Headlines News :
Home » » Menghidupkan Perpustakaan

Menghidupkan Perpustakaan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, October 23, 2017 | 12:15 PM

Oleh Muazzah Muhammad
Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie, Aceh

SEIRING dengan gencarnya program literasi yang digalakkan pemerintah, berbagai bantuan untuk pengembangan perpustakaan juga cukup mendapat perhatian dari berbagai kalangan.

Hampir semua sekolah mulai tingkat PAUD hingga perguruan tinggi difasilitasi untuk memiliki perpustakaan yang memadai dan dirasa mampu mendukung berbagai program pembelajaran.

Jumlah perpustakaan berdasarkan data Perpustakaan Nasional Republik Indonesia cukup memukau, 25.728 buah, dengan sebaran yang sangat tidak merata.

Terdapat 4.780 perpustakaan di Jawa Barat dan hanya 3 di Papua Barat.

Ketimpangan ini juga dapat mencerminkan kualitas literasi di daerah tersebut.

Meski jumlah perpustakaan di 'Negeri Seribu Pulau' ini cukup tinggi, minat baca masyarakatnya masih sangat rendah, tepatnya berada di urutan ke-60 setelah Thailand (59).

Jika menilik persoalan di atas, pasti ada banyak sebab sehingga jumlah perpustakaan yang tinggi tidak dapat menjamin kualitas literasi masyarakatnya.

Banyak perpustakaan yang seperti 'mati suri', keberadaannya nyata tapi kemanfaatannya seperti tiada.

Salah satu sebab mengapa perpustakaan kehilangan rohnya ialah ketiadaan konsep yang memberdayakan.

Padahal, dalam Pasal 3 UU No 43 Tahun 2007 jelas dinyatakan bahwa 'Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa'.

Realisasi dari visi inilah yang tak menyentuh perpustakaan yang pada akhirnya membuat perpustakaan hanya sebagai tempat koleksi buku yang hanya akan usang bersama waktu.

Mengembalikan roh perpustakaan sebenarnya tidaklah sulit.

Menurut Hernowo (2004), dua hal penting yang harus dimiliki perpustakaan ialah; pertama, tersedianya buku-buku yang menarik dan kontekstual, artinya buku yang menjadi koleksi adalah buku-buku yang memang dibutuhkan para pengunjung; kedua, pengelola yang gigih dan mau menjadi 'model' kegiatan baca-tulis yang memberdayakan.

Belajar dari Tiongkok

Kita sudah sangat familier dengan ungkapan lama 'Tuntutlah ilmu hingga ke negeri Cina (Tiongkok)'.

Namun, kenapa Tiongkok yang disebut, bukannya negara lain? Sejarah mencatat Tiongkok sebagai salah satu negara dengan peradaban yang sangat maju pada masa dahulu.

Bahkan, saat masih sangat jarang ada yang mampu merangkum berbagai ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu, Tiongkok justru mampu membuat ensiklopedia terbesar yang pernah ada.

Ensiklopedia dari Tiongkok tersebut ditulis pada masa pemerintahan Kaisar Chu Ti (1410 M) dengan judul Yung-lo Tatien (Buku Rujukan Besar) yang ditulis 2.000 staf dengan tulisan tangan dan terdiri atas 22.937 bab, dengan total 917.480 halaman dan terbagi dalam 11.095 jilid (Hernowo, 2004).

Karya itu mengalahkan ensiklopedia buatan Caius Plinius Secundus (23-79 M) dari Yunani yang hanya terdiri dari 38 jilid.

Sadar bahwa ilmu jika tak diabadikan dalam tulisan akan menguap begitu sajalah, yang mengilhami Tiongkok untuk membuat banyak buku mahakarya. Begitu juga dengan ensiklopedia Plini yang sangat kontekstual hingga masih terus dijadikan rujukan seni lukis dan patung di Romawi.

Maka tidak salah pepatah tersebut menjadikan Tiongkok sebagai rujukan tempat menuntut ilmu. Kecintaan pemerintahnya pada ilmu menyebabkan masyarakatnya juga secara paripurna mencintai ilmu.

Tempat yang memang layak untuk para pecinta ilmu menimba berbagai pengetahuan.

