Oleh
Refly Harun
Akademisi dan Praktisi Hukum Tatanegara
SIAPA pun yang nanti bakal
terpilih dalam perhelatan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019 (Pilpres
2019), bisa jadi, tidak memberikan banyak harapan bagi bangsa ini bila bukan
sosok yang tercerahkan (enlightened). Terlepas dari kemajuan yang telah dibuat
Presiden Joko Widodo, tidak bisa dimungkiri, negeri ini masih banyak ditimpa
persoalan besar yang menuntut konsep tuntas dan arah yang jelas.
Di tahun-tahun politik
ini, baik diskusi politik ataupun penyampaian visi dan misi para pasangan calon
yang dilakukan para tim sukses dan simpatisan, belum menyentuh persoalan
krusial yang sedang dihadapi bangsa. Pembahasan yang hilir-mudik di berbagai
kanal media malah menjauh dari hal-hal yang produktif-substantif. Pembahasan
yang demikian menjebak pada isu-isu subjektif-personal antarpasangan calon,
yang tidak cukup relevan untuk dibicarakan.
Setidaknya terdapat
empat diskursus publik yang luput dari pandangan baik para calon presiden dan
wakil presiden maupun tim kampanyenya. Pertama, memperkokoh sendi-sendi
ketatanegaraan dengan perubahan UUD 1945. Kedua, mengevaluasi undang-undang
yang berkaitan dengan politik, seperti undang-undang pemilihan umum dan
undang-undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, supaya tidak berorientasi semata-mata
pada kepentingan sesaat. Ketiga, sinergi dan percepatan agenda pemberantasan
korupsi. Keempat, mengutamakan the right person the right place dalam pengisian
kabinet pasca-Pilpres 2019.
Perubahan Kelima UUD
1945
UUD 1945 merupakan
landasan fundamental dalam bernegara. Undang-undang dasar adalah the supreme
law of the land. Ia menempati posisi hukum tertinggi dan luhur, serta menjadi
sumber atau dasar bagi pembentukan hukum yang lebih rendah, seperti
undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah.
Ibarat mengemudikan
sebuah kapal yang bernama Negara Republik Indonesia, UUD 1945 berfungsi sebagai
manual book. Ia menjelaskan apa fungsi dan tujuan dibentuknya kapal tersebut,
perangkat apa saja yang menunjang pengoperasian kapal, bagaimana cara
mengendalikan dan mengarahkan kapal untuk sampai ke tujuan dengan selamat.
Seperti manual book pada umumnya pula, UUD 1945 sering kali tidak dibaca,
dikesampingkan dalam pengambilan keputusan atau tindakan-tindakan
ketatanegaraan, sebab pengemudi kapal kurang mendalami substansi konstitusi dan
lebih memilih mengambil jalan yang pragmatis.
Salah satu isu
konstitusional yang terus-menerus menjadi wacana perubahan dan penting untuk
segera diselesaikan ialah memperkuat lembaga perwakilan, khususnya kamar kedua,
yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Sejak awal kehadirannya, DPD, yang
hakikatnya merupakan lembaga representasi daerah, hanya memperoleh 'kekuasaan
sisa' sebagai salah satu kamar perwakilan.
Mahkamah Konstitusi
(MK) dalam Putusan Nomor 92/PUU-X/2012 dan Putusan Nomor 79/PUU-XII/2014 telah
cukup membenahi kedudukan DPD. DPD bukan lagi sekadar 'penonton' dalam proses
pembentukan undang-undang, melainkan terlibat sebagai 'aktor' pembentuk
undang-undang.
Putusan MK telah
mengukuhkan fungsi dan relasi legislasi DPD dengan DPR dan Presiden. Namun,
upaya penyesuaian substansi putusan MK dengan UU MD3 dan UU P3 tidak kunjung
dilaksanakan sehingga reformasi kamar kedua ini terkesan setengah hati dan
berhenti di tengah jalan. Oleh karena itu, perlu diadakan perubahan kelima UUD
1945 yang salah satu agendanya ialah mengadopsi materi tentang DPD yang telah
ditafsirkan MK dan mengunci ketentuan tersebut dalam konstitusi supaya
keberadaan DPD tidak lagi diganggu gugat dengan agenda politik kelompok mana
pun.
Evaluasi UU Politik
Dalam kerangka
peraturan perundang-undangan, yang tidak kalah penting ialah pembenahan
undang-undang yang berkaitan dengan politik, misalnya UU MD3 dan UU Pemilu.
