Menuju
Polri yang Demokratis dan Profesional
Oleh
Wahju Prijo Djatmiko
Doktor Ilmu Hukum Pidana Undip
Semarang;
Praktisi hukum
SEJAK awal
kelahirannya, 1 Juli 1946, hingga terbitnya Ketetapan MPR No VI/MPR/2000
tentang pemisahan TNI dan Polri, wajah, watak, serta kultur Polri mulai berubah
menjadi sosok polisi sipil yang ideal. Dalam setiap upaya penegakan supremasi
hukum, penguatan HAM, dan pelayanan publik, pengawalan demokrasi, Polri acapkali
berada pada posisi yang rumit.
Posisi yang kadang
membuat hubungannya dengan sebagian masyarakat terganggu, dan berisiko konflik.
Sebagian masyarakat memang masih terjebak pemahaman masa silam yang senantiasa
melihat Polri sebagai alat kekuasaan dan alat kepentingan penguasa. Perubahan
paradigma Polri yang sungguh-sungguh sebagai social control institution dan social
problem solver belum bisa dirasakan sepenuhnya oleh sebagian masyarakat.
Kerja keras Polri dalam mengubah diri dianggap masih belum memenuhi harapan
mereka.
Dari sisi
pelaksanaan penegakan hukum, sebenarnya Polri cenderung sudah mengurangi
strategi manipulatif (menguasai orang lain) dan kompetitif (melawan orang
lain). Polri mulai bersifat integratif (bersama orang lain) dalam mengupayakan
terwujudnya keamanan insani dan publik serta keamanan dan pertahanan negara.
Aplikasi tugas penegakan hukum dalam ranah integratif mengandung pemahaman
bahwa dalam internal Polri harus ditumbuhkembangkan suasana demokratis dan
profesional.
Polri yang
demokratis
Penumbuhan suasana
demokratis dalam internal Polri dapat dicapai dengan baik dengan
dilaksanakannya fungsi pengawasan internal (Irwasum, Propam, dan para kepala
kesatuan) dan eksternal (Kompolnas) yang sungguh-sungguh agar setiap insan
Polri tak melakukan penyimpangan dari ketentuan yang diamanatkan dalam
mengemban tugas profesi mulianya.
Keluar, Polri harus
menempatkan diri sejajar masyarakat, tak lebih tinggi, tak lebih rendah dan tak
merasa dirinya superbody. Sebagai
konsekuensi logis dari posisi kesetaraannya dengan masyarakat, adanya suasana
aman dan terciptanya ketertiban publik harus dicapai dan didasarkan supremasi
hukum, transparansi, keterbukaan, pembatasan dan pengawasan kewenangan yang
melekat, tegaknya HAM dan mendasarkan pelayanannya pada kebutuhan masyarakat.
Semua anggota Polri
wajib tunduk dan patuh pada hukum. Sebagai alat negara yang berperan memelihara
kamtibmas, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan pada masyarakat dalam rangka terpeliharanya kamdagri (Pasal 5 Ayat
(1) UU No 2/2002 tentang Polri), Polri diharapkan memberikan contoh bahwa
secara internal suasana demokratis telah dijadikan landasan pengembangan hidup
organisasinya. Setiap individu Polri diharapkan mampu membuktikan diri dan jadi
teladan bahwa ia tunduk dan patuh hukum.
Polri yang
demokratis secara aplikatif dapat diwujudkan melalui tumbuhnya model
kepemimpinan servant leadership
dengan berpijak pada pedoman hidup yang sesuai dengan Tribata dan Catur
Prasetya. Para kepala kesatuan inilah motor penggerak luar biasa yang secara
kolektif akan mampu membangun Polri sebagai institusi demokratis dan kuat yang
dapat jadi contoh bagi entitas organ negara lain, sebagaimana harapan Kapolri
untuk menjadikan Polri yang strive for
excellence and thrive excellence.
Polri yang
demokratis, dalam aplikasi tugas pengabdiannya menuntut adanya kesesuaian
antara fungsi pemolisiannya dengan prinsip-prinsip HAM. Tugas penegakan hukum
yang diemban dalam rangka menciptakan kondisi kamtibmas harus berjalan seimbang
dan seiring kebebasan HAM. Di samping menjaga tegaknya prinsip HAM, Polri
semestinya mendorong terjaminnya hak ekonomi sosial masyarakat dan jadi garda
terdepan dalam turut membangun terwujudnya civil
society ideal.
