Headlines News :
Home » » Kerusakan Keadaban Lingkungan

Kerusakan Keadaban Lingkungan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, November 25, 2012 | 2:58 PM

Oleh Benny Susetyo Pr
Penulis adalah pemerhati masalah sosial

Alam perlu diolah dan dimanfaatkan dalam batas-batas kewajaran. Namun kenyataannya, watak rakus penguasa dan pengusaha justru sering mengabaikan keseimbangan.

Pembanguan ekonomi tanpa memperhatikan aspek lingkungan menciptakan tata kelola yang merusak ekosistem. Ini cermin kehancuran keadaban sebuah bangsa. Bangsa yang memiliki keadaban menciptakan keseimbangan antara pengambil keputusan, pasar, serta warga. Indonesia memiliki 43 taman nasional darat dengan luas kawasan mencapai 12,3 juta hektare. Namun sekitar 30 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah karena perambahan.

Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Aceh mendata, ada 40 perusahaan pertambangan yang mengantongi izin usaha di wilayah Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Singkil. Lokasi penambangan 40 perusahaan itu masuk kawasan ekosistem Leuser (KEL) di zona hutan lindung. Aksi illegal pun jarang ditindak karena sejumlah pejabat di daerah ditengarai ikut menyokong pengambilan kayu serta usaha pertambangan dan perkebunan.

Hasil riset Bank Dunia menunjukkan, selama 2006-2010 terjadi kerusakan hutan KEL seluas 90.000 hektare. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang kini telah ditetapkan UNESCO sebagai hutan hujan tropis warisan Sumatera itu sekitar 20.000 hektare hutan rusak setiap tahunnya.

Di Kalimantan, ada kerusakan karena penambangan batu bara. Pencemaran air karena limbah indusrti. Perkebunan sawit yang diekspoitasi berlebihan membawa dampak bagi bumi ini. Menyadari ini semua, Gereja mengajak umat beriman untuk berbuat sesuatu demi menyelamatkan bumi dengan segala isinya.

Gereja menyadari kerusakan keadaban lingkungan ini sebagai sebuah cermin nilai kemanusiaan yang makin merosot. Berbagai bencana alam terjadi karena seringnya kesalahan cara pandang manusia terhadap alam. Dalam melihat dan memperlakukan alam manusia sering menggunakan cara pandang antroposentris. Pandangan ini menempatkan manusia sebagai pusat alam, bahkan dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh melakukan apa pun.

Gereja sudah lama menaruh keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No. 12) sudah mengingatkan semua pihak bahwa masyarakat setempat harus dilindungi dari kerakusan pendatang.

Begitu pula Paus Yohanes Paulus II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No. 34) yang menekankan alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral. Dampak pengelolaan yang tidak bermoral tidak hanya dirasakan manusia saat ini, juga generasi mendatang. Lalu selanjutnya Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No. 48) juga menyadarkan bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang, maka harus dikelola secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia.

Ketidakseimbangan alam yang ditandai dengan berbagai bencana di banyak tempat menjadi refleksi serius Gereja tahun ini. Gereja menyadari kehancuran lingkungan hidup merupakan buah dari sistem ekonomi yang dijalankan dalam semangat penuh keserakahan. Tuhan menciptakan alam semesta untuk diolah demi terciptanya kesejahteraan bersama.

Alam perlu diolah dan dimanfaatkan dalam batas-batas kewajaran. Namun kenyataannya, watak rakus penguasa dan pengusaha justru sering mengabaikan keseimbangan.

Mereka menghabiskan kekayaan alam hanya untuk memperkaya diri sendiri. Dampaknya, manusia bukan hanya mudah terkena bencana, tapi sedikit demi sedikit mulai terasing dari alam semesta. Kini manusia mulai kehilangan daya untuk mengembalikan alam sesuai dengan keseimbangannya. Alam telah dirusak mereka yang hanya mementingkan diri sendiri, tanpa memikirkan generasi yang akan datang.

