Pertanyaan-pertanyaan
ini merupakan kewajaran, sebab Ulil dikenal luas sebagai tokoh utama gerbong
liberalisme Islam di Indonesia, pelopor lahirnya Jaringan Islam Liberal (JIL).
Namun sekarang,
kesan itu seolah sirna, lenyap dengan sendirinya. Ulil yang dulu lantang
menyuarakan pemikiran-pemikiran Islam kritis, hermeneutika Alquran,
memperkenalkan pemikir-pemikir Islam kontemporer, advokasi hak-hak minoritas
yang tertindas, sekarang justru lebih memilih “pasif”, cenderung menarik diri
dari isu dan wacana aktual itu, sibuk oleh kopi darat (kopdar) ngaji online, di
mana ia bertindak sebagai lurah pondok.
Pada diri Ulil yang
kekinian, tidak lagi dijumpai pernyataan-pernyataannya yang seperti pada tahun
2002 menulis di Harian Kompas, “Islam bukan sebuah monumen mati yang dipahat
pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai “patung” indah yang tak boleh
disentuh tangan sejarah… Sudah saatnya suara lantang dikemukakan untuk
menandingi kecenderungan ini.”
Apakah Ulil
benar-benar bertransformasi, memasuki fase sufistik, atau ada yang
bertanya-heran dalam bahasa teologis, apakah ia “bertaubat”? Menurut saya, dari
aspek pemikiran, tidak ada yang berubah dari Ulil, min utan kayu ila era
fesbukiyah (dari masa-masa di Utan Kayu hingga era facebook). Yang berubah
hanyalah metode dan objek kajiannya saja. Persis seperti yang dikritik oleh A.
Mustofa Bisri (Gus Mus) kala itu, yang mempersoalkan cara menantunya itu dalam
menyampaikan pikiran, tetapi secara substansial masih bisa diterima.
Kontroversi dahsyat
yang ditimbulkan oleh Ulil, hingga pernah difatwakan halal darahnya oleh Ketua
Forum Ulama Umat Islam (FUUI), KH. Athian Ali, berbanding terbalik dengan
kondisi sekarang. Ulil terlihat lebih soft mengemukakan pendapat-pendapatnya,
tidak lagi memilih konfrontasi langsung dengan mereka yang berbeda pandangan,
terlihat lebih bijak dan “dewasa”. Kok bisa?
Ulil pendengar dan
pembaca yang baik. Dugaan saya, ia mengamalkan pesan Gus Mus, saat dulu diminta
pendapat mengenai kecaman dari banyak orang kepada menantunya itu. Gus Mus
mentolerir pemikiran Ulil dengan catatan, yang penting jangan berhenti membaca.
Buku Menjadi
Manusia Rohani, mestinya diberi pengantar oleh Gus Mus untuk mengetahui
dinamika pemikiran Ulil dari jarak dekat. Berawal dari keputusannya di tahun
2015 Ulil mengaji secara online kitab al-Hikam, karya Syekh Ahmad Ibnu Muhammad
Ibnu Atha’illah As-Sakandari atau lebih dikenal Ibnu Atha’illah, seorang ulama
sufi legendaris dari Mesir, yang hidup pada abad ke-13, membuat publik terkejut—meski
keterkejutan ini sebenarnya ahistoris jika tahu latarbelakang pendidikan Ulil
yang merupakan perpaduan antara santri-tradisional dengan pelajar-modern. Dan
Ulil, menurut pengakuannya, sangat menikmati “sihir” teks al-Hikam (hlm. xii).
Ibnu Atha’illah
merupakan mursyid (guru) generasi ketiga dalam lingkaran tarekat Syadziliyah
setelah Abu al-Hasan al-Syadzili (pendiri) dan Abu al-Abas al-Mursi (generasi
kedua). Ia dikenal luas sebagai seorang yang alim, bersih akhlaknya, dan luas
wawasannya, meliputi bidang fikih, kalam, hadis, dan tasawuf.
Di banding
karya-karya Ibnu Atha’illah yang lain, al-Hikam lebih populer dan banyak dikaji
serta disyarah oleh ulama, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Ibad al-Rasyid
Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad Ibnu Ajiba. Sementara di Nusantara, ada
KH. Sholeh Darat, mahaguru dari ulama-ulama generasi pertama seperti KH. Hasyim
Asy’ari dan KH. Ahmad Dahlan.
Nama Ulil akan
dicatat sejarah sebagai orang Indonesia yang berhasil melakukan syarah kepada
kitab al-Hikam, meski hanya 50 bait, jauh di bawah KH. Sholeh Darat yang
mencapai 137 bait, dua pertiga dari keseluruhannya. Dalam menjelaskan aforisme
al-Hikam, Ulil tetap berpegang pada apa yang telah ditulis oleh Ibnu Ajibah,
sambil juga melakukan improvisasi bahasa yang lebih aktual dan mileneal,
sehingga penjelasannya pun terasa kontekstual.
Tentang bait ke-11
misalnya, Ibnu Atha’illah menulis, idfun wujudaka fi ardhi al-khumul fama
nabata mimma lam yudfan la yatimmu natajahu (kuburlah dirimu di dalam bumi
ketidak-nampakan, sebab sesuatu yang tumbuh dari benih yang tidak ditanam di
balik ketidak-nampakan tidak akan sempurna buahnya. Apa makna dari aforisme
ini?
Ulil menafsirkannya
dengan sangat tepat, bahwa itu kebijaksanaan yang berlaku baik dalam kehidupan
sufistik maupun kehidupan sehari-hari. Keberhasilan usaha seseorang biasanya
dimulai dari tahap-tahap awal yang tersembunyi, ketekunan yang tak terlihat oleh
orang banyak, dari tahap khumul, seperti dikatakan oleh Ibnu Atha’illah. Tanpa
tahap ini, yang muncul adalah kesuksesan instan yang tak tahan lama (hlm. 73).
Sampai di sini,
menyebut Ulil seorang liberal di masa lalu dan sekarang bagi saya sangat
problematis. Liberal dari mana? Berbeda pendapat mengenai persoalan tertentu,
yang meskipun oleh banyak orang dituduh keluar dari mainstream, tidak secara
otomatis disebut liberal. Aktivitas berpikir secara radikal merupakan
kreativitas yang abstrak, dan karenanya tidak bisa diberi hukuman, apalagi
dianggap berdosa, sehingga menyatakan Ulil telah bertaubat tidaklah logis.
Justru apa yang
dilakukan oleh Ulil sekarang, ngaji kitab sufi, merupakan pengkayaan khazanah,
bagian dari ardhi al-khumul, yang semula berdimensi rasional, disempurnakan
oleh unsur spiritualitas di dalam dirinya. Situasi ini, memang, sedikit berbeda
dengan saat dirinya berada di puncak rasionalitas, mempopulerkan Islam liberal.
Dan saya, pecandu
berat baca tulisan-tulisan Ulil sejak di pesantren. Soal setuju atau tidak,
urusan lain. Kala itu, saya sering baca via rubrik Kajian Utan Kayu di Harian
Jawa Pos. Cara membacanya juga sembunyi-sembunyi. Maklum, pengasuh pondok
kurang merestui.
Karena itulah,
meski saya sadar “perubahan” pada Ulil seperti sekarang, saya tetap rindu
dengan tulisan maupun retorika lisannya era Utan Kayu, hehehe.
(Peresensi: Ali
Usman, Menulis tema-tema agama dan politik;
Pengurus Lakpesdam PWNU DIY).
Pengurus Lakpesdam PWNU DIY).
Sumber: alif.id, 4 Juli 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!