Oleh Max Regus
Doktor lulusan
Universitas Tilburg, Belanda;
Pengajar Universitas Katolik Indonesia (UKI) St
Paulus, Ruteng, Flores
REKONSILIASI, tidak terbantahkan, menjadi salah satu,
jika tidak hendak menyebutnya, sebagai satu-satunya kebutuhan fundamental kita
saat ini. Jalan ini niscaya diambil karena kita telah lalai menjadikan Pemilu
2019 sebagai aras utama pembangunan peradaban politik bersama.
Kompetisi politik
ini sudah berubah menjadi ajang perkelahian, momentum saling lempar makian,
serentak tukar-menukar’ kebencian. Kondisi ini juga menyeret publik dalam arus
permusuhan sosial mencemaskan.
Di titik itu,
seperti Editorial Media Indonesia,
“Jokowi, Prabowo Bertemulah” (24/5/2019), kita tidak hanya membutuhkan sebatas
rekonsiliasi. Kita perlu menggagas proses rekonsiliasi yang bermuatan
keteladanan.
Dengan makna ini,
apa yang bisa dikerjakan tidak hanya bersifat formalitas, perjumpaan antarelite
sambil menikmati secangkir teh kepalsuan, melainkan sebuah terobosan radikal
dalam menanggalkan gunungan egoisme politik-kekuasaan demi merumuskan jalan
'konsolidasi Keindonesiaan'.
Trauma politik
Kini, kita sedang
berdiri di hadapan sebuah pemandangan politik, membentang luas seolah tanpa
ujung, dengan anyir kekerasan yang melumurinya. Tidak terhindarkan, kemenangan
dan kekalahan terpahat sebagai dua sisi bertentangan dari proses politik ini.
Kubu Joko
Widodo-Maruf Amin (01) bersorai-sorak dalam kemenangan. Hanya sedikit perayaan
di sejumlah pelosok Nusantara. Kubu Prabowo-Sandiaga Uno (02),
sekurang-kurangnya, berdasarkan perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU),
menderita kekalahan.
Melampaui dua sisi
ini, ada hal yang patut dikemukakan dan diangkat ke permukaan. Hal itu tentang
seberapa mencemaskan apa yang bisa kita sebut sebagai trauma politik yang
mengitari proses politik itu. Hal ini tidak dialamatkan kepada kubu yang kalah
saja. Kekalahan yang menyisakan luka politik berkepanjangan. Sama sekali tidak
hendak diasosiasikan dengan Kubu 02 yang kemungkinan menelan kekalahan dalam
Pilpres ini.
Sementara, Kubu 01,
terutama Jokowi secara pribadi, juga menghadapi tuduhan dan fitnahan yang
mengular tiada akhir. Hal ini bisa pula menumbuhkan pengalaman politik
traumatis yang tidak terlupakan. Hampir tidak ada hari di mana layar media
sosial hadir tanpa hujatan dan caci maki kepada Jokowi sebagai seorang
presiden. Jokowi barangkali akan mengenang kepemimpinan politik nasional, yang
ada di bawah kendalinya, sebagai sesi sejarah paling menggetarkan serentak
melukai.
Kristalisasi
'perang politik' elitis dalam pemilu ini, pada sisi lain, secara langsung
seolah menyegarkan kembali trauma sosial-politik dalam sejarah kita. Ketegangan
politik pada hari–hari ini juga melibatkan sebagian dari mereka yang berada di
sekitar hari-hari mencekam di tahun 1998.
Dan, betapa begitu
mudahnya ingatan akan kekejian itu muncul kembali. Dijadikan peluru yang
ditembakkan ke pusat kenangan publik untuk mengorek kembali trauma politik.
Ternyata, kita memang tidak bisa menyembuhkan trauma sosial politik dengan
bantuan sekian banyak elite politik yang ambisius.
