DARI Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang,
Banten, saya menuju Solo. Beberapa hari sebelum ke Solo, saya diberitahu rekan
Frederikus Lusti Tulis masuk dalam rombongan peserta kegiatan Rapat Kerja
Nasional Pengurus Pusat (PP) Pemuda Katolik. Jadwal keberangkatan tidak
berubah. "Kawan ke bandara saja. Kode booking saya segera kirim. Tak boleh
terlambat. Nanti ketemu rekan-rekan lain di ruang tunggu keberangkatan. Lebih
awal agar tidak terjebak macet," kata rekan Frederikus Tulis, salah
seorang petinggi PP PK. Kala itu PP PK dipimpin Ketua dr Carolin Natasyah,
anggota DPR RI yang saat ini menjabat Bupati Landak.
Penerbangan
bandara Soekarno Hatta Tangerang menuju Bandara Internasional Adi Sumarmo Solo
berjalan lancar. Perut saya sempat terasa mual saat pesawat Sriwijaya hendak
landing. Guncangan sedikit keras karena angin. Rekan-rekan yang duduk tak jauh
dari deretan kursi asyik ngobrol. Saya melirik rekan Tarsis Lemba santai saja.
Begitu juga rekan Edward Wirawan dan Ervanus Ridwan Tou tak ambil pusing dengan
goncangan pesawat karena angin agak kencang tatkala ban pesawat benar-benar
menyentuh landasan. "Udara Solo sejuk. Orangnya juga ramah-ramah. Kalau
mau omong bahasa Solo kita mesti atur lidah baik-baik agar sopir kira kita
orang Solo," kata saya saat mulai atur posisi duduk di belakang supir
taxi. Tarsis ketawa. Kalimat terakhir itu yang bikin Tarsis ketawa. "Lidah
musti torang (kita) ator baik-baik agar terasa Solo," kata Tarsis. Saya
ketawa. Tapi sesungguhnya perut saya masih mual sejak masih dalam perut
Sriwijaya. Berharap guyonan ini bisa meredam mual saya saja.
Tiba di hotel,
ingatan saya tertuju kepada Joko Widodo. Siapa sosok Jokowi, si tukang kayu itu
sampai-sampai warga Surakarta terpanah kemudian memalingkan wajah dan
mendapuknya jadi Walikota Solo. Siapa orangtua Jokowi & bagaimana perasaan
kedua orangtua setelah sang anak hidup dari bantaran Kali Anyar, sebelah utara
Terminal Tirtonadi, Solo, hingga Jokowi meniti karier dari bantaran dan meraih
puncak karier membanggakan? Apalagi menjadi Presiden Republik Indonesia. Jokowi
itu orang kampung, wong ndeso. Ya, sama juga saya. Orang kampung. Saya malah
lahir di tengah hutan belantara. Apakah saya bisa mendapat kisah heroik kedua
orangtua Jokowi dan keluarganya tempo doeloe? Inilah beberapa pertanyaan
tambahan dalam hati saat saya rebahan di hotel. Satu niat saya saat tiba di
Solo yaitu mencari tahu alamat rumah Jokowi. Untuk apa? Ya, sekadar tahu saja.
Pun Stadion Manahan Solo,
Tentang kedua
orangtua Jokowi saya tak punya banyak informasi. Bahkan usai Misa Minggu di
Gereja Katolik Santo Petrus Purwosari Surakarta, saya iseng-iseng tanya di
tukang ojek tentang siapa sosok orangtua hebat itu. Tapi nihil. Dua gelas kopi
manis saya tuntaskan, toh, tak ada cerita tentang kedua orangtua Jokowi.
Zaenuddin HM menulis, Jokowi anak pertama dari pasangan sederhana Noto Mihardjo
dan Sudjiatmi. Jokowi, kata Zaenuddin, jurnalis senior Rakyat Merdeka, lahir
sebagai 'orang kampung' di Surakarta. Ia lahir pada 21 Juni 1961. Saat kuliah,
rambut Jokowi panjang, gondrong berat. Ia membiarkan rambutnya gondrong karena
fanatik dengan musik rock. "Tidak ada rocker yang tidak gondrong. Sejak
SMA rambut saya gondrong sebahu. Sampai-sampai guru dan kepala sekolah bingung
untuk menegur. Mereka gemas tetapi khawatir menyinggung perasaan saya karena
saya selalu juara umum. Spirit rock dan metal adalah kebebasan. Saya
mendapatkan energi itu dari mendengar musik itu dan membiarkan rambut tumbuh
panjang," kata Jokowi.
