Oleh Zuhairi Misrawi
Cendekiawan Nahdlatul Ulama;
Analis di The
Middle East Institute
PERAYAAN Natal di Timur-Tengah selalu meriah dan penuh
suka cita. Semua warga turut merayakan, apapun agama mereka. Saya tidak pernah
mendengar ada polemik soal hukum mengucapkan selamat Natal di seantero
Timur-Tengah. Mereka terhanyut dalam suka cita Natal, karena di dalamnya ada
pesan kedamaian dan kebahagiaan. Mereka menjadikan Natal sebagai momentum
berbagi dalam solidaritas dan persaudaraan sejati.
Di Bethlehem,
Palestina, tanah kelahiran Yesus atau yang dikenal dengan Isa al-Masih dalam
khazanah Islam, Natal dirayakan oleh seluruh warga dengan penuh suka cita. Umat
Kristiani dari berbagai penjuru dunia juga turut serta dalam perayaan Natal di
Tepi Barat. Mahmoud Abbas sebagai Presiden Palestina juga hadir dalam misa
perayaan Natal. Sekali lagi, tidak ada ulama yang mengharamkan atau mengafirkan
Mahmoud Abbas.
Semua tahu dan
sadar, bahwa Yesus adalah warga Palestina. Ia lahir di tanah Arab, yang
memberkati agama-agama yang tumbuh sebelum dan setelah kelahiran Yesus.
Faktanya, agama-agama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama-agama
non-samawi bisa hidup berdampingan dengan damai di Timur-Tengah. Nama Yesus
sangat diagung-agungkan dalam kitab-kitab suci mereka. Bahkan, kita umat Islam
pun beriman kepada Isa al-Masih sebagai utusan Tuhan.
Yesus menebarkan
kasih di Timur-Tengah, dan memberi jalan bagi pertumbuhan Islam. Milad Hanna
dalam al-A'midah al-Sab'ah li al-Syakhshiyyah al-Mashriyyah menjelaskan betapa
Kristen Koptik menjadi saksi sejarah bagi masuknya Islam ke Mesir. Amr bin 'Ash
yang diutus oleh Umar bin Khattab untuk menjadi panglima dan pemimpin pada
waktu itu sama sekali tidak menghancurkan gereja dan situs-situs bersejarah
umat Yahudi. Buktinya, di Fustat, kota lama Mesir, kita bisa melihat gereja dan
sinagog tua yang sampai sekarang masih dipertahankan sebagai saksi sejarah,
betapa agama-agama samawi bisa hidup berdampingan dengan damai. Nama Mesir
dalam bahasa Inggris, Egypt, merujuk pada Kristen Koptik yang dalam bahasa Arabnya
dikenal al-Qibthiyyah.
Maka dari itu,
menurut para sejarawan, tidak tepat jika memahami Arab adalah Islam. Arab
adalah entitas kebudayaan dan agama-agama. Yahudi, Kristen, dan Islam adalah
agama-agama yang lahir di Arab. Yesus adalah orang Arab. Dan kita dengan mudah
mendengarkan orang-orang Kristen Arab menyebut kata: shalat, dzikir,
subhanallah, astaghfirullah, alhamdulillah, dan lain-lain.
Natal tahun ini
terasa sangat istimewa bagi warga Timur-Tengah, karena mereka bisa melaluinya
dengan suka cita, terbebas dari ancaman terorisme, khususnya ISIS dan al-Qaeda
yang sudah melemah pengaruhnya. Ancaman terorisme menjadi momok serius bagi
warga Kristiani di Timur-Tengah dalam beberapa tahun terakhir, karena mereka
tidak bisa merayakan Natal secara terbuka. Situs-situs bersejarah Kristen di
Suriah dan Irak dihancurkan oleh ISIS, termasuk gereja Kristen awal yang
didirikan oleh murid-murid Yesus.
Di Tepi Barat,
Bethlehem tahun ini menjadi tahun kegembiraan, karena situasinya lumayan
kondusif, meski situasi politik masih belum mendukung bagi kebebasan beribadah
akibat konflik dengan Israel yang makin tidak jelas juntrungannya. Tahun 2019
ada sekitar 1,9 juta wisatawan yang berkunjung ke Bethlehem, termasuk mereka
yang ikut merayakan Natal di kota kelahiran Yesus.
