BEBERAPA tukang
bakso duduk lesehan di sebuah kamar kos kecil dan sederhana di daerah
Cililitan, Jakarta Timur. Mereka ngobrol ngalur ngidul sembari ngopi dan
ngeteh. Kamar kos itu disewa Boni Hargens. Di situ Boni tinggal dan menunaikan
tugasnya sebagai pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas
Indonesia. Pun menjadi pembicara di berbagai pertemuan jika diundang. Saya
mampir di kos Boni setelah diajak minum kopi asli Manggarai, kampung
halamannya.
"Kami ngga tau
mas Boni kerja di mana. Kayanya tukang bakso juga. Kami disuruhnya jualan
bakso. Dia yang kasi modal dikit buat jualan bakso. Kalau da pulang kos, kami
nongkrong di sini. Kalau omong agama, tau banyak orang itu. Asyik kalau
ngobrol. Mungkin nyantri juga. Kalau kami mudik Lebaran mas Boni suka kasi duit
buat beli aqua di jalan," kata seorang tukang bakso. Saya mendengar
testimoni mereka. "Saya security. Sekarang lagi off. Besok baru
dinas," jawab saya sekenanya atas pertanyaan seorang tukang bakso apa
kerja saya. Ya, saya pernah ditawarkan jadi security di sebuah sekolah Katolik
di sekitar Kampung Ambon, Rawasari, Jakarta Timur.
Saya mengenal Boni
Harges dari analisa politik di Harian Kompas. Bertemu pertama kali langsung
akrab. Beberapa kali saya meminta tanggapan dan pendapat beliau. Awal saya dan
rekan Dion Pare diminta Pastor Frans Ndoi SVD menjadi kontributor Flores Pos di
Jakarta sejak koran harian milik SVD Ende itu terbit perdana, Boni menjadi
narasumber paling mudah saya minta pendapat.
Tatkala Pemerintah
Kabupaten Lembata berencana mengundang investor tambang emas di Kedang, pantai
timur Lembata dan Leragere Kecamatan Lebatukan, Boni juga hadir sebagai
akademisi membedah kebijakan politik soal itu di Ruang Kasuari
Hotel Aston Atrium, Senen, Jakarta, Rabu 22 Agustus 2007. Saya kira ia punya
kapasitas bicara soal mengapa Pemkab Lembata yang punya otoritas formal atas
rencana investasi tambang. Selain itu, hadir juga advokat kelahiran Manggarai,
Agustinus Dawarja SH, yang memberi masukan soal posisi pemangku ulayat bila
tanah masyarakat di wilayah prospek tambang dipakai investor nanti.
Saya ingat, pihak
Justice Peace of Integration for Creation Ordo Fratum Minorum (JPIC OFM)
Indonesia saat itu juga mengundang Bupati Lembata Andreas Duli Manuk hadir
sekadar warga Lembata di Jabodetak tahu mengapa pihak Pemkab Lembata begitu
getol dengan rencana investasi tambang di bukit Puakoyong dan Leragere di
tengah penolakan masif sebagian masyatakat dan pegiat lingkungan lokal.
"Saya pikir hanya ada satu hasil tambang yang nanti dinikmati langsung.
Bupati dan para pejabat gonta ganti jas. Sarapan di kampung, makan siang di
Jakarta dan masuk toilet di Singapura. Itulah hasil langsung tambang,"
kata Boni Hargens.
Sejumlah mahasiswa
asal Lembata kala itu langsug tersulut emosi. Beberapa spanduk yang ditulis
dalam kertas yang disembunyikan dalam baju langsung dikeluarkan. Mereka meminta
Bupati Lembata langsung menyatakan membatalkan rencana investasi tambang.
Mereka mengatakan, investasi tambang hanya modus baru memperkaya oknum pejabat.
Hasil langsung tambang seperti yang disampaikan Boni Hargens. Suasana ricuh
(https://ansel-boto.blogspot.com/…/pertemuan-kbl-dengan-bupa…). Nyaris adu
jotos antara beberapa orang yang mengawal Bupati Manuk. Sesepuh Lembata
kelahiran Desa Imulolong, Wulandoni, Brigjen Pol Drs Anton Enga Tifaona mencoba
melerai beberapa mahasiswa yang protes pun tak digubris. Pertemuan akhirnya
dihentikan karena Bupati merasa dipermalukan.
Sejak itu Boni
menjadi salah satu narasumber yang selalu saya minta pendapat. Rasanya seperti
jadi saudara. Ia juga sangat gaul. Kerap pula membuat heboh jagad politik tanah
Air. Wajahnya familiar di layar kaca sebagai analis politik yang brilian. Buku
karyanya, Sepuluh Dosa Politik kian melambungkan namanya. Sejumlah elite
politik marah tatkala buku karyanya itu terbit. Salah satu bukunya, Trilogi
Dosa Politik langsung ludes diburu pembeli. "Saya cuma punya satu. Kalau
mau mampir di kos. Saya kasi tuk baca dan memahami apa makna 'dosa' dalam
politik. Biar tak melulu memahami dalam konteks agama," kata Boni kepada
saya. Buku Trilogi Dosa Politik saya resensi dan taro dalam blog pribadi
(http://ansel-boto.blogspot.com/…/resensi-dosa-politik-sbyjk…).
