Oleh Boni Hargens
Analis Politik
MEDIA
sosial telah membentuk watak demokrasi kontemporer. Tiktok, aplikasi jaringan
sosial berupa video musik pendek yang lagi trendi, kini memabah di lingkaran
politisi. Dalam industri elektoral, itu sah saja —apalagi menjelang pilkada serentak di 270 daerah
tahun ini! Fenomena apa itu sesungguhnya?
Menjelaskan kompleksitas demokrasi kekinian rupanya
tak cukup dengan memahami dalil post-truth
politics sebagai jawaban atas kegamangan ontologis demokrasi sebagai sistem
politik. Para pembela demokrasi di masa lampau sebetulnya sudah menduga bahwa
bahaya terbesar demokrasi di masa kini dan masa depan bukan lagi komunisme
ataupun otoritarianisme, melainkan demokrasi itu sendiri.
Demokrasi pada dirinya mengandung virus yang dapat
membunuhnya dari dalam. Ada ahli yang melihat virus itu melekat pada prinsip
demokrasi an sich. John Stuart Mill (1859), misalnya, melihat prinsip mayoritas
sebagai elemen problematis karena menguak dua hal serentak: penindasan
minoritas dan tirani mayoritas.
Sejarah telah membenarkan anggapan Mill bahwa
demokrasi per se mengandung daya despotik. Aksi penolakan pembangunan masjid di
Minahasa, Sulawesi Utara, dan protes renovasi Gereja Katolik di Karimun, Riau,
hanya cuilan kisah terbaru yang menguak akurasi ramalan Mill tentang despotisme
mayoritas.
Kaum Hobbesian boleh saja membantah dengan mengatakan
”untuk itulah negara hadir dengan perangkat hukumnya agar perilaku liar manusia
dapat ditertibkan untuk menjamin konformitas sosial”—tapi faktum politik begitu
telanjang bahwa sering kali negara kalah (atau pura-pura kalah) dengan
gerombolan begundal yang memakai jubah mayoritas untuk mengacaukan demokrasi
(Pancasila).
Prinsip lain demokrasi adalah kesetaraan, yang
tentunya pilar-pilar fondasional demokrasi, bahwa tiap orang sama di hadapan
negara. Suara pengemis jalanan dan koruptor di ruang kekuasaan sama ketika
masuk bilik suara. Dalil ini berkelindan dengan aspek kebebasan individual
dalam demokrasi, terutama setelah suntikan postulat ”kebebasan” kaum liberalis
di abad ke-20 sehingga siapa pun yang andal dapat meraih kekuasaan.
Oligarkisasi adalah virus lain yang tumbuh subur dalam
tubuh demokrasi tanpa pernah bisa dimatikan. Segelintir orang kuat
mengendalikan politik untuk memperkaya diri dan mengandalkan kekayaannya untuk
mempertahankan status quo. Lingkaran setan itu terus bergerak siklis tiada
henti. Ketika pengorganisasian politik menjadi tuntutan yang mutlak, partai tak
mau ketinggalan.
Kekuasaan tak cukup berada di tangan individu, maka
perlu ada partai sebagai organizing power yang memperkuat landasan dari status
quo itu. Partai kartel (Katz & Mair, 1993, 1995, 2009) muncul dengan tujuan
profesionalisasi politik dan meningkatkan kualitas demokrasi melalui relasi
interpenetratif negara-partai.
Ide dasarnya, negara mendukung partai secara finansial
untuk mendongkrak peran partai dalam pembangunan demokrasi. Tapi, faktanya,
partai menjadi bagian konspiratif dari negara dan membangun ikatan simbiotik
lintas partai untuk mengeruk sumber daya negara.
Implikasinya, pemilu sekadar sandiwara elitis untuk
memenuhi prosedur demokrasi. Ritual politik hanya menguntungkan segelintir
orang kuat yang selalu sama dari periode ke periode. Untuk konteks Indonesia,
situasinya lebih rumit dan unik.
Seperti tertuang dalam disertasi doktoral saya di Universitas
Walden, AS, berjudul ”Oligarchic Cartelization in Post-Suharto Indonesia”
(2019), kartelisasi yang menjadi kecenderungan terkini dalam dinamika demokrasi
Indonesia tak sepenuhnya menyangkut teori ”partai kartel” dalam konsep Barat
yang dimunculkan Katz dan Mair, tetapi sebuah tendensi percampuran atau
perkawinan silang oligarki dan kartel politik.
Oligarki memanfaatkan partai sebagai instrumen untuk
membangun kartelisasi, tapi tujuannya bersifat oligarkis. Mereka yang bermain
adalah para oligark yang ingin memperkaya dan memperkuat posisi tawar pribadi
sekaligus kelompok (partai).
Kartelisasi oligarkis adalah istilah yang saya gunakan
untuk menggambarkan betapa cara-cara kartel diterapkan oligarki untuk menguasai
sumber daya Negara —melalui relasi
interpenetratif antara negara dan partai— demi tujuan parsial, entah pribadi atau
organisasional.
