Oleh Max Regus
Dekan FKIP Unika St Paulus
Ruteng, Flores, Nusa
Tenggara Timur
BERITA Injil paling populer, salah satunya, ketika Natal tiba,
ditulis Lukas, “Lalu kata malaikat itu kepada mereka, “Jangan takut sebab
sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa:
Hari ini telah lahir bagimu Juru Selamat, yaitu Kristus, Tuhan, di Kota Daud,“
(2:10-12).
Dalam bentangan
sejarah kekristenan, ini merupakan berita terbesar yang pernah diumumkan
kepada umat manusia. Tuhan Yang Mahakuasa memutuskan menjadi manusia.
Kenyataan historis
penting lain dari berita sukacita ini ialah kemunculan Betlehem sebagai salah
satu ‘titik sentral’ dari keseluruhan cerita kelahiran Yesus Kristus. Betlehem,
dari perspektif Alkitab Kristen, ialah tempat yang menentukan sejarah
keselamatan manusia. Kota ini, sejak sedia kala, sudah menjadi bagian utama
dari tuturan dalam Perjanjian Lama.
Ketika para nabi
berbicara tentang nasib bangsa Israel sebagai bangsa terpilih, Betlehem
berkali-kali disebut di sana. Berhubungan dengan kelahiran Yesus Kristus,
sejak dulu diberitakan bahwa dari Betlehem akan datang ‘seseorang’ yang akan
menjadi ‘tunas baru’ Israel. Dia akan menghadirkan keadilan sekaligus
keselamat-an bagi dunia. ‘Seseorang’ itu, meskipun akan hadir dengan tunas
keadilan di tangan-Nya, kedatangan-Nya di Betlehem tidak akan menampilkan kisah
kemewahan.
Paradoks Betlehem
Betlehem merupakan
tempat istimewa yang pernah ada dan akan terus tercatat dalam perjalanan
sejarah manusia. Hingga kini, jutaan orang dari seluruh dunia masih terus
membanjiri tempat spiritual ini. Bahkan, pada 2012, the United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization
(UNESCO) mendeklarasikan Gereja Kelahiran Tuhan Yesus dan jalur peziarah ke
Kota Betlehem sebagai warisan kebudayaan dunia.
Betlehem, sepanjang
sejarah keberadaannya, menghadirkan wajah paradoksal. Kota ini terus terkurung
dalam arena konflik Timur Tengah, di antara keajaiban Natal, sejak dulu hingga
sekarang--baik sejak masa ramalan para Nabi maupun hingga kelahiran Yesus
Kristus--Betlehem seolah terpenjara dalam aura konflik, kekerasan, dan
pertentangan.
Kota ini
dikelilingi perselisih-an politik, permusuhan agamawi, dan beroperasinya
mesin-mesin kematian dan teror. Semuanya terus mengalir tanpa kesudahan.
Kisah-kisah kepedihan dan kematian memang melekat di sekujur tubuh sejarah
Betlehem.
Meski begitu, kota
ini menerima keistimewaan luar biasa. Kisah inkarnasi, Allah hadir dalam
‘kedagingan’ manusia, terpahat dalam sejarah panjang Betlehem. Di Betlehem,
sikap paling radikal Allah, dalam apa yang disebut dengan pengosongan
(kenosis), yakni Dia mengosongkan diri-Nya sendiri ketika menjadikan diri-Nya
‘tidak berarti’ demi keselamatan manusia dan kehidupan, mencapai puncaknya.
Allah menggunakan
kesederhanaan dan kekecilan Betlehem -dalam sudut pandangan manusia- untuk
tujuan dan kebutuhan keselamatan bagi semesta dan kehidupan.
Ditaruh dalam
bayangan manusiawi akan kisah kehadiran seorang raja, maka apa yang terjadi di
Betlehem adalah sesuatu yang sangat berbeda. Sebuah pemandangan yang begitu
kontras. Pada kisah perjalanan dan kedatangan tiga orang sarjana dari Timur di
Betlehem, kita juga menemukan makna ini berhubungan dengan Betlehem.
