Anggota Dewan
Redaksi Media Group
KASUS dugaan
korupsi proyek pembangunan kompleks olahraga Hambalang terus bergulir. Hasil
audit forensik Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menjadi penambah amunisi bagi
Komisi Pemberantasan Korupsi untuk membongkar kasus korupsi senilai Rp243
miliar tersebut.
Kita mengikuti saja
proses hukum yang akan terjadi. Sampai sejauh mana proyek senilai Rp2,5 triliun
itu akan menjerat orang-orang yang mengambil keuntungan. Beberapa nama pejabat
sudah disebut dalam laporan audit forensik BPK.
Kasus Hambalang itu
bukan hanya berpotensi merugikan keuangan negara. Yang selama ini luput dari
perhatian ialah kerugian yang tidak kasatmata, kerugian immaterial, yaitu
terganggunya proses pembinaan generasi muda dan atlet-atlet berbakat.
Negara mempunyai
tanggung jawab membina generasi muda yang tangguh agar bisa menjadi pemenang
dalam persaingan global. Olahraga merupakan salah satu cara untuk menanamkan
sikap disiplin, hormat kepada pelatih, kerja keras, sikap tidak mudah menyerah,
sportif, dan memberikan kebanggaan kepada bangsa.
Semua bangsa di
dunia berlomba untuk menghasilkan generasi muda yang berkualitas. Bahkan
pepatah Belanda mengatakan, “Siapa yang memiliki generasi muda yang andal,
merekalah yang memiliki masa depan.“
Kementerian Pemuda
dan Olahraga (Kemenpora) mempunyai tanggung jawab untuk itu. Semua program
kerja yang dilakukan seharusnya ditujukan untuk menciptakan generasi muda yang
tangguh dan mampu memberikan kebanggaan kepada bangsa.
Ternyata Kemenpora
tidak menjalankan secara penuh tugas tersebut. Kementerian itu terjerumus juga
ke dalam semangat untuk memanfaatkan institusi bagi kepentingan pribadi.
Sebagian anggaran yang dipersiapkan untuk membangun generasi muda yang bisa
dibanggakan dipakai untuk memperkaya diri sendiri.
Beban Moral
Ketika kasus sudah
bergulir seperti sekarang, jujur kita sangat kasihan kepada para atlet. Mereka
secara tidak langsung harus ikut menanggung beban atas dosa yang tidak pernah
mereka ketahui.
Hambalang akan
selamanya menanggung citra yang buruk. Segala sesuatu yang terkait dengan
tempat itu pasti akan mengacu kepada praktik korupsi yang merugikan keuangan
negara.
Padahal, kita tahu
bahwa tempat itu sebenarnya diciptakan untuk melahirkan atlet-atlet kelas
dunia. Seperti ketika Ali Sadikin membangun Sekolah Ragunan, setiap kali ada
atlet yang mengharumkan nama bangsa, orang akan mengacu kepada sekolah atlet
yang dibangun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Pada zaman segala
sesuatu bisa direncanakan dengan baik, pembinaan atlet pun direkayasa secara
cermat. Penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pembinaan atlet seperti
menjadi sebuah keharusan apabila kita ingin memenangi kompetisi tingkat dunia.
Kita lihat di Eropa
bahkan sampai tingkat klub, semuanya dilakukan dengan sangat terukur. Lihat
saja apa yang dilakukan klub sepak bola Jerman, Borussia Dortmund, yang
membangun fasilitas lengkap untuk pembinaan teknik pemain bahkan mulai tingkat
dasar.
Prancis bisa
berjaya di sepak bola dunia karena keputusan untuk membangun sekolah sepak bola
di Clairefontaine.
Di atas tanah
seluas 56 hektare dibangun segala fasilitas bagi pembinaan sepak bola yang
berkelanjutan.
Persyaratan bagi
keberhasilan pembinaan atlet ialah ketika semua dilakukan dengan niat baik.
Termasuk dalam penggunaan anggaran harus dilakukan secara cermat dan tidak
boleh ada korupsi di dalamnya.
Mengapa? Karena
yang dilakukan ialah investasi manusia. Investasi yang dilakukan tidak pernah
akan ada pengembalian dalam bentuk keuntungan finansial. Yang ada setiap kali
hanyalah biaya untuk pembinaan.
Oleh karena itu,
pembina harus selalu menyadari bahwa yang harus diterapkan ialah prinsip `biaya
sekecil-kecilnya'. Efisiensi menjadi kunci utama dalam menjalankan pembinaan
yang sebaik-baiknya.
Ketika ada motif
untuk mengambil keuntungan pribadi, yang terjadi ialah biaya yang selalu
menggelembung. Biaya yang terlalu besar akan membuat investasi menjadi tidak
feasible. Anggaran yang disiapkan selalu hanya bisa membina jumlah atlet yang
lebih sedikit. Dengan semakin terbatasnya pilihan, semakin sedikit pulalah
peluang untuk mendapatkan atlet berkualitas.
Dengan terbatasnya
jumlah atlet yang berkualitas, semakin kecillah peluang kita untuk bisa meraih
kejayaan.
Kegagalan dari
pembinaan atlet akhirnya akan mengait kepada ketidakefisienan dalam pembangunan
kompleks pembinaan olahraga. Para atlet pun akan semakin tertekan karena di
mata masyarakat menjadi bagian dari ketidakberesan dalam penggunaan anggaran.
Lingkaran setan
yang tercipta sangat tidak menguntungkan bagi pembinaan olahraga nasional.
Sungguh ironis kita sedang menghadapi kondisi itu dan Hambalang akan selamanya
menjadi beban bagi atlet dan olahraga Indonesia secara keseluruhan.
Entah bagaimana
caranya menghilangkan stigma yang mungkin akan melekat dalam diri atlet
sepanjang hidupnya, seandainya ia mendapat peluang menimba kemampuan di
Hambalang. Apakah para atlet itu akan bangga ataukah justru sebaliknya, sebagai
sebuah pembenar atas kegagalan pembinaan.
Tidakkah mereka
memikirkan dampak psikologis dari sisi atlet? Ironis. Padahal lagu kebangsaan
hanya dikumandangkan ketika atlet meraih kemenangan dan kunjungan resmi kepala
negara ke suatu negara.
Sumber: Media Indonesia,
17 November 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!