontekstual.
Kebutuhan buku
untuk anak-anak di kota dan di desa jauh sangat berbeda.
Jika di kota, buku
berbau teknologi terapan komputer akan sangat digandrungi, tetapi menjadi hal
yang tabu untuk anak-anak di pelosok desa.
Justru buku yang
mengisahkan pelbagai petualangan akan lebih membumi untuk mereka yang tinggal
berdampingan dengan alam.
Masyarakat pesisir
tidak butuh buku berbau agraria, begitu pula sebaliknya, masyarakat pegunungan
juga tidak butuh buku bernuansa maritim.
Badan Perpustakaan
Nasional sudah semestinya mendata dengan baik seluruh perpustakaan di Indonesia
untuk kemudian menyalurkan buku-buku yang membumi dan mampu memberdayakan
orang-orang di sekitar perpustakaan tersebut berdiri.
Para pengelola
perpustakaan juga harus merupakan orang-orang yang memiliki gairah sebagai
pustakawan sejati.
Semoga reformasi
gerakan buku dan perpustakaan ini dapat menjadikan minat baca masyarakat
Nusantara menjadi lebih baik.
Sumber: Media Indonesia, 23 Oktober 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!