Kedua undang-undang itu sangat bersentuhan dengan kepentingan aktor politik
baik di parlemen maupun di pemerintahan. Salah satu hal yang perlu disoroti
misalnya revisi UU MD3. Pasal-pasal yang disahkan telah menuai kontroversi
publik, misalnya terkait dengan niat DPR untuk memperkuat dirinya dan kesan
'bagi-bagi' jabatan pimpinan.
Persoalan politik lain
yang juga perlu dibahas ialah UU Pemilu, khususnya terkait aturan presidential
threshold. Ketentuan ini tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum (UU Pemilu), tepatnya dalam Pasal 222 yang berbunyi, 'Pasangan calon
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang
memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah
secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya'.
Terdapat beberapa
kejanggalan dan kesalahan paradigma dalam penerapan presidential threshold,
khususnya dalam satu bangunan pemilu serentak. Pertama, Pasal 6A ayat (2) UUD
1945 yang berbunyi 'Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum
pelaksanaan pemilihan umum' telah menyiratkan bahwa sistem pemilihan presiden
dan wakil presiden di Indonesia tidak mengadopsi sistem ambang batas pencalonan
kendati MK nyatakan sebagai open legal policy.
Dengan menyelami
logika MK yang demikian, pada dasarnya, dalil open legal policy dapat
terpatahkan dengan menafsirkan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 sebagai
constitutional rights partai politik atau gabungan partai politik dalam
mengusulkan calon presiden dan wakil presiden yang akan memperjuangkan aspirasi
politik partai tersebut. Ketentuan yang bersifat open legal policy bukan
merupakan diskresi pembentuk undang-undang yang bersifat bebas tanpa batas.
Ketentuan tersebut tidak sepatutnya menghilangkan hak konstitusional yang telah
terjamin dalam konstitusi.
Secara faktual,
terdapat lima partai politik baru yang sudah terverifikasi sebagai peserta
Pemilu 2019 yang terlanggar hak konstitusionalnya untuk mengajukan calon
presiden dan wakil presiden akibat presidential threshold, yakni Partai
Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai
Berkarya, Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda), dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Constitutional rights
pun tidak dapat direduksi dalam cakupan peraturan perundang-undangan yang lebih
rendah daripada UUD, dalam hal ini UU. Seyogianya, ketentuan demikian diatur
secara langsung dalam konstitusi, sebagai bagian dari constitutional
engineering atau rekayasa konstitusional untuk mencapai tujuan tertentu.
Memberantas korupsi
dengan sinergi
Pemberantasan korupsi
merupakan amanat reformasi yang masih menjadi persoalan bersama bangsa.
Pascareformasi, gelombang ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum,
yakni kepolisian dan kejaksaan, semakin meningkat. Banyak kritik yang
dilemparkan kepada kedua lembaga tersebut karena pemberantasan korupsi tidak
dilaksanakan secara optimal, efektif, dan efisien sehingga membutuhkan suatu
lembaga independen baru yang dapat meningkatkan profesionalitas, intensitas,
dan kesinambungan pemberantasan korupsi yang telah merugikan keuangan negara,
perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu,
dibentuk KPK sebagai lembaga khusus yang menangani pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Perjalanan
pemberantasan korupsi tidaklah mudah. Sejak awal pembentukannya, hingga saat
ini, KPK sering kali berada pada posisi yang disikut kanan dan kiri oleh
pihak-pihak yang dulunya meraja. Keberadaan KPK dapat dikatakan sebagai ancaman
bagi tikus-tikus yang menggerogoti kue keuangan negara. Misalnya, pascaterkuaknya
kasus megakorupsi KTP-E yang melibatkan banyak anggota DPR, termasuk Ketua DPR
Setya Novanto, KPK cukup berada pada posisi yang tersudutkan. DPR sebagai
lembaga politik menggunakan alat politiknya untuk mengintervensi KPK melalui
pemberian hak angket kepada KPK.
Dalil dilayangkannya
hak angket kepada KPK ialah terkait dengan pengawasan terhadap KPK dan mencegah
agar KPK tidak menjadi lembaga yang superpower. Pelaksanaan hak angket pun
menjadi perdebatan di kalangan intelektual hukum tata negara sebab sejatinya,
hak angket ditempatkan sebagai mekanisme pengawasan lembaga legislatif terhadap
lembaga eksekutif, dalam hal ini presiden sebagai kepala pemerintahan.
Sementara itu, KPK digolongkan sebagai lembaga independen (independent agency)
yang menjalankan fungsi eksekutif, tetapi tidak di bawah naungan lembaga
eksekutif, seperti kepolisian dan kejaksaan.