Di negeri ini, begitu jelas alam sering dirusak melalui upaya sistematis kebijakan publik yang hanya berpikir jangka pendek. Negara tak lagi berpikir jauh tapi hanya untuk kepentingan politik jangka pendek. Hutan Indonesia yang menjadi tumpuan dunia untuk bisa bertahan lebih lama semakin hari tambah keropos. Kenyataan ini didukung lemahnya penegakan hukum atas setiap penyelewengan.

Alam tidak lagi bersahabat dengan manusia saat keseimbangannya diluluhlantakkan atas nama pertumbuhan ekonomi. Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi setiap saat, tidak pernah menjadi pengingat yang baik. Alam tidak lagi dihargai keseimbangannya. Dia diperas kekayaannya hanya untuk kepentingan politik ekonomi kaum tertentu.

Masyarakat sudah berkali-kali merasakan 'kemurkaan' alam, tapi tidak pernah memahami dengan sungguh-sungguh. Beberapa tahun yang akan datang, dampak kerusakan alam akan jauh lebih hebat, bila tidak ada langkah konkret, reflektif, dan menyadari sepenuh hati dengan melahirkan kebijakan yang berwawasan lingkungan.

Dibutuhkan sebuah gerakan menyelamatan alam dengan mengajak umat berimaan agar bertangung jawab terhadap pelestarian alam melalui usaha–usaha konkret. Misalnya, kebijakan terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hendaknya membawa peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup. Undang-undang yang mengabaikan kepentingan masyarakat perlu ditinjau ulang dan pengawasan terhadap pelaksanaannya haruslah lebih diperketat

Pemanfaatan sumber daya alam hendaknya tidak hanya demi mengejar keuntungan ekonomis, tetapi juga keuntungan sosial yaitu tetap terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat. Selain itu, harus ada jaminan bahwa sumber daya alam akan tetap cukup tersedia untuk generasi yang akan datang. Di samping itu, usaha-usaha produksi di kalangan masyarakat kecil dan terpinggirkan, terutama masyarakat adat, petani, nelayan, serta mereka yang rentan terhadap perubahan iklim perlu lebih didukung.

Umat Kristiani hendaknya mengembangkan habitus baru, khususnya hidup selaras dengan alam berdasarkan kesadaran dan perilaku yang peduli lingkungan sebagai bagian perwujudan iman dan pewartaan dalam bentuk tindakan pemulihan keutuhan ciptaan. Untuk itu, perlu dicari usaha bersama, seperti pengolahan sampah, penghematan listrik dan air. Juga diadakan penanaman pohon, gerakan percontohan di bidang ekologi, advokasi persuasif di bidang hukum terkait dengan hak hidup dan keberlanjutan alam serta lingkungan.

Secara khusus lembaga-lembaga pendidikan diharapkan dapat mengambil peranan yang besar dalam gerakan penyadaran akan masalah lingkungan dan pentingnya kearifan lokal.

Semua ini membutuhkan sebuah upaya umat beriman untuk menyadari kerusakan lingkungan hidup sebagai cermin tiadanya rasa mencintai ciptaan Tuhan. Tuhan mengasihi alam ciptaan agar dikelola demi kebaikan bersama. Realitas alam semesta menjadi rusak karena keserahan manusia yang membuat tata keseimbangan alam raya hancur.

Dibutuhkan sebuah pertobatan umat beriman untuk menyadari bahwa alam raya hanya titipan Yang Mahakuasa. Kesulitan dalam penyadaran lingkungan hidup selama ini karena jarak waktu dan ruang, antara perbuatan dan dampak.

Penebangan pohon di hutan memang memberi manfaat sosial ekonomi secara langsung. Tetapi penebangan tidak langsung menyebabkan longsor, erosi, dan banjir. Banjir, misalnya, bukan terjadi di tempat penebangan, melaikan di daerah hilir yang, bukan orang yang mendapat manfaat penebangan. Itulah yang sering terjadi di negeri ini.

Tanpa perubahan serius, negara akan menghadapi berbagai bencana. Penggundulan hutan hari ini mungkin tidak melahirkan bencana besok, melainkan pada saatnya nanti semua mata akan menyadari kesalahan yang dilakukan di masa lampau.
Sumber: Koran Jakarta, 24 November 2012 
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger