Headlines News :
Home » » Politik Pasca-2019

Politik Pasca-2019

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, December 18, 2018 | 7:24 PM

Oleh Refly Harun
Akademisi dan Praktisi Hukum Tatanegara

SIAPA pun yang nanti bakal terpilih dalam perhelatan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 (Pilpres 2019), bisa jadi, tidak memberikan banyak harapan bagi bangsa ini bila bukan sosok yang tercerahkan (enlightened). Terlepas dari kemajuan yang telah dibuat Presiden Joko Widodo, tidak bisa dimungkiri, negeri ini masih banyak ditimpa persoalan besar yang menuntut konsep tuntas dan arah yang jelas.

Di tahun-tahun politik ini, baik diskusi politik ataupun penyampaian visi dan misi para pasangan calon yang dilakukan para tim sukses dan simpatisan, belum menyentuh persoalan krusial yang sedang dihadapi bangsa. Pembahasan yang hilir-mudik di berbagai kanal media malah menjauh dari hal-hal yang produktif-substantif. Pembahasan yang demikian menjebak pada isu-isu subjektif-personal antarpasangan calon, yang tidak cukup relevan untuk dibicarakan.

Setidaknya terdapat empat diskursus publik yang luput dari pandangan baik para calon presiden dan wakil presiden maupun tim kampanyenya. Pertama, memperkokoh sendi-sendi ketatanegaraan dengan perubahan UUD 1945. Kedua, mengevaluasi undang-undang yang berkaitan dengan politik, seperti undang-undang pemilihan umum dan undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, supaya tidak berorientasi semata-mata pada kepentingan sesaat. Ketiga, sinergi dan percepatan agenda pemberantasan korupsi. Keempat, mengutamakan the right person the right place dalam pengisian kabinet pasca-Pilpres 2019.

Perubahan Kelima UUD 1945

UUD 1945 merupakan landasan fundamental dalam bernegara. Undang-undang dasar adalah the supreme law of the land. Ia menempati posisi hukum tertinggi dan luhur, serta menjadi sumber atau dasar bagi pembentukan hukum yang lebih rendah, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah.

Ibarat mengemudikan sebuah kapal yang bernama Negara Republik Indonesia, UUD 1945 berfungsi sebagai manual book. Ia menjelaskan apa fungsi dan tujuan dibentuknya kapal tersebut, perangkat apa saja yang menunjang pengoperasian kapal, bagaimana cara mengendalikan dan mengarahkan kapal untuk sampai ke tujuan dengan selamat. Seperti manual book pada umumnya pula, UUD 1945 sering kali tidak dibaca, dikesampingkan dalam pengambilan keputusan atau tindakan-tindakan ketatanegaraan, sebab pengemudi kapal kurang mendalami substansi konstitusi dan lebih memilih mengambil jalan yang pragmatis.

Salah satu isu konstitusional yang terus-menerus menjadi wacana perubahan dan penting untuk segera diselesaikan ialah memperkuat lembaga perwakilan, khususnya kamar kedua, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejak awal kehadirannya, DPD, yang hakikatnya merupakan lembaga representasi daerah, hanya memperoleh 'kekuasaan sisa' sebagai salah satu kamar perwakilan.

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 telah cukup membenahi kedudukan DPD. DPD bukan lagi sekadar 'penonton' dalam proses pembentukan undang-undang, melainkan terlibat sebagai 'aktor' pembentuk undang-undang.

Putusan MK telah mengukuhkan fungsi dan relasi legislasi DPD dengan DPR dan Presiden. Namun, upaya penyesuaian substansi putusan MK dengan UU MD3 dan UU P3 tidak kunjung dilaksanakan sehingga reformasi kamar kedua ini terkesan setengah hati dan berhenti di tengah jalan. Oleh karena itu, perlu diadakan perubahan kelima UUD 1945 yang salah satu agendanya ialah mengadopsi materi tentang DPD yang telah ditafsirkan MK dan mengunci ketentuan tersebut dalam konstitusi supaya keberadaan DPD tidak lagi diganggu gugat dengan agenda politik kelompok mana pun.

