Gerakan Indonesia
Bangkit
Jagat politik
nasional tiba-tiba dikejutkan oleh riuh-rendahnya kaum Nahdliyin dan simpatisan
almarhum Presiden keempat KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berunjuk rasa di
cabang-cabang kantor Partai Demokrat hampir di seluruh Indonesia. Bahkan di
beberapa kota di Jawa Timur, para pengunjuk rasa ada yang melakukan sweeping
terhadap anggota partai yang dibina Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.
Kemarahan kaum
Nahdliyin itu dipicu oleh pernyataan Ketua Komisi VII DPR dari Partai Demokrat,
Sutan Bhatoegana, dalam sebuah diskusi rutin Dialog Kenegaraan yang digelar
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di lobi gedung DPD di Senayan, Jakarta, Rabu dua
pekan lalu (21/11).
Meskipun Bhatoegana
tidak secara eksplisit mengatakan pemerintahan Gus Dur jatuh karena kasus korupsi
dana Yanatera Bulog (Buloggate) dan sumbangan Sultan Brunei (lazim disebut
Bruneigate), yang beritanya marak pada pertengahan tahun 2000, penjelasannya di
berbagai forum - pemerintahan Gus Dur tidak bersih makanya dijatuhkan - kian
membuat publik geram. Makanya, eskalasi aksi di kantor-kantor Partai Demokrat
di seluruh Indonesia yang bergulir sejak Senin pekan lalu (26/11) pun terus
meningkat.
Beruntung Ketua
Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, juga beberapa petinggi lain partai
tersebut, lekas mengambil inisiatif meminta maaf kepada keluarga Gus Dur dan
warga Nahdliyin. Puncaknya, Kamis pekan lalu (29/11) Anas dan pimpinan lain
Partai Demokrat "membawa" Bhatoegana ke kediaman keluarga Gus Dur di
Ciganjur, Jakarta, untuk mencabut pernyataannya dan meminta maaf. Padahal
sebelumnya Bhatoegana keukeuh pada pendapatnya bahwa Gus Dur dilengserkan
karena korupsi.
Dalam konteks itu,
Bhatoegana memang terkesan memutarbalik fakta. Sebab kenyataannya, Sidang
Istimewa MPR, Juli 2001, digelar karena (Presiden) Gus Dur menetapkan Wakil
Kepala Polri Komjen Chaeruddin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kepala
Polri, menggantikan Jenderal (Pol) Soerojo Bimantoro. Ini, menurut Amien Rais
Cs, menyalahi Tap MPR No VII/MPR/2000.
Sedangkan
diterbitkannya Maklumat Dekrit oleh Gus Dur, merupakan langkah ekstra
konstitusional yang bisa dilakukan Presiden untuk menghentikan tindakan
inkonstitusional Amien Rais Cs. Tapi dalam perkembangannya, Amien Rais Cs malah
mengubah alasan SI MPR pada 23 Juli 2001 itu segera dilaksanakan karena
Presiden mengeluarkan dekrit.
Bagi pengikut Gus
Dur (Gusdurian), khususnya kaum Nahdliyin, tragedi konstitusi 2001 itu sangat
menyakitkan. Ketidakadilan politik yang diperlakukan kepada pemimpin mereka
waktu itu, terus terpendam, menjadi magma sosial yang setiap saat bisa
menggelegak dan keluar dari perut bumi, menjadi api kemarahan kolosal. Magma
dalam perut bumi NU itu kini memang bergolak-golak karena dipanaskan oleh
pemandangan politik yang janggal. Yaitu, skandal rekayasa bailout Bank Century
yang melibatkan orang-orang Istana dan sudah ditetapkan bermasalah oleh BPK,
DPR dan KPK kok dibiarkan mengambang. Juga, kasus Hambalang dan korupsi yang
melibatkan para menteri SBY lainnya. Pemandangan politik
yang kian permisif terhadap para koruptor di kalangan penguasa inilah yang
membuat warga Nahdliyin menjadi sangat sensitif.
Pernyataan Sutan
Bhatoegana (Bhatoeganagate) hanya pemicu meluapnya magma itu. Makanya,
permintaan maaf Bhatoegana dan para petinggi Partai Demokrat tidak menjamin meredanya
kemarahan. Mereka mengharapkan perlakuan politik yang sama kepada penguasa yang
korup. Apalagi, ini faktanya sudah sangat jelas dan terbuka.
Sumber: Suara Karya,
3 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!