Penulis adalah pemerhati masalah sosial
Alam perlu diolah dan
dimanfaatkan dalam batas-batas kewajaran. Namun kenyataannya, watak rakus
penguasa dan pengusaha justru sering mengabaikan keseimbangan.
Pembanguan ekonomi tanpa
memperhatikan aspek lingkungan menciptakan tata kelola yang merusak ekosistem.
Ini cermin kehancuran keadaban sebuah bangsa. Bangsa yang memiliki keadaban
menciptakan keseimbangan antara pengambil keputusan, pasar, serta warga. Indonesia
memiliki 43 taman nasional darat dengan luas kawasan mencapai 12,3 juta
hektare. Namun sekitar 30 persen di antaranya dalam kondisi rusak parah karena
perambahan.
Dinas Pertambangan dan Energi
Provinsi Aceh mendata, ada 40 perusahaan pertambangan yang mengantongi izin
usaha di wilayah Nagan Raya, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, dan Singkil. Lokasi
penambangan 40 perusahaan itu masuk kawasan ekosistem Leuser (KEL) di zona
hutan lindung. Aksi illegal pun jarang ditindak karena sejumlah pejabat di
daerah ditengarai ikut menyokong pengambilan kayu serta usaha pertambangan dan
perkebunan.
Hasil riset Bank Dunia
menunjukkan, selama 2006-2010 terjadi kerusakan hutan KEL seluas 90.000
hektare. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) yang kini telah ditetapkan UNESCO
sebagai hutan hujan tropis warisan Sumatera itu sekitar 20.000 hektare hutan
rusak setiap tahunnya.
Di Kalimantan, ada kerusakan
karena penambangan batu bara. Pencemaran air karena limbah indusrti. Perkebunan
sawit yang diekspoitasi berlebihan membawa dampak bagi bumi ini. Menyadari ini
semua, Gereja mengajak umat beriman untuk berbuat sesuatu demi menyelamatkan
bumi dengan segala isinya.
Gereja menyadari kerusakan
keadaban lingkungan ini sebagai sebuah cermin nilai kemanusiaan yang makin
merosot. Berbagai bencana alam terjadi karena seringnya kesalahan cara pandang
manusia terhadap alam. Dalam melihat dan memperlakukan alam manusia sering
menggunakan cara pandang antroposentris. Pandangan ini menempatkan manusia
sebagai pusat alam, bahkan dipahami sebagai penguasa atas alam yang boleh
melakukan apa pun.
Gereja sudah lama menaruh
keprihatinan atas masalah lingkungan yang berakibat buruk pada manusia. Paus
Paulus VI dalam Ensiklik Populorum Progressio (1967, No. 12) sudah mengingatkan
semua pihak bahwa masyarakat setempat harus dilindungi dari kerakusan
pendatang.
Begitu pula Paus Yohanes
Paulus II dalam Ensiklik Sollicitudo Rei Socialis (1987, No. 34) yang
menekankan alam ciptaan sebagai kosmos tidak boleh digunakan semaunya dan
pengelolaannya harus tunduk pada tuntunan moral. Dampak pengelolaan yang tidak
bermoral tidak hanya dirasakan manusia saat ini, juga generasi mendatang. Lalu
selanjutnya Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Caritas in Veritate (2009, No.
48) juga menyadarkan bahwa alam adalah anugerah Allah untuk semua orang, maka
harus dikelola secara bertanggung jawab bagi seluruh umat manusia.
Ketidakseimbangan alam yang
ditandai dengan berbagai bencana di banyak tempat menjadi refleksi serius
Gereja tahun ini. Gereja menyadari kehancuran lingkungan hidup merupakan buah
dari sistem ekonomi yang dijalankan dalam semangat penuh keserakahan. Tuhan
menciptakan alam semesta untuk diolah demi terciptanya kesejahteraan bersama.
Alam perlu diolah dan
dimanfaatkan dalam batas-batas kewajaran. Namun kenyataannya, watak rakus
penguasa dan pengusaha justru sering mengabaikan keseimbangan.
Mereka menghabiskan kekayaan
alam hanya untuk memperkaya diri sendiri. Dampaknya, manusia bukan hanya mudah
terkena bencana, tapi sedikit demi sedikit mulai terasing dari alam semesta.
Kini manusia mulai kehilangan daya untuk mengembalikan alam sesuai dengan
keseimbangannya. Alam telah dirusak mereka yang hanya mementingkan diri
sendiri, tanpa memikirkan generasi yang akan datang.