Konsekuensi terburuk
Konsekuensi terburuk dari kartelisasi oligarkis adalah
partai terpisah dari masyarakat sipil. Gerakan sipil jadi gerakan yang soliter,
dan kadang liar, karena kehilangan sambungannya dengan negara, yaitu parpol.
Selain itu, sebagian gerakan sipil adalah rekayasa neokorporatis yang di
dalamnya negara dan partai turut punya andil merekayasa gerakan sipil jadi
gerakan elitis.
Dalam kondisi gerakan sipil yang cenderung liar, besar
peluang agensi baru muncul dan menggantikan peran negara. Sejauh ini, oposisi
politik dan ormas tertentu tampak melihat ini sebagai peluang dan
mengapitalisasi keadaan ini untuk memompa sentimen anti-pemerintah yang dengan
mudah menjadi ”anti-negara”. Maka, jangan terkejut kalau mencuat banyak narasi
terbaru yang bertendensi memisahkan agama dan negara, atau setidaknya dengan
nada ”kritis” mempertanyakan relevansi Pancasila dengan agama.
Hal yang seharusnya ”haram” di negara Pancasila karena
Pancasila itu sendiri pada dasarnya abstraksi, sari pati nilai-nilai keagamaan.
Pertentangkan agama dan Pancasila ibarat memisahkan matahari dari sinarnya.
Radikalisme berjubah agama yang terus berkembang di
abad ke-21 tak selalu berkaitan dengan isu penghormatan martabat manusia yang
dibahas Fukuyama (2018), tetapi sering kali malah agenda politik untuk
kepentingan elektoral. Para pecundang memanfaatkan ruang (a) gerakan sipil yang
gamang, (b) oposisi politik parlemen yang rapuh, dan (c) konspirasi
negara-partai yang terlalu korup untuk melancarkan propaganda anti-demokrasi,
anti-Pancasila.
Implikasi buruk lain, simplifisme nilai-nilai
demokrasi —penyederhanaan yang
mengarah ke pendangkalan hakikat demokrasi itu sendiri. Demokrasi tak lebih
sekadar urusan pemilu sehingga ”demokrasi substansial” digeser oleh kehadiran
”demokrasi elektoral” yang menjadikan pemilu tak lebih sekadar prosedur meraih
kekuasaan.
Setelah 2004, wajah demokrasi elektoral kita dipadati
para selebritas yang memasuki arena pemilu. Sekarang, semua politisi berlomba
menjadi selebritas untuk meraih dan mempertahankan dukungan pemilih.
Aplikasi Tiktok mewakili perilaku dan watak kekinian
para politisi kita yang gandrung berlomba mempercantik diri dan memasarkan
wajah bertopeng di medsos, termasuk media arus utama. Mereka menghindari kesan
”politisi berwajah keras dan berdahi kerut” seperti para pendahulu yang memang
keras berpikir untuk bangsa dan negara.
Politikus di zaman milenial ini lebih peduli
penampilan daripada mutu dan integritas, meski masih ada yang masih peduli isi
kepala dan hati nurani! Panggung politik bukan pentas hiburan. Sepatutnya
politikus tak perlu sok imut di depan rakyat.
Mereka dituntut secara moral oleh jabatannya untuk
mempertanggungjawabkan seluruh kinerjanya di hadapan rakyat. Maka, mereka mesti
berkeringat, bekerja keras, berkerut dahi, berpantang, berpuasa, termasuk tahu
malu. Rakyat tak memuji pemimpin karena keelokan parasnya, tetapi karena
keunggulan kerja dan integritasnya.
Jujur saja, kalau kita masih sensitif dengan nurani
sosial masyarakat, orang hari ini tak begitu bangga dengan jabatan politik karena
persepsi tentang kekuasaan sudah terlalu kelam. Lihat saja! Koruptor muncul di
televisi dengan wajah tersenyum sambil melambai-lambai seperti jawara kembali
dari medan tempur. Padahal, perutnya kenyang mengidap darah rakyat.
Kontradiksi macam ini mengekalkan kemuakan kolektif
masyarakat pada praksis politik. Di tengah situasi macam ini, narasi
”membumikan Pancasila”, ”NKRI harga mati”, atau ”merah putih selamanya” akan
sulit menembus dan mengendap di sanubari publik.
Teladan politik adalah segalanya. Presiden Jokowi
diunggulkan dari awal karena ia mewakili antitesis dari praksis politik yang
borjuis dan korup macam itu. Tampilannya biasa dan kerjanya keras. Itu yang
mestinya menjadi ciri khas kepemimpinan politik di semua level hari ini.
Pancasila akan terasa hidup, tak hanya di bumi, tapi juga di langit, apabila
elite politik belajar hidup membumi bersama rakyat.
Sumber: Kompas,
28 Maret 2020
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!