Oleh Salis S
Aprilian
Sekretaris Jenderal Indonesian Gas Society;
Technical Expert/Strategic Advisor Direktorat Gas PT Pertamina
(Persero)
SATU hal yang tidak
dapat diperkirakan dan dikendalikan dengan baik dalam bisnis minyak adalah
harganya. Sementara parameter lain, seperti potensi produksi dan cadangan, yang
meskipun tidak tampak oleh mata karena berada di dalam bumi, dengan ilmu
geologi dan perminyakan dapat dihitung dan diperkirakan mendekati kebenaran.
Harga minyak naik
dan turun berayun seperti pendulum. Dahulu perusahaan-perusahaan minyak selalu
menggunakan ramalan (prediksi) harga minyak dengan melihat faktor-faktor
dominan (substansial) dan nondominan, seperti kualitas produk, keseimbangan
pasok dan kebutuhan (supply and demand), pergantian musim, geopolitik, perang
antarnegara produsen, dan sanksi ekonomi.
Dampak gejolak
harga
Sekarang harga
minyak lebih sulit lagi diprediksikan karena adanya substitusi energi ini oleh
energi baru dan terbarukan yang dikembangkan secara agresif. Ditemukannya
minyak dan gas serpih (shale oil/gas) di Amerika merupakan energi baru yang
mengakibatkan banjirnya volume minyak dan gas di pasaran dunia sehingga
menurunkan harga energi ini. Di saat yang hampir bersamaan, pengembangan energi
terbarukan (energi surya, bayu, panas bumi) juga muncul bak musim jamur.
Pemanfaatan gas
alam dan LNG (liquefied natural gas) sebagai pengganti minyak mentah telah
dilakukan di sejumlah negara. Pembangunan infrastruktur gas dan LNG yang terus
tumbuh telah mengubah peta distribusi dan perdagangan minyak dan gas dunia.
Langkah inilah yang kemudian juga mendorong harga minyak bertahan di posisi
rendah. Apalagi ditambah dengan pengembangan energi terbarukan yang makin
kompetitif.
Sebagai contoh,
pemasangan panel surya (solar cell) dan kincir angin pembangkit energi yang
begitu masif di negara-negara yang notabene penghasil energi fosil (batubara,
minyak, dan gas), seperti Qatar, Amerika, China, dan beberapa negara Eropa,
telah dibarengi dengan pengembangan mobil listrik, arsitektur gedung,
infrastruktur, dan berbagai keperluan rumah tangga yang lebih hemat energi.
Jaringan distribusi
gas ke rumah-rumah sudah digantikan dengan penguatan jaringan kabel-kabel
listrik yang bersumber dari energi terbarukan. Stasiun bahan bakar sudah
digantikan dengan EVCS (electric vehicle charging station) yang dapat dengan
mudah ditemukan di tempat parkir pusat-pusat perbelanjaan, perkantoran, hotel,
dan pinggir jalan. Panel-panel surya dipasang di atap-atap kantor dan perumahan
serta pada lampu-lampu jalanan.
Lalu bagaimana
dampak pendulum harga minyak yang mengayun tidak menentu sekarang ini terhadap
kinerja perusahaan minyak dunia? Ini jelas menjadikan tantangan yang sulit yang
belum pernah mereka bayangkan sebelumnya. Inilah disrupsi bagi sebagian pemain
bisnis minyak sekarang ini.
Perusahaan minyak
besar, seperti Exxon Mobil, Shell, Total, BP, Chevron, bahkan Petronas dan
Pertamina, yang memiliki bisnis di sektor hulu dan hilir, seharusnya tidak
begitu terpengaruh dengan turun naiknya harga minyak. Pada saat harga minyak
tinggi, pemasukan di sektor hulu seharusnya akan naik, sedangkan pada saat
harga minyak rendah, sektor hilirnya akan meraup margin keuntungan yang lebih
tinggi.
Namun, lagi-lagi
pendulum harga minyak masih terus bergerak menuruti hukumnya. Kali ini mengayun
naik ke level 60 dollar AS per barrel, hanya beberapa bulan setelah pimpinan
Saudi Aramco memprediksi harga minyak bisa jatuh ke titik 10 dollar AS per
barrel karena melihat perkembangan energi baru terbarukan dan produksi mobil
listrik yang akan dilakukan secara masif.
