Oleh Ansel Deri
Orang
Kampung asal Lembata;
tinggal di Halim Perdana Kusuma Jakarta
DEWAN Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) Lembata, NTT, kembali mempertontonkan hal memuakkan sekaligus
memalukan. Setelah menetapkan dana perjalanan dinas sebesar Rp. 2,6 miliar
tahun 2012, hingga November ini sudah terpakai Rp. 2,8 miliar. Artinya, sudah
melebihi pagu anggaran.
Ada tiga wakil
rakyat dari unsur pimpinan yang punya intensitas perjalanan dinas luar daerah
tinggi. Ketiganya yaitu Hyasintus Tibang Burin (Wakil Ketua/PDI-Perjuangan).
Sinthus melakukan perjalanan sebanyak 23 kali dengan total duit rakyat Rp
212.500.000 (Rp 212,5 juta). Kemudian, Yohanes de Rosari (Ketua DPRD/ Partai
Golkar). Hoat –sapaan akrabnya– melakukan perjalanan dinas 17 kali dan
menghabiskan dana Rp 237.577.400 (Rp 237,5 juta). Kemudian Yoseph Meran Lagaur
(Wakil Ketua DPRD/Partai Demokrat), sebanyak 13 kali dan menghabiskan dana Rp
193.502.000 (Rp 193,5 juta).
Dua anggota paling
sedikit perjalanan dinas ke luar daerah yaitu Tarsisia Hani Chandra (Partai
Damai Sejahtera/PDS). Hany disebut hanya empat kali melakukan perjalanan dinas
luar daerah dengan total dana Rp 45.260.000 (Rp 45,2 juta). Kemudian Alwi Murin
(Partai Hanura) dengan lima kali perjalanan dinas luar daerah dan menghabiskan
dana Rp 66 juta. Jika dihitung secara kasar, setiap bulan dilakukan dua kali
perjalanan dinas dengan duit rakyat di pos APBD. Edan!
Kasus Uruor-Puor
Sikap memuakkan dan
memalukan pernah ditunjukkan para wakil rakyat saat terjadi sengketa tapal
batas desa antara warga Puor, Kecamatan Wulandoni dengan Belobatang (Uruor),
Kecamatan Nubatukan.
Sengketa itu muncul
sejak Januari 2012 dan tak pernah dimediasi para wakil rakyat untuk
diselesaikan dinas/instansi terkait. Mereka, para wakil rakyat, alpa memainkan
peran politiknya selaku penyambung suara rakyat. Padahal, mereka lahir dari
rahim rakyat
Rakyat menjadi
“induk semang” sekaligus kiblat tugas dan pengabdian politik wakil rakyat.
Masyarakat tentu masih ingat persoalan lahan sejumlah kepala keluarga di
Lusikawak yang juga tak ketahuan juntrungan alias ujung pangkalnya dan jauh
dari jangkauan kecerdasan hati nurani wakilnya.
Mereka lupa pada
esensi demokrasi yang menempatkan rakyat muara pengabdian politik. Wakil rakyat
hanya berpikir dengan logika `jual-beli'. Semua tindakan politik dilakukan
transaksional, rugi dan untung berapa. Itu karena mungkin mereka terjebak dalam
pemahaman, di mana aktivitas politik di hadapan rakyat merupakan momentum
mengubah status hidup secara ekonomi.
Mereka tak peduli
pada rakyat di saat rakyat dibelit persoalan serius. Bahkan menjauh dari
rakyat, pemberi mandat.
Mereka seperti
berpura-pura mengidap amnesia, penyakit kehilangan daya ingat. Bahkan terkesan
sepihak memutuskan kontrak politik dengan rakyat selaku mitra kesayangannya
yang dibuat saat masa “bulan madu” kampanye legislatif. Ini sikap konyol,
sontoloyo, kurang beres.
High-low politics
Perjalanan dinas
yang menghambur-hamburkan uang rakyat tanpa hasil yang jelas atau konflik tapal
batas Puor-Uruor dan nihilnya kepedulian DPRD Lembata sekaligus mengingatkan
saya pada dua jenis politik. Dalam Demokrasi Pilihan Aku (2009), analis politik
Alfan Alfian merinci jelas jenis politik dimaksud.
Pertama, politik
kualitas tinggi (high politics) dan kedua, politik kualitas rendah (low
politics). Paling kurang ada tiga ciri yang harus dimiliki politik kualitas
tinggi atau mereka yang menginginkan terselenggaranya high politics. Pertama,
setiap jabatan politik hakikatnya merupakan amanah dari masyarakat, yang harus
dipelihara sebaik-baiknya.
Kedua, erat kaitan
yang pertama, setiap jabatan politik mengandung pertanggungjawaban
(acountability). Ketiga, bagaimana politik harus dikaitkan secara ketat dengan
prinsip ukhuwah (brotherhood), yakni persamaan di antara umat manusia (rakyat).
Politik kualitas
rendah didekati dalam perspektif Machiavellian, di mana politik ditandai dengan
pengedepanan kekerasan. Dalam politik penguasa (termasuk wakil rakyat) dapat
menjadi binatang buas. Karena itu, politik kualitas rendah di kalangan kaum
moralis, termasuk yang “tak bisa dimaafkan”.