Suatu waktu kami
janjian bertemu. Melalui pesan singkat Boni meminta saya segera meluncur ke
Gedung LKBN ANTARA di selupar silang Monas. Wawancara bisa dilakukan di
sela-sela suatu kegiatan. "Naik taksi saja. Kalau sampe di lobi, kabarin
saya agar ada teman jemput. Kita ngobrol saat jedah," katanya. Segera saya
merapat di lobi dan ditanya satpam apa keperluan saya. Setelah menghubungi
resepsionis, Boni sudah beranjak karena ada acara lain. "Maaf, lanjut saja
ke Dukuh Atas. Tadi saya langsung bergerak. Ini alamat kantor. Kita ngopi di
sini saja," kata Boni, eks frater Congregatio Immaculata Cordis Mariae
(CICM) atau Kongregasi Hati Suci St Perawan Maria.
Lama tak bersua,
Boni ternyata sempat ke Jerman. Ia melanjutkan studi di Humboldt University of
Berlin, Jerman. Janjian bertemu pun mulai jarang. Beberapa kali mengontak, ia
sudah berada di Amerika Serikat. "Main-main satu sua waktu dulu. Tapi
masih ke Jakarta juga. Pasti bisa bertemu kalau ada waktu," kata Boni,
analis politik kelahiran Manggarai, Flores. Saya juga tak bertanya lebih jauh
apakah selama di negeri pimpinan Presiden Donald Trump itu ia melanjutkan studi
doktor. Jawaban beliau merendah. Cuma satu dua waktu ke depan. Tapi pag tadi,
Boni menulis kabar gembira di akun pribadinya. Ia meraih gelar doktor di Walden
University, Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, dengan IPK 4.00.
Dalam disertasinya,
Boni mengawinkan teori oligarki dan kartel politik dalam judul Oligarchic
Cartelization in Post-Suharto Indonesia: Exploring the Legislative Process of
2007 Election Act atau dalam bahasa Indonesia, Kartelisasi Oligarki di
Indonesia Pasca-Soeharto: Mengupas Proses Legislasi UU Pemilu 2017 dan
mendapat apresiasi para penguji yang menilai disertasi itu “lengkap dan
memuaskan dari semua aspek”.
Dalam disertasi
itu, Boni, yang saat ini menjabat Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI)
mengatakan, kekuatan politik yang mengendalikan Indonesia setelah 1998 bukan
lagi oligarki murni atau kartel partai politik murni. Tetapi yang menguasai
adalah kekuatan baru yang merupakan hasil perkawinan silang antara keduanya,
yaitu kartel oligarkis. “Kartelisasi oligarkis adalah teori yang saya bangun
untuk menggambarkan bagaimana oligarki partai membangun kartel politik untuk
menguasai sumber daya negara demi kepentingan partai dan hegemoni okigarkis.
Jadi, ini koreksi terhadap teori-teori lama yang ada dalam mengkaji Indonesia
pasca-Suharto,” kata Boni.
Boni menjelaskan,
meskipun tetap ada kekuasaan partisipatif dalam proses itu, namun tidak ada
keseimbangan karena kontrol resmi terhadap politik tetap ada dalam kendali
oligarki politik. Kajian itu, berimplikasi bagi perubahan sosial, termasuk
mengingatkan anggota parlemen, pembuat kebijakan lain, dan kelompok masyarakat
sipil terkait begitu pentingnya memahami modus operandi kartel oligarkis. Hasil
studi ini akan menjadi referensi penting para aktivis prodemokrasi untuk
mempertahankan esensi ontologis dari partisipasi publik dalam praktik
berdemokrasi.
"Terimakasih
dukungn saudara/sahabat/kenalan sekalian. Puji Tuhan, selesai doktoral dengan
IPK 4.00 merupakan anugerah bukan karena kehebatan manusia. Meski selama ini
bolak balik Jakarta-Amerika dengan perjuangn keras karena kesehatan yang
menurun. Salam dari Paman Sam," kata Boni Hargens.
Meski saat ini Boni
tengah berada di bawah langit USA, ingatan saya masih menyasar kos beliau di
Cililitan tempo doeloe. Kos yang kerap jadi tempat nongkrong ia dan para tukang
dorong gerobak bakso sekadar mencari rejeki di belantara Jakarta. Saya ingat
catatan beliau tahun 2014 silam. Kata Boni Hargens, kalau tiap orang peduli
dengan orang di sekitarnya, minimal dengan satu orang saja, (maka) niscaya
seluruh umat manusia di dunia akan terikat dalam solidaritas sosial yang tak
terkalahkan.
Tak akan ada
terorisme, tak akan ada kapitalisme buas, tak akan ada perang senjata! Di
situlah lagu Lenon tepat diperdengarkan: "bayangkan bila tak ada negara.
bayangkan bila tak ada agama. bayangkan bila tak ada surga". Artinya,
kalau identitas agama, negara, dan lain-lain masih memisahkan kita dan
melahirkan perang antarkita, biarkan kemanusiaan dan "solidaritas
sosial" menyatukan kita. Karena sesungguhnya Sang Pencipta itu satu.
Ya, Tuhan sungguh
baik. Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Proficiat. Salam ke negeri
tuan Presiden Trump, kraeng Boni. Jejak perjuangan dan pengabdianmu di dunia politik
menginspirasi. Paling kurang buat anak-anak NTT dari kampung halaman di bumi
Flobamora.
Jakarta, 5 Desember 2019
Catatan Ansel Deri
untuk sahabat Boni Hargens yang meraih S-3 di Walden
University, Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, dengan IPK 4,0.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!