Di negeri ini, begitu jelas
alam sering dirusak melalui upaya sistematis kebijakan publik yang hanya
berpikir jangka pendek. Negara tak lagi berpikir jauh tapi hanya untuk
kepentingan politik jangka pendek. Hutan Indonesia yang menjadi tumpuan dunia
untuk bisa bertahan lebih lama semakin hari tambah keropos. Kenyataan ini
didukung lemahnya penegakan hukum atas setiap penyelewengan.
Alam tidak lagi bersahabat
dengan manusia saat keseimbangannya diluluhlantakkan atas nama pertumbuhan
ekonomi. Banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi setiap saat, tidak pernah
menjadi pengingat yang baik. Alam tidak lagi dihargai keseimbangannya. Dia
diperas kekayaannya hanya untuk kepentingan politik ekonomi kaum tertentu.
Masyarakat sudah berkali-kali
merasakan 'kemurkaan' alam, tapi tidak pernah memahami dengan sungguh-sungguh.
Beberapa tahun yang akan datang, dampak kerusakan alam akan jauh lebih hebat,
bila tidak ada langkah konkret, reflektif, dan menyadari sepenuh hati dengan
melahirkan kebijakan yang berwawasan lingkungan.
Dibutuhkan sebuah gerakan
menyelamatan alam dengan mengajak umat berimaan agar bertangung jawab terhadap
pelestarian alam melalui usaha–usaha konkret. Misalnya, kebijakan terhadap
pemanfaatan sumber daya alam dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) hendaknya
membawa peningkatan kesejahteraan hidup masyarakat dan kelestarian lingkungan
hidup. Undang-undang yang mengabaikan kepentingan masyarakat perlu ditinjau
ulang dan pengawasan terhadap pelaksanaannya haruslah lebih diperketat
Pemanfaatan sumber daya alam
hendaknya tidak hanya demi mengejar keuntungan ekonomis, tetapi juga keuntungan
sosial yaitu tetap terpenuhinya hak hidup masyarakat setempat. Selain itu,
harus ada jaminan bahwa sumber daya alam akan tetap cukup tersedia untuk
generasi yang akan datang. Di samping itu, usaha-usaha produksi di kalangan
masyarakat kecil dan terpinggirkan, terutama masyarakat adat, petani, nelayan,
serta mereka yang rentan terhadap perubahan iklim perlu lebih didukung.
Umat Kristiani hendaknya
mengembangkan habitus baru, khususnya hidup selaras dengan alam berdasarkan kesadaran
dan perilaku yang peduli lingkungan sebagai bagian perwujudan iman dan
pewartaan dalam bentuk tindakan pemulihan keutuhan ciptaan. Untuk itu, perlu
dicari usaha bersama, seperti pengolahan sampah, penghematan listrik dan air.
Juga diadakan penanaman pohon, gerakan percontohan di bidang ekologi, advokasi
persuasif di bidang hukum terkait dengan hak hidup dan keberlanjutan alam serta
lingkungan.
Secara khusus lembaga-lembaga
pendidikan diharapkan dapat mengambil peranan yang besar dalam gerakan penyadaran
akan masalah lingkungan dan pentingnya kearifan lokal.
Semua ini membutuhkan sebuah
upaya umat beriman untuk menyadari kerusakan lingkungan hidup sebagai cermin
tiadanya rasa mencintai ciptaan Tuhan. Tuhan mengasihi alam ciptaan agar
dikelola demi kebaikan bersama. Realitas alam semesta menjadi rusak karena
keserahan manusia yang membuat tata keseimbangan alam raya hancur.
Dibutuhkan sebuah pertobatan
umat beriman untuk menyadari bahwa alam raya hanya titipan Yang Mahakuasa.
Kesulitan dalam penyadaran lingkungan hidup selama ini karena jarak waktu dan
ruang, antara perbuatan dan dampak.
Penebangan pohon di hutan
memang memberi manfaat sosial ekonomi secara langsung. Tetapi penebangan tidak
langsung menyebabkan longsor, erosi, dan banjir. Banjir, misalnya, bukan
terjadi di tempat penebangan, melaikan di daerah hilir yang, bukan orang yang
mendapat manfaat penebangan. Itulah yang sering terjadi di negeri ini.
Tanpa perubahan serius, negara
akan menghadapi berbagai bencana. Penggundulan hutan hari ini mungkin tidak
melahirkan bencana besok, melainkan pada saatnya nanti semua mata akan
menyadari kesalahan yang dilakukan di masa lampau.
Sumber: Koran Jakarta, 24 November 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!