Evaluasi UU Politik

Dalam kerangka peraturan perundang-undangan, yang tidak kalah penting ialah pembenahan undang-undang yang berkaitan dengan politik, misalnya UU MD3 dan UU Pemilu. Kedua undang-undang itu sangat bersentuhan dengan kepentingan aktor politik baik di parlemen maupun di pemerintahan. Salah satu hal yang perlu disoroti misalnya revisi UU MD3. Pasal-pasal yang disahkan telah menuai kontroversi publik, misalnya terkait dengan niat DPR untuk memperkuat dirinya dan kesan 'bagi-bagi' jabatan pimpinan.

Persoalan politik lain yang juga perlu dibahas ialah UU Pemilu, khususnya terkait aturan presidential threshold. Ketentuan ini tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu), tepatnya dalam Pasal 222 yang berbunyi, 'Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya'.

Terdapat beberapa kejanggalan dan kesalahan paradigma dalam penerapan presidential threshold, khususnya dalam satu bangunan pemilu serentak. Pertama, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi 'Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum' telah menyiratkan bahwa sistem pemilihan presiden dan wakil presiden di Indonesia tidak mengadopsi sistem ambang batas pencalonan kendati MK nyatakan sebagai open legal policy.

Dengan menyelami logika MK yang demikian, pada dasarnya, dalil open legal policy dapat terpatahkan dengan menafsirkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sebagai constitutional rights partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan calon presiden dan wakil presiden yang akan memperjuangkan aspirasi politik partai tersebut. Ketentuan yang bersifat open legal policy bukan merupakan diskresi pembentuk undang-undang yang bersifat bebas tanpa batas. Ketentuan tersebut tidak sepatutnya menghilangkan hak konstitusional yang telah terjamin dalam konstitusi.

Secara faktual, terdapat lima partai politik baru yang sudah terverifikasi sebagai peserta Pemilu 2019 yang terlanggar hak konstitusionalnya untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden akibat presidential threshold, yakni Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Berkarya, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda), dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).

Constitutional rights pun tidak dapat direduksi dalam cakupan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah daripada UUD, dalam hal ini UU. Seyogianya, ketentuan demikian diatur secara langsung dalam konstitusi, sebagai bagian dari constitutional engineering atau rekayasa konstitusional untuk mencapai tujuan tertentu.

Memberantas korupsi dengan sinergi

Pemberantasan korupsi merupakan amanat reformasi yang masih menjadi persoalan bersama bangsa. Pascareformasi, gelombang ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum, yakni kepolisian dan kejaksaan, semakin meningkat. Banyak kritik yang dilemparkan kepada kedua lembaga tersebut karena pemberantasan korupsi tidak dilaksanakan secara optimal, efektif, dan efisien sehingga membutuhkan suatu lembaga independen baru yang dapat meningkatkan profesionalitas, intensitas, dan kesinambungan pemberantasan korupsi yang telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, dibentuk KPK sebagai lembaga khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana korupsi.

Perjalanan pemberantasan korupsi tidaklah mudah. Sejak awal pembentukannya, hingga saat ini, KPK sering kali berada pada posisi yang disikut kanan dan kiri oleh pihak-pihak yang dulunya meraja. Keberadaan KPK dapat dikatakan sebagai ancaman bagi tikus-tikus yang menggerogoti kue keuangan negara. Misalnya, pascaterkuaknya kasus megakorupsi KTP-E yang melibatkan banyak anggota DPR, termasuk Ketua DPR Setya Novanto, KPK cukup berada pada posisi yang tersudutkan. DPR sebagai lembaga politik menggunakan alat politiknya untuk mengintervensi KPK melalui pemberian hak angket kepada KPK.

Dalil dilayangkannya hak angket kepada KPK ialah terkait dengan pengawasan terhadap KPK dan mencegah agar KPK tidak menjadi lembaga yang superpower. Pelaksanaan hak angket pun menjadi perdebatan di kalangan intelektual hukum tata negara sebab sejatinya, hak angket ditempatkan sebagai mekanisme pengawasan lembaga legislatif terhadap lembaga eksekutif, dalam hal ini presiden sebagai kepala pemerintahan. Sementara itu, KPK digolongkan sebagai lembaga independen (independent agency) yang menjalankan fungsi eksekutif, tetapi tidak di bawah naungan lembaga eksekutif, seperti kepolisian dan kejaksaan.