Keberhasilan
kinerja kepolisian ditentukan oleh publik. Masyarakatlah tolok ukur yang paling
valid dalam menilai kinerja Polri sesuai misi dan visinya.
Polri yang
profesional
Makna terpenting
reformasi Polri adalah upaya yang menonjolkan fungsi Polri sebagai pelayan
masyarakat di samping penjaga ketertiban dan penegak hukum. Reformasi ini
memang tengah dan terus berjalan secara sistematis dan terarah menuju Polri
yang profesional dan humanis. Reformasi dilakukan lewat mekanisme perubahan
secara instrumental, struktural, dan kultural. Perubahan instrumental dan
struktural akan dapat dilaksanakan secara komprehensif dan tuntas oleh Polri.
Namun, perubahan
secara kultural merupakan persoalan yang memakan waktu dan butuh keseriusan
serta komitmen kuat dari pemerintah, Polri maupun masyarakat. Mengubah Polri
menjadi institusi pelayanan bukanlah pekerjaan mudah. Dari 73 tahun usianya,
sebagian dari sosoknya masih dianggap sebagai organisasi yang eksklusif.
Untuk menguatkan
peran Polri sebagai organisasi pelayan masyarakat yang profesional, Thesa
Albert J Reiss Jr (The Police and the
Public, The Terry Lectures, 2009) yang semestinya diwujudkan. Pertama,
untuk mewujudkan Polri yang sadar akan perannya sebagai pelayan, penjaga, dan
pelindung masyarakat (the legalistic
abusive officer) dipandang perlu dilaksanakan proses upgrading yang berkesinambungan terhadap setiap anggota Polri.
Upgrading ini
meliputi ranah pemikiran, penampilan, dan keterampilan Polri sebagai pelayan
serta pelindung sosial yang profesional dan humanis. Karena bintara Polri
merupakan unsur terbesar di organisasi Polri dan ujung tombak pelayanan pada
masyarakat, sudah selayaknya fokus upgrading terutama diperuntukkan jenjang
bintara.
Kedua, membentuk
insan polisi yang menjalankan tugas pengabdiannya berdasarkan ketentuan hukum
dan peraturan-peraturan yang ada. Polisi hanya menjalankan norma hukum yang
melingkupi peran tugas pengabdiannya (the
task officer). Kultur tugas pengabdian Polri semestinya jauh dari demi
kepentingan pribadi, golongan ataupun penguasa. Polri berada di
"tengah" ketika masyarakat berselisih, jadi penyeimbang dalam konflik
antara mayoritas terhadap minoritas, bahkan menjadi liaison antara pemerintah
dan masyarakat.
Ketiga, Polri
senantiasa berorientsi pada upaya membantu memecahkan persoalan pada
masyarakat, yang tak kaku dalam menerapkan asas kepastian hukum (legal certainty), tetapi lebih berpijak
pada asas kemanfaatan hukum (legal
benefit) demi terwujudnya tertib dan harmoni sosial. Untuk itu, Polri
sepatutnya lebih berfokus meningkatkan kualitas dan kuantitas keberhasilan soft output-nya. Soft output adalah keberhasilan tugas Polri yang berkaitan dampak
psikologis pada masyarakat, seperti rasa aman, rasa puas, rasa nyaman, dan
terwujudnya tertib sosial.
Sehingga bagaimana
tingkat responsif Polri merespons laporan masyarakat atas adanya kecelakaan,
keributan, kejahatan, kebakaran merupakan isu yang sangat strategis. Keberhasilan
tugas Polri yang berhubungan dengan banyaknya perkara yang diungkap, jumlah
tersangka yang ditangkap, merupakan hard output dari kesuksesan tugasnya.
Sebagai Polri yang profesional dan demokratis, tolok ukur keberhasilan tugasnya
bukanlah hanya dari sudut pandang hard output-nya saja melainkan lebih pada
sisi soft output-nya.
Sumber: Kompas, 4 Juli 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!