Tren politik jenis
kedua ini yang dengan mudah kita saksikan atas realitas absennya para politisi
yang tengah mengemban tugas sebagai wakil rakyat di Peten Ina. Syahwat politik
wakil rakyat tiba-tiba bergelora dan bisa juga loyo.
Tatkala syahwat
politik bergelora, mereka berpura-pura menggelar rapat atau membentuk panitia
khusus sebagai bentuk perhatian dan solidaritas politik atas persoalan yang
sedang membelit masyarakat seperti kasus Lusikawak.
Namun, syahwat
politik loyo kala masyarakat dibelit persoalan sebagaimana sengketa tapal batas
warga Puor dengan Uruor. Atau intensitas perjalanan dinas yang diongkosi rakyat
dengan nilai miliaran rupiah.
Kondisi ini
memperlihatkan wakil rakyat tak tahu diri bahwa dia juga lahir dari rakyat dan
kabupaten miskin dan masih dililit sejumlah persoalan pembangunan yang
telanjang di seluruh kecamatan. Mereka dengan sengaja dan tanpa malu melakukan
kekerasan batin terhadap rakyat dengan tidak peduli, care atas nasib rakyat
selaku tuan atas kedaulatan.
Malah sebaliknya.
Rakyat dan daerah kerap ditelikung dengan urusan remeh temeh bahkan menyimpang
dari pertimbangan etika dan moral politik. Misalnya, setelah kita semua,
masyarakat Lembata, disajikan informasi dana perjalanan dinas bernilai miliaran
uang rakyat.
Mereka seenaknya
melakukan perjalanan dinas dengan alasan konsultasi publik, bimbingan teknis,
bahkan plesiran politik (dan bisnis) ke sejumlah propinsi seperti Kalimantan
Timur, Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan Sulawesi Tengah.
Bahkan saat berada di
Jakarta, misalnya, tanpa malu-malu meminta SPPD lanjutan. Padahal, sekembali ke
Lembata tak pernah mempresentasikan hasil plesirannya sekadar diketahui
masyarakat.
Bukan rahasia
Bukan rahasia lagi.
Sekali lagi bahwa ada segelintir wakil rakyat tanpa malu-malu dan beban
melakukan perjalanan dinas lanjutan yang menguras APBD yang notabene duit
rakyat meski urusannya tak jelas. Masyarakat pun tak akan pernah tahu-menahu
(bukan karena sengaja) berapa banyak biaya perjalanan siluman (SPPD lanjutan)
seorang wakil rakyat.
Segelintir dari
para wakil terhormat ini juga bicara asal bunyi, sekadar memenuhi kepuasan
eksekutif sebagai mitra yang perlu dikritisi setiap kebijakannya. Hal yang
paling terang terbaca dari mulai dari rencana hingga pelayaran perdana feri
Lewoleba-Wakatobi, yang terkesan minim argumentasi ekonomi, sosial, dan
politis.
Banyak yang
plesiran keluar daerah dan tak mengikuti rapat-rapat penting terkait
pendistribusian dana pembangunan. Akibatnya, anggaran terpusat pada wilayah
tertentu.
Lebih tragis, kini
tercipta jarak yang jauh antara rakyat dengan anggota DPRD. Mereka menjaga
jarak lebih jauh dibanding jarak antara rakyat dengan bulan. Beberapa desa yang
menyumbang suara besar bagi para sejumlah wakil rakyat ini tak pernah
dikunjungi selama reses. Beberapa pengurus partai di desa dan kecamatan mengaku
tak pernah tahu di mana para wakil rakyat reses di wilayahnya.
Para wakil rakyat
benar-benar lupa. Pertemuan dengan rakyat berakhir di saat pengumunan siapa
caleg terpilih. Kata masyarakat, meminjam syair penyanyi lokal Lembata Amaldus
Atawua dalam album Gadis Belabaja: Sa su tau tapi sa los.... (Saya sudah tahu
tapi saya biarkan). Dalam artian sederhana, rakyat dari desa penyumbang suara
besar sudah tahu wakilnya tak pernah reses di desanya, tetapi mereka biarkan
saja.
Ini memilukan,
memalukan, konyol, sontoloyo, dan kurang beres karena mengingkari dan
mengangkangi partai politik yang merupakan alat perjuangan politik. Mereka tak
ubahnya binatang buas yang masuk low politics. Janji-janji manis kepada rakyat
untuk kerap menyambangi warga kampung/desa untuk menyerap aspirasi hanya
utopis.
Laku para wakil
rakyat ini tak ubahnya seperti vampir, pengisap darah sebagaimana dilukiskan
sutradara film Abraham Lincoln: Vampire Hunter. Menurut peneliti ICW Febri
Diansyah dalam “Politisi Vampir”, meski sang sutradara bicara dalam kemasan
metafora, pengisap darah bisa jadi memiliki makna khusus untuk membaca realitas
politik belakangan.
Pengisap darah
mirip cerita penguasa yang merampas hak-hak mendasar warga negaranya. Berjubah
wakil rakyat, tetapi bersekongkol merampok anggaran negara dan menjual
kewenangan yang dimilikinya.
Di Lembata, wakil
rakyat bermental vampir sepertinya tengah bercokol di kabupaten miskin itu. Ini
benar-benar konyol, sontoloyo, kurang beres, dan mengkhawatirkan. Saatnya
masyarakat bergerak menghentikannya.
Sumber: Flores Pos,
22 November 2012
Salam bloger asal Lembata
ReplyDeletehansledjap.com