Bukan hanya itu, MK pun turut memberikan legitimasi terhadap hak angket kepada KPK melalui Putusan MK Nomor 40/PUU-XV/2017. MK menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari lembaga eksekutif. Oleh karena itu, KPK dapat menjadi objek hak angket DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Dalam perkara ini, MK telah meninggalkan presedennya. Dalam putusan sebelumnya, yakni Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan MK Nomor 19/PUU-V/2007, Putusan MK Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, dan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, MK secara jelas menegaskan bahwa KPK adalah lembaga independen yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman sebab MK menjalankan fungsi penyidikan dan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, konsistensi MK dalam hal ini sangat perlu dipertanyakan.

Melihat kasus di atas, komitmen negara dalam memberantas korupsi memang masih perlu dipertanyakan. Apabila melihat hasil Corruption Perceptions Index 2017 yang dipublikasikan Transparency International, Indonesia menempati peringkat ke-96 dari 180 negara dengan skor 37, yang stagnan sedari tahun lalu. Di posisi ke-96, Indonesia harus bersanding dengan Brasil, Kolombia, Panama, Peru, Thailand, dan Zambia.

Situasi yang jalan di tempat ini tidak diakibatkan ketiadaan perangkat hukum dan penegak hukum, tetapi ketiadaan political will dari tiap cabang kekuasaan untuk menyelesaikan permasalahan korupsi yang sudah akut dan mengakar sebab sangat kemungkinan pihak-pihak tersebut juga terlibat sebagai aktor intelektual di balik kejahatan ini.

Ke depan, keseriusan pemerintah dalam pemberantasan korupsi masih di nanti. Tanggung jawab pemberantasan korupsi semestinya tidak hanya dibebankan kepada KPK, tetapi juga kepada dua lembaga penegak hukum lainnya, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Sinergi di antara tiga lembaga ini sangat penting untuk memperkokoh benteng pemberantasan korupsi dan menimbulkan efek jera bagi mantan pelaku dan calon pelaku. Hal itu dapat dimulai dari pembenahan internal pada badan kepolisian dan kejaksaan sebab kedua lembaga itu masih mendapatkan stigma dari masyarakat.

KPK juga bukan lembaga malaikat yang tidak luput dari kesalahan, KPK pun perlu diawasi. Ke depan, rekrutmen KPK harus dapat menjaring pihak-pihak yang kompeten dan tidak mengantongi agenda politik apa pun, demikian pula anggota panitia seleksi yang bertugas melakukan fit and proper test pada calon petinggi komisi antirasywah. Penanganan kasus korupsi pun harus dilakukan tanpa tebang pilih. Siapa pun orangnya dan apa pun jabatannya harus ditangkap dan diadili apabila terjerat kasus korupsi. Jangan sampai, praktik korupsi yang dimaklumi terus-terusan sampai menggerogoti istana dan berlindung di balik dinding istana.

The right person on the right place

Agenda-agenda reformasi hukum sebagaimana penulis paparkan pada bagian sebelumnya tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa dibarengi dengan menempatkan orang-orang yang berintegritas, cakap, dan memiliki kepemimpinan yang mumpuni untuk ditempatkan menjadi pembantu-pembantu presiden dalam menjalankan tugas sebagai kepala pemerintahan kelak. Terlepas siapa pun presiden dan wakil presiden yang terpilih, kabinet harus diisi calon-calon menteri yang memenuhi tiga kriteria di atas dan tidak bisa ditawar lagi. Penunjukan menteri merupakan hak prerogatif presiden sehingga presiden harus betul-betul wawas terhadap rekam jejak para individu yang akan direkrut.

Sekali lagi, mudah-mudahan, siapa pun yang terpilih dalam Pilpres 2019 nanti, dia ialah sosok yang tercerahkan dan mencerahkan. Pemerintah sekarang telah bekerja, tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.

Dalam kerangka peraturan perundang-undangan, yang tidak kalah penting ialah pembenahan undang-undang yang berkaitan dengan politik, misalnya UU MD3 dan UU Pemilu. Kedua undang-undang ini sangat bersentuhan dengan kepentingan aktor politik baik di parlemen maupun di pemerintahan. 
Sumber: Media Indonesia, Selasa, 18 Desember 2018
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger