Tarekat
mengirimnya ke salah satu pulau terdepan dan terluar di negeri ini. Umat yang
ia layani berasal dari dua negara: Indonesia dan Malaysia.
SEMANGAT
Suster Maria Sigrid Key, PRR tak surut. Biarawati dari Kongregasi Putri Reinha
Rosari (PPR) itu berjalan kaki. Jalanan berlumpur ia terabas. Tahun 2012
merupakan misi perdananya di Pulau Sebatik, Kalimantan Utara.
Di pulau
seluas 433,84 kilo meter persegi itu, Sr. Sigrid melayani umat asal Indonesia
maupun Malaysia. Hampir tiap kali mengunjungi dan menyapa umat, ia ditemani
anak-anak sekolah yang orangtuanya bekerja sebagai buruh perkebunan.
Setelah jam
sekolah usai, Sr Sigrid menemui mereka di kamp. Ia bernyanyi dan berbagi cerita
bersama mereka. “Hadir dan mendengarkan mereka, sudah bikin mereka senang,”
kata biarawati kelahiran Lamalera, Lembata, Nusa Tenggara Timur itu.
Terdepan,
Terluar
Sr. Sigrid tak
pernah membayangkan mendapat tugas dari pimpinan tarekat untuk bermisi di
Sebatik. Pulai ini merupakan salah satu pulau terdepan dan terluar Indonesia.
Pulau Sebatik merupakan “beranda negeri” ini. Pulau tersebut terletak di
sebelah timur laut Kalimantan, dan masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten
Nunukan.
Pada 16
Desember 2014, Presiden Joko Widodo mengunjungi Sebatik kemudian mendatangi
sejumlah lokasi, seperti Tanah Kuning Patok II dan Sungai Pincang. Sebagian
penghuninya adalah warga negara Indonesia dan Malaysia. Di sinilah karya sosial
dan misi PRR bermula.
Dalam benak
banyak orang, kata Sr. Sigrid, menjadi misionaris selalu identik dengan terbang
jauh ke luar negeri. Tetapi bisa saja menjadi misionaris di beranda negeri
seperti Sebatik. Ketika dibenum tugas untuk berkarya di Sebatik, ia merasa
biasa saja. Nama Sebatik sudah sangat familiar terdengar. “Saat ada teman
seangkatan live in di komunitas PRR di Sebatik, saya diberitahu gambaran tentang
Sebatik. Ada hal yang lebih membuat saya biasa-biasa saja. Di kampung Lourdes
di Sebatik mayoritas warganya masyarakat asal Nusa Tenggara Timur,” lanjut Sr
Sigrid.
Meski
demikian, lanjut Sr. Sigrid, tiap misi selalu menuntut kesiapan fisik
danmental. Banyak anak sekolah di sana harus diberi pelajaran tambahan karena
problem penguasaan bahasa Indonesia. Sebab, mayoritas berasal dari orangtua yang
bekerja di Malaysia, dengan watak dan perilaku yang beragam.
“Pengalaman
pelayanan yang menantang ini saya syukuri dan jadikan sebagai berkat Tuhan,
melalui umat yang saya layani. Saya merasa bangga dan bersyukur, bisa menjadi
misionaris di Sebatik. Senang melayani umat, baik Sebatik Indonesia maupun
Sebatik Malaysia,” ujar Sr. Sigrid.
PRR mendapuk
Sr. Sigrid sebagai penanggungjawab karya tarekat di Sebatik. Karya tersebut
meliputi pendidikan dan pastoral. Di bidang pendidikan, ia dipercaya mengajar
Pendidikan Agama Katolik dan Seni Budaya di SMPN I Sebatik Tengah. Di sini
murid-murid berasal dari beragam suku seperti Bugis dan Timor. Mereka datang dari
latar belakang agama seperti Islam, Katolik, dan Protestan.
Dua Negara
Karya misi PRR
di Pulau Sebatik, terang Sr. Sigrid, bermula pada 2005. Hal itu berawal dari
keprihatinan atas kehidupan para perantau. PRR berusaha hadir guna melayani
umat di bidang rohani dan sosial.
Awal kehadiran
para suster di sana lumayan menantang. Umat masih tinggal terpencar. Sebagian
tinggal di wilayah Malaysia. Namun, para suster pendahulu tak patah semangat.
Mereka, kata Sr. Sigrid, mulai membuka kebun dan menanam cokelat. “Sebagai
misionaris, saya bekerja sekuat tenaga melanjutkan karya misi yang dirintis
para pendahulu untuk banyak orang,” katanya.
Sr. Sigrid
mengaku penugasan di bidang pendidikan itu memiliki tantangan tersendiri.
Sebagai pengajar, misalnya, ia dituntut harus lebih setia dan sabar dalam
mendidik anak-anak muridnya sepenuh hati. Hal ini penting, karena anak didiknya
memiliki karakter berbeda satu dengan yang lain. Apalagi berasal dari dua
negara berbeda. Karena itu, ia memahami, bahwa dalam melakoni tugas sebagai
guru tak sekadar mengajar tapi juga berjuang untuk mendidik mereka secara
sabar.
Bekerja di
pulau yang dimiliki otoritas dua negara berbeda membawa pengalaman tersendiri.
Suatu waktu, ia bersama seorang rekan guru dari Sebatik berpisah di Tawau untuk
menunaikan tugas masing-masing di Malaysia. Ia menuju kota Kinabalu, sedangkan
rekannya menuju Kuala Lumpur. Sr. Sigrid kaget. Ia tiba-tiba didekati seorang
pria berseragam.
Memantapkan
Panggilan
Mereka tak
mengira, gerak-gerik mereka dipantau oleh anggota Polis Diraja Malaysia. Ketika
tengah menunggu kendaraan, seorang polisi Malaysia mendekatinya. Cemas sempat
mendera hatinya. Si polis itu
bertanya apakah ia seorang suster nurse (rumah
sakit) atau suster Gereja. Sr. Sigrid buru-buru menjawab kalau dirinya serta
temannya adalah suster Gereja Katolik.
Si polis juga menanyakan tujuan dan dokumen
keimigrasian. Mereka tak mengalami hambatan sebab dokumen-dokumen lengkap. Sr.
Sigrid tersentuh ketika polis itu berpesan agar mereka selalu hati-hati selama
dalam perjalanan. “Polis Diraja Malaysia sangat menghormati kita kalau punya
dokumen lengkap. Perlakuan membuat saya merasa di Indonesia,” ujarnya.
Pengalaman ini
diakui Sr. Sigrid sebagai karya Tuhan baginya selama bermisi di Sebatik.
Pengalaman perjumpaan dengan orang-orang kecil di tempat misi makin memantapkan
panggilan dan pelayanannya. “Orang-orang yang saya layani harus saya lihat
sebagai keluarga. Dengan demikian kian membangkitkan gairah dan semangat saya
untuk setia melayani Tuhan melalui sesama di beranda negeri,” katanya.
Maria Dolorose/Ansel Deri
Sumber :HIDUP, 22 Desember 2019
Ket foto: Sr Maria Sigrid Key PRR bersama umat di Pulau Sebatik
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!