Cerdas memilah buku

Dewasa ini, buku terbit menjamur, mungkin ratusan buku terbit setiap harinya.

Namun, kualitasnya banyak yang masih jauh dari kata layak dan bermanfaat.

Percetakan dan penerbit buku mudah sekali menerbitkan naskah yang kadang justru bisa menjadi 'racun' bagi otak.

Buku yang jika dibaca justru menjadikan pembacanya berpikiran picik, sempit, dan kadang tak rasional.

Padahal, seyogianya, buku mampu mengaktifkan dan menyambungkan neuron-neuron di otak, juga merangsang pusat berpikir untuk lebih berkembang. Namun, buku-buku 'racun' tersebut justru menghambat bagian frontal otak untuk berkembang.

Dapat kita bayangkan jika perpustakaan hanya berisi buku-buku tanpa kualitas dan tidak kontekstual.

Pengunjung tidak akan tertarik untuk datang dan membaca karena tidak adanya daya tarik dan manfaat yang bisa mereka ambil dari perpustakaan tersebut.

Atau sebaliknya, akibat buku 'racun' dapat menyebabkan pembacanya skeptis atau candu pada hal-hal negatif.

Di sisi lain, kebanyakan pustakawan juga berpikir bahwa tugas utama mereka hanyalah mengontrol arus buku (peminjaman dan pengembalian) dan mendata buku-buku yang menjadi koleksi perpustakaan tempatnya bekerja.

Padahal, sejatinya, tugas utama pengelola perpustakaan ialah memberdayakan diri sendiri dengan berbagai buku yang bergizi untuk kemudian memfasilitasi para pengunjung dengan hal-hal serupa.

Maka, jika pustakawan belum mampu memberdayakan dirinya, mustahil perpustakaan tersebut akan mampu memberdayakan orang lain.

Betapa jika pustakawan hanya berkutat pada kesibukan administrasi, dan melupakan peran utamanya sebagai pembangkit roh perpustakaan, tak akan ada program-program penggerak literasi bagi para pengunjung dan masyarakat sekitarnya.

Pustakawan yang baik harusnya memiliki wawasan yang luas tentang buku, up to date terhadap buku-buku best seller dan bersifat kontekstual.

Mampu melihat kebutuhan para pengunjung sehingga mampu pula menyediakan buku yang benar-benar bermanfaat bagi mereka.

Selanjutnya, pustakawan juga harus mampu menjadikan dirinya sebagai role model dalam kegiatan yang berbau literasi. Ia mampu menjadi pembaca dan penulis yang baik.

Artinya, ketika ia mampu menemukan buku-buku berkualitas, ia juga harus mampu (setidaknya) membuat sinopsis untuk kemudian dipajang di perpustakaan sehingga orang-orang dapat melihat betapa hebatnya peran buku dan dapat mencontohnya.

Dengan demikian, pengadaan buku oleh pemerintah juga semestinya ditinjau ulang.

Program yang selalu diusahakan merata hingga buku yang dipasok ke seluruh perpustakaan di Indonesia juga tanpa seleksi, justru menyebabkan perpustakaan tidak mampu menyediakan buku yang kontekstual.

Kebutuhan buku untuk anak-anak di kota dan di desa jauh sangat berbeda.

Jika di kota, buku berbau teknologi terapan komputer akan sangat digandrungi, tetapi menjadi hal yang tabu untuk anak-anak di pelosok desa.

Justru buku yang mengisahkan pelbagai petualangan akan lebih membumi untuk mereka yang tinggal berdampingan dengan alam.

Masyarakat pesisir tidak butuh buku berbau agraria, begitu pula sebaliknya, masyarakat pegunungan juga tidak butuh buku bernuansa maritim.

Badan Perpustakaan Nasional sudah semestinya mendata dengan baik seluruh perpustakaan di Indonesia untuk kemudian menyalurkan buku-buku yang membumi dan mampu memberdayakan orang-orang di sekitar perpustakaan tersebut berdiri.

Para pengelola perpustakaan juga harus merupakan orang-orang yang memiliki gairah sebagai pustakawan sejati.

Semoga reformasi gerakan buku dan perpustakaan ini dapat menjadikan minat baca masyarakat Nusantara menjadi lebih baik. 
Sumber: Media Indonesia, 23 Oktober 2017
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger