Direktur Social
Development Center
Publik negeri ini
tampaknya semakin prihatin, sinis dan kecewa dengan perilaku para politisi yang
jauh dari etika dan moralitas politik. Itu karena semakin banyaknya politisi
yang terjerat kasus suap dan korupsi serta berbagai bentuk percaloan politik lainnya
yang mencederai nurani rakyat. Untuk itu pula, publik pun terus bertanya, apa
yang sebenarnya dicari para politisi itu dalam berpolitik; apakah untuk
mendapatkan kemuliaan dan kehormatan dalam berpolitik atau hanya mengejar
kekayaan dan kenik-matan hidup duniawi?
Perilaku para
politisi seperti itu, bukan saja cermin rendahnya keadaban politik dan
keroposnya nurani, tetapi juga sebagai cermin dari politisi tidak beretika dan
tidak moralis, atau tidak memiliki spiritualitas politik. Sepak terjang politik
mereka berada di luar bingkai moralis, yang tidak menjadikan moralitas sebagai
pedoman dalam setiap jejak langkah politiknya.
Padahal, sebenarnya
politik itu memiliki seni dan keindahan, sebagaimana hakikat politik yang telah
dikmandangkan filsuf klasik Yunani, Aristoteles dan Plato. Yakni, sebagai
sarana untuk menata dan mengatur negara dalam rangka menciptakan kebaikan
bersama (common goods) atau kesejahteraan rakyat. Itu pulalah cermin dari etika
politik tertinggi, yakni berjuang untuk menciptakan kesejahteraan rakyat, dan
tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan dan kehormatan diri dan kelompok.
Politisi tanpa
moral, yang juga mencerminkan rendahnya keadaban politik dan keroposnya nurani,
pada hakikatnya menggambarkan matinya kecerdasan spiritual politik. Kecerdasan
moral ini memberikan kemampuan bawaan untuk membedakan yang benar dan yang
salah. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membawa kebenaran dan
mewartakan kebaikan, keadilan dan kesantunan dalam kehidupan politik.
Berpolitik
berdasarkan nilai-nilai spiritual, memandang politik sebagai sarana untuk
meraih tujuan mulia, yaitu menciptakan kesejahteraan rakyat. Politisi macam ini
akan melihat politik sebagai jalan luhur menuju terciptanya kesejahteraan
rakyat, bukan untuk kemuliaan diri diri. Ia akan menjunjung tinggi nilai-nilai
moral dalam berpolitik. Bukan sebaliknya, selalu memegahkan diri atau
mementingkan keuntungan bagi diri dan kelompoknya.
Menurut Danah Zohar
dan Ian Marshall dalam buku Spiritual Quotient (2004), seseorang yang menjalankan
hidupnya berdasarkan nilai-nilai spiritual, hidupnya akan lebih bermakna.
Sedangkan Ari Qynanjar Agustian dalam buku ESQ Power (2009) mengatakan,
sangatlah baik jika kecerdasan spiritual itu diintegrasikan dengan kecerdasan
emosional. Bahwa in-tegrasi antara kecerdasan emosional dan kecerdasan
spiritual sangat penting untuk kedewasaan dan kematangan politik. Alam pikir
politik dan emosi yang benar hanya akan tumbuh subur pada hati seorang politisi
yang bersih.
Jadi, kecerdasan
seorang politisi secara spiritual, me-mudahkan terbangunnya emosi yang cerdas
dalam berpolitik. Dengan kecerdasan spiritual dan emosi-nya, sang politisi akan
selalu bertindak secara positif dalam berpolitik, dan menjauhkan segala
perilaku buruk yang menodai kemuliaan, kehormatan dan harga diri dengan
meletakkan etika dan moralitas politik di atas segala-galanya hingga menjadi
negarawan yang memiliki keutamaan-keutamaan moral. Politisi macam ini memiliki
tanggung jawab moral terhadap kesejahteraan rakyat.
Tujuan etika
politik da-lam pandangan Paul Ricoeur (1990) adalah mengarahkan ke hidup baik,
bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkungan kebebasan dan
membangun institusi-institusi yang adil. Menurut Ricoeur, etika politik itu
tidak hanya menyangkut perilaku individual saja, tetapi terkait dengan tindakan
kolektif (etika sosial).
Sulit, mengharapkan
ke-sejahteraan rakyat lahir dari pemikiran dan tindakan para politisi yang
tidak memiliki kecerdasan spiritual, emosional, yang bersangarkan pada moral
dan etika. Tanpa itu semua, sulit mengharapkan perilaku dan sikap yang penuh
simpatik pada rakyat, dan memperjuangkan perbaikan nasib dan kesejahteraan
rakyat. Sebab, etika politik tertinggi adalah mencipakan kesejahteraan rakyat.
Jadi, bagaimana
kita bisa berharap dapat terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran di tengah
rakyat, jika para politisi kita doyan menerima suap dan gemar berkorupsi serta
berperilaku tidak bermoral dan tidak beretika? Inilah pertanyaan yang perlu
dijawab oleh para politisi kita dalam rangka pencerdasan dan pencerahan
kehidupan politik rakyat.
Yang sangat
dibutuhkan saat ini adalah perbaikan karakter dan pemenuhan spiritualitas
politik bagi politisi kita agar cerdas, santun dan beretika. Dan, mengharapkan
perbaikan karakter politisi hanya dengan imbauan-imbauan moral sama artinya
dengan menggarami lautan. Harapan ini merupakan sebuah tuntutan yang telah
mencapai titik urgensinya, tatkala nasib rakyat kecil sudah terlalu lama
terabaikan dalam tata politik negara dan kehidupan politik negara semakin jauh
dari etika dan moralitas.
Tanpa perbaikan
karakter dan pencerdasan spiritualitas politik dari para politisi, kita sulit
menemukan lorong masa depan kesejahteraan rakyat yang konkret. Para politisi
mungkin dapat berkilah bahwa mereka sudah bertindak cerdas penuh etika dalam
berpolitik. Namun, yang kembali menjadi persoalan adalah apakah kesulitan
rakyat selama ini sungguh menjadi 'energi' perjuangan politik mereka?
Kalau para politisi
kita selalu bermain-main dengan politik, bukan saja keadaban, kecerdasan dan
kepencerahan politik kita sulit terbangun, tetapi segala perkara penting bangsa
ini seperti pemberantasan korupsi, tidak serius dijalankan, dan mereka pun
semakin terjerembab jauh dalam perilaku korupsi. Akhirnya, bangsa ini kian
terkurung dalam ruang gelap, tanpa harapan.
Sumber: Suara Karya,
20 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!