Lewat Bimo
Nugroho dan Ajianto Dwi Nugroho, sekilas sosok Jokowi dan kisah inspiratif
kedua orangtua Jokowi: Noto Mihardjo dan Sudjiatmi saya peroleh. Sang ayah,
Noto Mihardjo adalah tukang kayu. Saat Jokowi masih kecil ia merasakan
kehidupan sebagai anak kampung. Jokowi besar di sekitar bantaran Kali Anyar,
sebelah utara Terminal Tirnoadi. Kondisi kala itu memprihatinkan. Namun di bantaran
kali itu Jokowi menempah hidupnya sebagai seorang anak kampung yang militan.
Kala itu, pasutri Noto Mihardjo dan Sudjiatmi menempati rumah berukuran 7 x 30
meter. Bagian depannya berantakan, penuh dengan perabotan bambu dan kayu. Bimo
dan Dwi menulis lagi. Tak lama setelah Jokowi lahir di rumah sakit Brayar
Minulyo, Solo, kedua orangtua membawanya ke Srambatan. Kemudian ke Dawung Kidul
di bantaran Kali Premulung. Oleh karena tak ada uang untuk sewa kontrakan,
keluarga Jokowi pimdah ke Manggung, di bantaran Kali Pepe. "Namanya juga
orang nggak punya, rumah berpindah-pindah dan selalu di bantaran sungai,"
kata Jokowi (Jokowi: Politik Tanpa Pencitraan).
Saat di Solo,
saya mencoba cari tahu alamat rumah kediaman Joko Widodo. Begitu pula stadion
Manahan dan rumah jabatan Walikota Solo. Di rumah kediaman Jokowi tentu sulit
karena tentu sudah dalam pengawasan protokoler kenegaraan. Benar adanya.
Setelah tukang ojek membawa saya ke alamat, tak jauh dari jalan menuju kediaman
Jokowi, tukang ojèk menyampaikan gak boleh sampe ke jalan menuju kediaman
Jokowi. "Di sini aja, mas. Ga boleh ke dalam. Kalo kita nganter sampe di
sini saja," kata tukang ojek ramah. "Kalo gitu boleh dong aku foto di
sini. Sekadar oleh-oleh ke timur," kata saya menimpali. "Kalau mau
nongkrong santai, di kafe putra Pak Jokowi, mas. Asyik tempatnya. Rame
juga," kata si tukang ojek menawarkan. Saya oke saja. Setelah nongkrong
sejenak di depan stadion Manahan, si tukang ojek yang ramah ini meluncur ke
kafe putra Jokowi. "Solo kota yang unik. Indah. Warganya juga ramah.
Kotanya mengasyikkan," kata saya kepada FX Hadi Rudyatmo, Walikota Solo.
Rudy menggantikan posisi Jokowi setelah menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Namun, ada satu
hal yang membekas dalam hati saya. Tentang kisah inspiratif dari bantaran
sungai ke bantaran sungai pasutri Noto Mihardjo dan Sudjiatmi, orangtua Jokowi.
Dua sosok ini sungguh mengajarkan kepada saya tentang arti perjuangan dalam
hidup. Mereka mempertaruhkan hidup yang serba sulit atas nama cinta terhadap
masa depan anak-anak. Dan Jokowi bukanlah tipikal anak yang sekadar tadah
tangan untuk menerima dari orangtua kala itu. Ia malah tumbuh menjadi pribadi
pekerja keras. Mandiri. Ia pun tak sungkan menjadi tukang ojek payung atau kuli
panggul ibu-ibu yang jualan ke pasar sekadar mencari uang saku. Karena itu,
sejak kecil ia tahu dan belajar bagaimana hidup susah dari kedua orangtuanya.
Sang ayah dan bunda terkasih mengajarkan bagaimana arti hidup sesungguhnya.
Hari ini, Rabu, 25 Maret 2020 pukul 16.45 WIB, Hj. Sudjiatmi, ibunda terkasih
Jokowi berpulang di Kota Solo. Ingatan saya tertuju di bantaran Kali Anyar dan
sepenggal kisah masa kecil Jokowi dari Surakarta. Selamat jalan, Ibu Hj.
Sudjiatmi. Bahagia di Surga. Semoga pula keluarga besar Bapak Presiden Joko
Widodo beroleh penghiburan. Insya Alloh. Salamalaikum wr wb.
Jakarta, 25 Maret 2020
Ansel Deri
Ket foto:
Presiden Joko Widodo dan sang bunda (Almrh) Ibu Hj.
Sudjiatmi


0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!