Oleh Ramlan Surbakti
Guru Besar Perbandingan Politik
pada Fisip Universitas
Airlangga, Surabaya
BADAN Pengawas Pemilu telah merumuskan Indeks Kerawanan
Pilkada/Pemilu. Apakah yang dimaksud dengan kerawanan pemilu? Bawaslu periode
2012-2017 merumuskan kerawanan pemilu sebagai potensi gangguan terhadap setiap
tahapan pemilu.
Pada tahapan
kampanye, misalnya, kabupaten/kota yang memiliki penduduk miskin: lebih dari 30
persen dikategorikan sebagai Sangat Rawan, 10-30 persen dikategorikan sebagai
Rawan, dan kurang dari 10 persen dikategorikan sebagai Aman. Gangguan seperti
apakah yang akan dilakukan orang miskin terhadap tahapan pemilu? Solidaritas di
antara orang miskin amat sangat lemah. Yang mungkin terjadi adalah calon yang
kaya tetapi kalah dalam pemilu/pilkada akan menggunakan "biro jasa"
demonstrasi untuk melakukan unjuk kekuatan yang merusak. Orang-orang yang
digerakkan biro jasa tersebut belum tentu orang miskin. Kerawanan pemilu versi
Bawaslu tidak jelas hendak melaksanakan fungsi Bawaslu yang mana.
Kerawanan atau
malapraktik?
Kerawanan pemilu
tak berkaitan dengan pengawasan pemilu karena pengawasan terhadap setiap
tahapan pemilu berfokus pada penilaian apakah suatu tahapan pemilu dilaksanakan
sesuai dengan UU. Kerawanan pemilu juga tak secara langsung berkaitan dengan
penegakan hukum karena hanya menyangkut potensi gangguan terhadap tahapan
pemilu dan sama sekali tak merujuk pada jenis pelanggaran. Indeks Pelanggaran
Pemilu versi Bawaslu tidak berkaitan secara langsung dengan tugas pokok dan
fungsi (tupoksi) Bawaslu. Indeks kerawanan seperti itu mungkin berguna untuk
antisipasi kemungkinan yang akan terjadi.
Namun, Indonesian
Parliamentary Centre (IPC) menyebut 14 kerawanan Pemilu 2014, antara lain
ketidakpuasan warga masyarakat terhadap daftar pemilih karena banyak yang tak
terdaftar, kampanye yang menonjolkan kekuatan, surat undangan pemilih tak sampai
pada pemilih terdaftar, jumlah logistik yang kurang, perbedaan persepsi tentang
surat suara sah, pemungutan dan penghitungan suara melebihi waktu yang
ditentukan dalam UU, serta dugaan tentang penggelembungan suara.
Kerawanan pemilu
versi IPC tak membedakan potensi pelanggaran dari potensi irregularities
(penyimpangan, tetapi bukan pelanggaran). Surat undangan yang tidak sampai pada
pemilih terdaftar jelas merupakan penyimpangan, tetapi bukan merupakan
pelanggaran; antrean pemilih yang panjang bukan pelanggaran, tetapi merupakan
penyimpangan dari kenyamanan bagi pemilih. Sejumlah potensi pelanggaran,
seperti jual-beli suara (antara calon/operator dengan pemilih dan antara
calon/operator dengan petugas pemungutan dan penghitungan suara), serta
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye yang tidak dilaporkan, misalnya, tidak
disebut dalam kerawanan pemilu IPC. Singkat kata, kerawanan pemilu versi IPC
tidak seluruhnya menyangkut potensi pelanggaran dan tidak menyebutkan potensi
pelanggaran secara lebih lengkap.
Yang berkaitan
langsung dengan tupoksi Bawaslu adalah tipologi pelanggaran pemilu (typology of
electoral malpractice). Tipologi pelanggaran pemilu untuk konteks Indonesia
adalah pelanggaran terhadap Ketentuan Administrasi Pemilu (KAP), pelanggaran
terhadap Ketentuan Pidana Pemilu (KPP), dan pelanggaran terhadap Kode Etik
Penyelenggara Pemilu (KEPP). Akan tetapi, tipologi seperti ini terlalu umum
karena tak merujuk pada substansi proses penyelenggaraan pemilu. Dalam UU
Pemilu belum ditentukan KAP, sedangkan ketentuan pidana sudah diatur dalam bab
tersendiri. KEPP diatur Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu bersama dengan
KPU dan Bawaslu.
Tipologi
pelanggaran pemilu yang merujuk pada substansi proses penyelenggaraan pemilu
adalah manipulasi terhadap dasar hukum pemilu, manipulasi terhadap pilihan
pemilih, serta manipulasi terhadap proses pemungutan dan penghitungan suara.
Manipulasi tipologi pertama terjadi sebelum pemilu, manipulasi tipologi kedua
terjadi di masa kampanye, dan manipulasi tipologi ketiga terjadi pada tahap
pemungutan dan penghitungan suara.