Di Jalur Gaza, yang
selama ini dikenal sebagai kota paling panas akibat gempuran rudal-rudal
Israel, warga pun turut merayakan Natal meski dalam bayang-bayang Israel. Pohon
Natal menjadi bukti warga ingin kasih Yesus hadir di tanah yang tak pernah damai
itu, karena meyakini Yesus tidak akan meninggalkan Gaza dalam suasana konflik
panjang.
Memang, perayaan
Natal di tanah Palestina tidak semeriah di beberapa kawasan Timur-Tengah
lainnya, karena Israel masih memberlakukan pengamanan ketat bagi warga Kristen.
Di Jerusalem, Israel memberikan izin perayaan Natal pada detik-detik akhir
karena khawatir dengan penumpukan massa. Suasana inilah yang menyebabkan warga
Kristen di Palestina selalu penuh waswas setiap menjelang perayaan Natal.
Maka dari itu,
hambatan perayaan Natal di Palestina bukan kaum radikal dan fatwa yang
aneh-aneh itu, melainkan Israel yang setiap saat sangat mengganggu aktivitas
keagamaan yang dapat mengumpulkan umat dalam jumlah besar, termasuk umat
Kristiani di Jerusalem, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.
Sedangkan perayaan
Natal di beberapa kawasan lainnya di Timur-Tengah cenderung meriah. Libanon
menjadi satu wilayah yang paling gegap-gempita. Maklum, umat Kristiani
merupakan warga mayoritas. Pohon-pohon Natal didirikan di depan masjid. Bahkan,
mereka mempunyai tradisi jamuan makan bersama di alun-alun kota. Di mana semua
umat agama-agama tumpah ruah menikmati makanan bersama sebagai rahmat Tuhan, di
hari kelahiran Yesus.
Di Libanon, Natal
menjadi momen kasih Yesus hadir di tengah-tengah umat, apapun agama mereka.
Saya berkhayal momen perayaan Natal seperti di Libanon ini juga bisa
dilaksanakan di Tanah Air, di mana Natal menjadi ekspresi kasih yang membangun
persaudaraan dan persahabatan di antara sesama warga.
Perayaan Natal di
Libanon tahun ini mempunyai makna empiris-profetis. Di tengah suasana politik
yang gonjang-ganjing, Natal menjadi momen membangun kesadaran, bahwa politik
pada hakikatnya mempersatukan dan mengedepankan kepentingan bersama. Mereka pun
hanyut dalam suasana Natal, libur sejenak dalam hiruk-pikuk politik dan
demonstrasi yang menghiasi ruang publik Libanon dalam dua bulan terakhir.
Di Mesir, Irak, dan
Iran, pun suasana Natal penuh suka cita. Ali Khomenei, Pemimpin Tertinggi Iran,
mengucapkan selamat Natal langsung kepada umat Kristiani Iran dengan mengundang
dan memberikan jamuan khusus kepada mereka. Imam Besar al-Azhar Mesir, Syaikh
Ahmed Tayyeb mengucapkan Natal secara langsung kepada Paus Fransiskus, Vatikan
dan kepada seluruh umat Kristiani. Kita melihat Mohammad Salah, bomber Liverpool
membuat pohon Natal di rumahnya, sebagai bukti suka cita Natal, yang tidak
hanya dirayakan oleh umat Kristiani, tetapi juga dirayakan oleh umat Islam.
Dengan demikian,
perayaan Natal di Timur-Tengah membuktikan betapa hubungan antara Islam dan
Kristen begitu erat. Mereka tidak hanya mengucapkan selamat Natal, melainkan
turut serta merayakan Natal. Sebab merayakan Natal tidak meruntuhkan keyakinan,
melainkan justru menjadikan pemahaman kita pada kasih Tuhan sangat kokoh, dan
semakin kuat.
Sumber: detik.com, 26 Desember 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!