Perjalanan ketiga
sarjana ini merupakan bagian dari proses pencarian sesuatu yang mereka anggap
sebagai peristiwa luar biasa. Di ujung pencarian itu, apa ‘yang luar biasa’ itu
tampak pada kenyataan yang begitu sederhana. Mereka ‘hanya’ menemukan seorang
bayi di sana.
Kenyataan itu
serentak membalikkan secara fundamental anggapan lama dalam diri mereka.
Mereka berpapasan dengan pesan hidup dan langsung bahwa sumber keselamatan
bukan hanya ada pada kekuatan sosial politik mahadahsyat dalam sejarah,
melainkan juga meruak dari keberanian menekuni nilai-nilai sederhana dalam kehidupan.
Betlehem, dalam kisah kelahiran Yesus Kristus, merupakan simbolisme kehidupan
ketika manusia mampu dan mau berselubungkan cinta, kebaikan, dan kemurahan
hati.
Wajah Keindonesiaan
Betlehem, dengan
itu, dapat menjadi ‘cerminan’ asli bagi kita untuk mematut diri dan menemukan
wajah kehidupan kita. Termasuk wajah keindonesiaan kita. Tidak terbantahkan, bagi
kita, Indonesia merupakan rumah yang mengisahkan kesederhanaan dan
kebersahajaan hidup.
Hal itu sudah
berlangsung sejak lama. Kita dapat mengatakan bahwa Indonesia adalah sebentuk
ziarah kehidupan, sebagai sebuah keluarga sebangsa dengan mozaik ‘kepelbagaian’
sosial yang teramat indah. Indonesia, seperti Kota Betlehem, merupakan potongan
historis-geografis-kultural yang begitu istimewa di antara para bangsa di
dunia.
Namun, hingga kini,
kehidupan kita sebagai bangsa, masih dan terus terkurung dalam jeruji
pertentangan, konflik, dan kebencian. Diskriminasi ‘berlabelkan’ suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) masih menjadi cerita yang begitu jamak di negeri
ini. Sebagaimana Betlehem, Indonesia juga sedang melewati patahan sejarah
‘paradoksal’.
Keindonesiaan, di
tengah harum peradaban, masih digerogoti sekian banyak penyakit sosial politik
kronis. Kita sedang kehilangan begitu banyak nilai, kearifan, dan cara hidup
yang pernah membuat bangsa ini dianggap sebagai ‘hunian kemanusiaan’ ternyaman
di dunia.
Dahulu, Betlehem
merekam perjalanan kegembiraan, harapan —sekaligus air mata dan kesedihan— terpahat
pada apa yang dialami Maria dan Yosef saat meniti jalan menuju Betlehem. Pada
apa yang dialami Maria dan Yosef saat meniti jalan menuju Betlehem. Secara
khusus bagi orang Kristen di negeri ini, Natal besok harus menjelaskan
tumbuhnya kesediaan untuk mengambil tanggung jawab menggagas kembali transformasi
dunia kita menjadi rumah tempat kesederhanaan itu bisa menyelamatkan
kehidupan.
Di Betlehem, dengan
kisah Natal, kelahiran Sang Juru Selamat, kita menemukan wajah keindonesiaan
kita yang masih terbenam dalam penistaan kemanusiaan dan kebersamaan sosial.
Bangsa ini niscaya menguji secara terus-menerus pemihakannya pada nilai-nilai
sosial, politik, budaya yang pada akhirnya bisa mewadahi ‘jalan pulang’ bersama
menuju kemerdekaan hakiki semua warga. Proses ini merupakan sebuah kemutlakan
ketika begitu banyak orang dan struktur kekuasaan sosial, politik, dan ekonomi
terpesona sikap kemaruk dan rakus.
Sumber: Media Indonesia, 24 Desember 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!