Akan tetapi,
tipologi ini kurang lengkap karena tak memberi tempat pada berbagai kasus
pelanggaran setelah proses pemungutan dan penghitungan suara (pascapemilu).
Karena itu, perlu ditambah satu tipe pelanggaran lagi, yaitu pelanggaran yang
terjadi setelah pemungutan dan penghitungan suara. Alokasi kursi DPR yang
berlebihan (over representation) kepada sejumlah daerah dan alokasi kursi yang
kurang (under representation) kepada beberapa daerah (malapportionment), dan
pembentukan daerah pemilihan yang hanya menguntungkan partai tertentu
(gerrymandering) merupakan contoh pelanggaran pemilu yang termasuk manipulasi
dasar hukum pemilu. Pelanggaran seperti ini tentu tak bisa ditangani Bawaslu,
tetapi dapat dipersoalkan berbagai kalangan lain kepada Mahkamah Konstitusi.
Penggunaan uang dan
sembako untuk mendapatkan suara pemilih, isu SARA untuk memengaruhi pilihan
pemilih, mencela peserta pemilu lain dalam hal tertentu tetapi tanpa bukti
(black campaign), penggunaan anggaran negara/daerah untuk memengaruhi pilihan
pemilih (pre-election fiscal manipulation), pemberian dana kepada partai agar
ditetapkan sebagai calon (uang mahar), penggunaan intimidasi atau ancaman
kekerasan untuk memengaruhi pilihan pemilih, dan pemasangan iklan kampanye di
televisi yang didominasi peserta pemilu tertentu merupakan contoh pelanggaran
pemilu yang termasuk manipulasi pilihan pemilih.
Pengaturan tentang
pemberian suara yang tak memperhatikan pemilih berkebutuhan khusus, penggunaan
hak pilih lebih dari satu kali, kepala keluarga/kepala suku/kepala banjar
mencoblos banyak surat suara atas nama keluarga/suku/banjar, penggunaan hak
pilih pemilih lain, mengurangi suara suatu partai dan menambah suara partai
lain, penghitungan suara yang tidak transparan, panitia pemilihan dan
penyelenggara pemilu yang berpihak kepada peserta pemilu tertentu, serta ruang
gerak pemantau pemilu yang dibatasi merupakan contoh pelanggaran pemilu yang
termasuk manipulasi proses pemungutan dan penghitungan suara.
Peserta
pemilu/calon yang kalah mengerahkan massa merusak kantor KPU atau kantor
instansi pemerintah sebagai protes, peserta pemilu/calon tak melaporkan seluruh
penerimaan dan pengeluaran dana kampanye pemilu, penyumbang dana kampanye yang
fiktif, menerima dana dari sumber yang dilarang UU dan tak menyerahkan dana itu
ke kas negara, tak melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye
merupakan sejumlah contoh pelanggaran setelah pemungutan dan penghitungan
suara.
Langkah prioritas
Sejumlah langkah
perlu diambil Bawaslu. Pertama, memetakan jenis pelanggaran apa sajakah yang
kemungkinan besar terjadi dan di daerah mana. Kedua, menyiapkan mekanisme
pelaporan yang memudahkan pemilih, pemantau pemilu, dan peserta pemilu menyusun
serta menyampaikan laporan dugaan pelanggaran pemilu. Ketiga, menyiapkan para
petugas, baik dalam merespons laporan maupun dalam "jemput bola"
mendekati warga masyarakat. Karena keengganan sebagian pemilih mengirimkan
pengaduan, Bawaslu perlu mengambil langkah jemput bola.
Dan akhirnya, semua
jenis pelanggaran wajib ditangani oleh Bawaslu. Akan tetapi, Bawaslu perlu
menentukan "prioritas". Tiga contoh dapat dikemukakan di sini.
Penggunaan isu SARA diperkirakan akan banyak digunakan di sejumlah daerah dalam
Pilkada 2018. Jual-beli suara antara calon/operator dan pemilih/tokoh
masyarakat atau antara calon/operator dan panitia pemilihan diperkirakan akan
banyak terjadi pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019. Pemilu di Indonesia
sudah bebas, tetapi belum adil karena sebagian calon menggunakan uang dan
sembako untuk membeli suara pemilih.
Partisipasi pemilih
dalam pemungutan suara (voting turn out) belum maksimal, yaitu 71 persen pada
Pemilu 2014, antara lain karena baik UU Pemilu maupun peraturan KPU belum
memfasilitasi para pemilih yang memiliki kebutuhan khusus, seperti difabel,
pasien, tenaga medis dan dokter di rumah sakit, mahasiswa yang berasal dari
luar daerah, pekerja musiman di kota besar, dan pemilih yang harus ke luar kota
karena pekerjaan.
Sumber: Kompas, 13 Desember 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!