Bukan hanya itu, MK
pun turut memberikan legitimasi terhadap hak angket kepada KPK melalui Putusan
MK Nomor 40/PUU-XV/2017. MK menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari lembaga
eksekutif. Oleh karena itu, KPK dapat menjadi objek hak angket DPR sebagaimana
diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3. Dalam perkara ini, MK telah meninggalkan
presedennya. Dalam putusan sebelumnya, yakni Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006,
Putusan MK Nomor 19/PUU-V/2007, Putusan MK Nomor 37-39/PUU-VIII/2010, dan
Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, MK secara jelas menegaskan bahwa KPK adalah
lembaga independen yang fungsinya terkait dengan kekuasaan kehakiman sebab MK
menjalankan fungsi penyidikan dan penyelidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, konsistensi MK dalam hal ini sangat perlu dipertanyakan.
Melihat kasus di atas,
komitmen negara dalam memberantas korupsi memang masih perlu dipertanyakan.
Apabila melihat hasil Corruption Perceptions Index 2017 yang dipublikasikan
Transparency International, Indonesia menempati peringkat ke-96 dari 180 negara
dengan skor 37, yang stagnan sedari tahun lalu. Di posisi ke-96, Indonesia
harus bersanding dengan Brasil, Kolombia, Panama, Peru, Thailand, dan Zambia.
Situasi yang jalan di
tempat ini tidak diakibatkan ketiadaan perangkat hukum dan penegak hukum,
tetapi ketiadaan political will dari tiap cabang kekuasaan untuk menyelesaikan
permasalahan korupsi yang sudah akut dan mengakar sebab sangat kemungkinan
pihak-pihak tersebut juga terlibat sebagai aktor intelektual di balik kejahatan
ini.
Ke depan, keseriusan
pemerintah dalam pemberantasan korupsi masih di nanti. Tanggung jawab
pemberantasan korupsi semestinya tidak hanya dibebankan kepada KPK, tetapi juga
kepada dua lembaga penegak hukum lainnya, yaitu kepolisian dan kejaksaan.
Sinergi di antara tiga lembaga ini sangat penting untuk memperkokoh benteng
pemberantasan korupsi dan menimbulkan efek jera bagi mantan pelaku dan calon
pelaku. Hal itu dapat dimulai dari pembenahan internal pada badan kepolisian
dan kejaksaan sebab kedua lembaga itu masih mendapatkan stigma dari masyarakat.
KPK juga bukan lembaga
malaikat yang tidak luput dari kesalahan, KPK pun perlu diawasi. Ke depan,
rekrutmen KPK harus dapat menjaring pihak-pihak yang kompeten dan tidak
mengantongi agenda politik apa pun, demikian pula anggota panitia seleksi yang
bertugas melakukan fit and proper test pada calon petinggi komisi antirasywah.
Penanganan kasus korupsi pun harus dilakukan tanpa tebang pilih. Siapa pun
orangnya dan apa pun jabatannya harus ditangkap dan diadili apabila terjerat
kasus korupsi. Jangan sampai, praktik korupsi yang dimaklumi terus-terusan
sampai menggerogoti istana dan berlindung di balik dinding istana.
The right person on
the right place
Agenda-agenda
reformasi hukum sebagaimana penulis paparkan pada bagian sebelumnya tidak
mungkin berjalan dengan baik tanpa dibarengi dengan menempatkan orang-orang
yang berintegritas, cakap, dan memiliki kepemimpinan yang mumpuni untuk
ditempatkan menjadi pembantu-pembantu presiden dalam menjalankan tugas sebagai
kepala pemerintahan kelak. Terlepas siapa pun presiden dan wakil presiden yang
terpilih, kabinet harus diisi calon-calon menteri yang memenuhi tiga kriteria
di atas dan tidak bisa ditawar lagi. Penunjukan menteri merupakan hak
prerogatif presiden sehingga presiden harus betul-betul wawas terhadap rekam
jejak para individu yang akan direkrut.
Sekali lagi,
mudah-mudahan, siapa pun yang terpilih dalam Pilpres 2019 nanti, dia ialah
sosok yang tercerahkan dan mencerahkan. Pemerintah sekarang telah bekerja,
tetapi masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.
Dalam kerangka
peraturan perundang-undangan, yang tidak kalah penting ialah pembenahan
undang-undang yang berkaitan dengan politik, misalnya UU MD3 dan UU Pemilu.
Kedua undang-undang ini sangat bersentuhan dengan kepentingan aktor politik
baik di parlemen maupun di pemerintahan.
Sumber: Media Indonesia, Selasa, 18
Desember 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!