Pemikir Kebangsaan dan
Keagamaan
Menteri Pemuda dan Olahraga
Andi Alifian Mallarangeng mengundurkan diri. Ada linangan air mata di bola
matanya. Pertanda orang baik dengan segala kesalahannya. Kebaikan bukanlah
karena seseorang tidak pernah bersalah, melainkan bagaimana sikapnya ketika bersalah.
Mengundurkan diri secara ksatria tanpa menunggu ujung proses hukum, mengakui
kesalahan sebagai tradisi baru penyelenggara negara, lantas merelakan diri
menjadi titian bagi pembongkaran mata rantai korupsi akan menggoreskan garis
kebaikan di atas kanvas kesalahan.
Kanvas kesalahan itu adalah
warna dasar kita semua. Jika kita tak berlumuran noda, kita tidak akan
menunjukkan keasyikan luar biasa dalam menyaksikan noda pada orang lain. Noda
diri juga cenderung hanya berani mengungkap kesalahan—korupsi ringan untuk
menutupi kesalahan—korupsi besar. Kesenangan melihat orang lain bersalah atau
menutupi kejahatan besar adalah proyeksi dari cahaya kegelapan di langit jiwa
kita. Dalam warna dasar kegelapan itu, pepohonan tua berbuah hampa, sedangkan
tunas-tunas muda layu sebelum berkembang. Bagaikan menegakkan batang terendam,
setiap percobaan kebangunan, jatuh kembali.
Kita ingin sarapan pagi dengan
harapan, tetapi tak banyak orang yang menyalakan cahaya jiwa. Bagaimana bisa
mengubah dunia jika tidak bisa mengubah diri sendiri? Jalaluddin Rumi berkata,
”Kemarin aku merasa pintar karena itu aku ingin mengubah dunia. Sekarang aku
lebih bijaksana, maka aku mulai mengubah diriku sendiri.”
Dikatakan oleh Ali bin Abi
Thalib kepada Malik al-Asytar, walinya di Mesir, ”Barangsiapa diangkat atau
mengangkat dirinya sebagai pemimpin, hendaklah ia mulai mengajari dirinya
sebelum mengajari orang lain. Dan, hendaknya ia mendidik dirinya dengan cara
memperbaiki tingkah lakunya sebelum mendidik orang lain dengan ucapan lidahnya.
Orang yang menjadi pendidik dirinya lebih patut dihormati daripada yang
mengajari orang lain.”
Setelah pemimpin bermawas
diri, bolehlah ia mengembangkan harmoni keluar dengan menjaga keseimbangan
antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab. Pemimpin bukan
hanya mengikuti kemauan rakyat, melainkan juga mendidik rakyat.
Dengan landasan ideologi
kerja, pemimpin harus bisa merumuskan platform perjuangan dengan prioritas
jelas. Pemimpin harus dapat menunjukkan fokus dalam mendefinisikan agenda
substantifnya demi memudahkan mobilisasi sumber daya dan pengorientasian
program bagi bawahan dan rakyatnya. Ambisi menyelesaikan segala masalah
sekaligus berisiko menangguk kegagalan di semua lini.
Menentukan fokus memerlukan
keberanian guna menghadapi pihak-pihak yang merasa terabaikan. Namun, ada
risiko besar bagi pemimpin yang terlalu berhati-hati mencari jalan aman:
peluang lewat, momentum lenyap, dan sinisme menguat. Untuk bisa mengarahkan
rakyat sesuai platform perjuangan, pemimpin harus dipercaya. Penilaian positif
soal moralitas pemimpin jadi taruhan pemulihan kepercayaan. Pengalaman
bangsa-bangsa menunjukkan, hanya pemimpin politik yang memiliki ketangguhan
”modal moral” yang bisa membawa komunitas politik keluar dari kubangan krisis.
Moral dalam arti ini adalah
kekuatan dan kualitas komitmen aktor/institusi politik dalam memperjuangkan
nilai-nilai, tujuan, dan kepentingan politik yang dikehendaki oleh ideologi
negara dan konstitusi. Kapital bukan sekadar potensi kebajikan yang dimiliki
seseorang, melainkan potensi yang bisa menggerakkan (roda politik). Yang
dikehendaki bukan sekadar kualitas moral individual, melainkan juga kemampuan
politik untuk menginvestasikan potensi kebajikan perseorangan ini ke dalam
mekanisme politik yang bisa memengaruhi tingkah laku masyarakat.
Setidaknya ada empat sumber
utama bagi seorang pemimpin untuk mengembangkan, menjaga, dan memobilisasi
”modal moral” secara politik. Pertama, dasaran moralitas (moral ground):
menyangkut nilai-nilai, tujuan, dan orientasi politik yang menjadi komitmen dan
dijanjikan pemimpin politik kepada konstituennya. Kedua, tindakan politik:
menyangkut kinerja pemimpin politik dalam menerjemahkan nilai-nilai
moralitasnya ke dalam ukuran-ukuran perilaku, kebijakan, dan keputusan
politiknya.
Ketiga, keteladanan:
menyangkut contoh- contoh perilaku moral yang konkret dan efektif, yang
menularkan kesan otentik dan keyakinan kepada komunitas politik.
Keempat, keefektifan
komunikasi politik: menyangkut kemampuan seorang pemimpin untuk
mengomunikasikan gagasan dan nilai moralitasnya dalam bentuk bahasa politik
yang efektif, yang mampu memengaruhi dan memperkuat moralitas rakyat.
Paceklik modal moral pemimpin
seperti itulah yang mencekik kehidupan politik dalam kemurungan. Pertanda
negeri yang tidak bahagia, ujar Galileo Galilei, yaitu negeri yang membutuhkan
pemimpin (pahlawan). Dambaan rakyat akan satria piningit dipenuhi dengan
kemunculan ”Satria Bergitar”.
Jika sang ”juru selamat” tak
kunjung datang, mengapa pemimpin yang ada tidak berusaha memperkokoh ”modal
moral” politiknya. Bukankah seperti bentuk-bentuk kapital lainnya, ini pun bisa
berkurang, bisa bertambah, atau bisa dicari cara untuk melengkapinya. Tidak
pernah ada kata terlambat untuk perbaikan dan pertobatan.
Bagi para pemimpin yang ada,
sebaiknya menirukan doa St Francis Asisi, ”Tuhanku, jadikan aku instrumen
kedamaian-Mu. Tatkala ada kebencian, kutaburkan cinta; tatkala ada luka, maaf;
tatkala ada keraguan, keyakinan; tatkala ada keputusasaan, harapan; tatkala ada
kegelapan, cahaya; tatkala ada kesedihan, keceriaan.”
Sumber: Kompas, 11 Desember
2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!