Kenegarawanan
Sikap kenegarawanan
(Statesmanship) dianggap sebagai salah satu simpul harapan kita saat ini. Tentu
tidak mudah. Demokrasi prosedural tahun 2019, yang sebagian besarnya sudah
hampir usai, menelan biaya yang tidak kecil. Salah satu pertanyaan kuantitatif
fundamental ialah berapa banyak negarawan lahir dari rahim Pemilu 2019 ini?
Kemudian, sebuah
pertanyaan kualitatif substansial yang tidak kalah penting, seberapa dalam
kadar ‘kenegarawanan’ elite politik kita di seputaran kompetisi politik
prosedural ini? Pertanyaan-pertanyaan ini secara spesifik dan etis diarahkan
pada pemilihan presiden-wakil presiden (pilpres) sebagai satu bagian paling
krusial Pemilu 2019.
Dimensi
prosedural-administratif tidak lebih dari sekadar alat untuk implementasi
ideologi politik. Ciri pemerintahan demokratis modern tampaknya hanya
didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi yang merujuk pada pembentukan
prosedur dan perangkat administratif untuk pemberlakuan prinsip-prinsip dasar
demokrasi. Dimensi prosedural, melalui
Pemilu 2019, begitu penting.
Namun, dalam
kondisi kerapuhan sosial sebagai imbas pertarungan politik ambisius seperti
sekarang ini, kearifan politik menempati titik paling mendasar. Kenegarawanan
dalam makna semacam ini menjelaskan posisi elite politik yang dengan rela
memperlihatkan rasa tanggung jawab untuk menempatkan substansi penyelesaian
kebuntuan politik di atas dimensi prosedur demokrasi (Levitan, 2018).
Sisi tanggung jawab
sosial-politik kelas elite mendefinisikan aspek kepemimpinan moral mereka. Ini
baru menjadi salah satu aspek dasar dari kenegarawanan politik. Lebih jauh,
kemampuan untuk bergulat dengan situasi yang ambigu untuk menyelamatkan
kepentingan publik merupakan ciri lain sikap kenegarawanan.
Sama sekali tidak
bisa dikatakan sebagai sikap kenegarawanan ketika elite politik menjalani
dimensi prosedural-administratif proses politik ini dengan melontarkan
ketidakpercayaan, intimidasi, dan kesombongan kepada institusi-institusi formal
negara. Eskpresi sikap kenegarawanan yang paling sederhana niscaya ada dalam kesediaan
menahan diri untuk memperlihatkan keangkuhan dan pemaksaan kehendak
(Newswander, 2012).
Konsolidasi
Desakan untuk
menggagas “konsolidasi Keindonesiaan” dialamatkan kepada elite politik kita
sesudah benturan (clash) dan kerusuhan pada 21-22 Mei lalu. Mereka diminta
untuk mengambil jalan menikung yang sifatnya ‘segera’ menuju pembangunan
kembali mosaik persaudaraan kebangsaan.
Harapan ini muncul
bersisian dengan rasa jengah warga politik menyaksikan ‘baku pukul’ politik
antarelite yang sepertinya belum juga akan usai dalam waktu singkat. Rakyat
(publik) secara perlahan mulai meninggalkan dua titik yang memisahkan mereka
secara brutal selama ini.
Dua hal fundamental
mesti dilakukan kelas elite kita. Pertama, di satu sisi, dua kubu politik ini
harus mau menyelesaikan ‘ganjalan’ politik mereka di ranah hukum (Mahkamah
Konstitusi) secara elegan. Mereka tidak perlu melibatkan publik untuk tujuan
kasar.
Kedua, di sisi
lain, ketidakstabilan politik kita adalah kerentanan serius. Situasi ini
sebagiannya bisa diselesaikan melalui proses konsolidasi yang dilalui elite
politik secara sukarela.
Dua sisi ini akan
menentukan bobot kenegarawanan elite politik. Tindakan politik yang
merefleksikan kualitas ‘kebijaksanaan’ elite kita adalah kerelaan bergerak
melampaui perolehan elektoral mereka.
Sumber: Media Indonesia, 29 Mei 2019

0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!