Fenomena kenaikan
harga minyak ini juga terjadi pada saat Indonesia baru beberapa bulan
mengumumkan kebijakan BBM Satu Harga di seluruh pelosok Tanah Air dan baru
beberapa bulan setelah Pertamina merencanakan membangun megaproyek kilang
minyak di beberapa daerah dengan memanfaatkan minyak impor yang harganya
rendah.
Kenaikan harga
minyak yang signifikan ini tentunya akan menggerus keuntungan kegiatan hilir,
apalagi selama harga minyak rendah, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi minyak
dikurangi. Artinya, keuntungan yang semestinya didapat dari kegiatan sektor
hulu tidak terjadi.
Keseimbangan
kebijakan
Banyak pengamat
masih mencari penyebab substantif kenaikan harga minyak ini, tetapi belum
semuanya sepakat pada satu kesimpulan. Beberapa di antaranya memprediksi bahwa
kondisi ini bersifat sementara karena harga minyak yang tinggi justru akan
memicu negara-negara yang tadinya sebagai pengimpor minyak semakin gencar
mengembangkan energi baru dan terbarukan di sektor hulu dan hilirnya.
Pencarian energi
baru pengganti minyak melalui riset dan inovasi teknologi makin berkembang.
Diprediksikan ayunan pendulum harga minyak akan kembali turun mengikuti hukum
keseimbangannya. Seberapa besar turunnya dan dalam waktu berapa lama, tidak ada
yang bisa memperkirakannya.
Maka, menyiasati
pergerakan pendulum harga minyak itu perlu menjadi perhatian bagi perusahaan
minyak ataupun pemerintah. Pembuatan kebijakan yang sepertinya baik di satu
sisi (politik) mungkin dapat merugikan di sisi lain (bisnis).
Perusahaan negara
yang berbentuk perusahaan terbatas (PT) yang notabene tunduk pada peraturan PT
yang harus meraup untung akan terseok merugi jika harus menanggung
"penugasan pemerintah" untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di seluruh
pelosok Tanah Air tanpa mempertimbangkan sifat alam ayunan pendulum harga migas
ini. Itulah yang mungkin dirasakan oleh perusahaan energi di Indonesia, seperti
PT PLN, PT Pertamina, dan PT Perusahaan Gas Negara, sehingga perlu adanya
keseimbangan kebijakan.
Kebijakan yang
seharusnya ditempuh adalah memanfaatkan pendulum harga minyak yang sedang naik
dengan memanfaatkan sebagian dananya untuk pengembangan energi yang ada di
setiap daerah secara optimal. Desentralisasi energi perlu menjadi pilihan.
Prinsip the right energy in the right place mesti digulirkan. Pemanfaatan in
situ energyseharusnya terus digalakkan.
Sebagai contoh,
daerah-daerah yang memiliki energi surya berlimpah dan tidak memiliki energi
fosil, seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur, harus dipacu untuk
membangun dan memanfaatkan energi surya, bayu, biomassa, torium, atau yang
lainnya. Papua yang masih memiliki sungai-sungai besar harus memiliki
pembangkit tenaga air yang maksimum.
Minyak dan gas yang
ada dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku petrokimia yang memang tidak dapat
digantikan dengan mineral lain. Kebijakan BBM Satu Harga ada baiknya ditinjau
ulang karena hanya akan memanjakan pemakai BBM yang konsumtif dan tidak
menumbuhkan inovasi substitusi energi lain. Mungkin perlu dialihkan pada
subsidi listrik dan infrastrukturnya yang bersumber dari energi baru dan
terbarukan.
Begitu listrik
sudah tersedia dari energi alternatif di daerah-daerah dengan harga yang
terjangkau, industri akan tumbuh, lapangan pekerjaan tercukupi, dan
kesejahteraan masyarakat meningkat. Pada awalnya mungkin perlu investasi yang
disubsidi, tetapi lambat laun mereka akan mandiri dengan energi yang tak pernah
habis (terbarukan) dan inovasi kegiatan ekonomi yang tak pernah berhenti.
Dengan demikian,
kebutuhan energi dasar kita bisa secepatnya terbebas dari pengaruh pergerakan
pendulum harga minyak yang memang tak dapat kita prediksikan dengan baik dan
tepat.
Sumber: Kompas, 4 Desember
2017

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!