Penulis mengikuti
Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya
Setara Institute
menyebut negara ini belum maksimal menjamin kebebasan beragama yang satu tahun
ini (2012) benar-benar terancam, khususnya di kota-kota besar. Praktik
intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan masih terus terjadi untuk mengganggu
kebebasan beragama dan berkeyakinan
Selama 2012
tercatat 264 pelanggaran kebebasan beragama dan 371 bentuk tindakan yang
menghambat kebebasan beragama menyebar di 28 provinsi. Lima provinsi dengan
tingkat pelanggaran paling tinggi secara berturut-turut: Jawa Barat dengan 76
peristiwa, Jawa Timur (45), Aceh (36), Jawa Tengah (30), dan Sulawesi Selatan
(17). Ini belum termasuk sweeping yang dilakukan FPI ke sejumlah tempat ibadah
(Koran Jakarta, 18 Desember 2012).
Akibat fenomena
ancaman kekerasan terhadap kebebasan beragama itu, logis jika menjelang Natal
ini, komunitas pemeluk agama Kristen di Indonesia merasa was-was akan menjadi
objek radikalisme atau praktik-praktik fundamentalisme seperti peledakan bom
dan sejenisnya. Mereka takut jangan-jangan saat menjalankan kegiatan atau
seremonial spiritualitas, tiba-tiba diserang dan dirusak.
Kekhawatiran itu
bukan tanpa alasan karena kondisi hubungan lintas agama di negara ini belum
benar-benar terkonstruksi secara harmonis. Tidak sedikit elemen sosial dan
agama yang belum mau menerima kehadiran pemeluk agama lain sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang pluralistik.
Kelompok minoritas
ditempatkan seolah-olah bukan bagian dari anatomi keindonesiaan, tetapi sebatas
suplemen sekunder yang tidak boleh banyak memunyai hak-hak asasi.
Ironisnya lagi,
sering kali dalam acara-acara yang bertemakan peringatan hari besar, seperti
Natal, berbagai peristiwa radikalisme agama, di antaranya yang berbentuk
terorisme atau perusakan fasilitas, terjadi sehingga mengusik kenyamanan dan
kedamaian.
Praktik semacam itu
tentu saja layak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia
(HAM) yang serius. Umat yang seharusnya bisa menjalankan kegiatan keagamaan
dengan khusyuk dan damai, terganggu karena tindakan segelintir orang yang
menghalalkan aksi-aksi destruktif.
Mereka seharusnya
paham bahwa hidup di negara ini dituntut taat konstitusi dan bukan melecehkan.
Konstitusi itu memuat suatu aturan fundamental mengenai sendi-sendi utama untuk
menegakkan bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus
kokoh, kuat, dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak.
Hamid S Attamimi
mengatakan konstitusi atau undang-undang dasar merupakan pegangan dan pembatas
sekaligus merupakan petunjuk cara suatu negara dijalankan. Hak bebas memeluk
atau menjalankan agama merupakan sendi utama konstitusi. Bila sendi ini
berhasil ditegakkan, bangunan negara menjadi kuat. Sebaliknya, saat dia runtuh
atau sering kali terkoyak, rapuhlah bangunan kehidupan kemasyarakatan dan
kenegaraan.
Umat tidak mungkin
bisa menikmati kebebasan dan kedamaian dalam menjalankan ritus keyakinannya
bila terus-menerus terjadi penyerangan, perusakan, penganiyaaan, dan bahkan
pembunuhan atas nama agama.
Seseorang atau komunitas
di mana pun berelasi dengan siapa pun dan dalam kondisi apa pun. Norma-norma
konstitusi wajib ditegakkan. Pelanggaran terhadap hak konstitusional bukan
hanya mengakibatkan desakralisasi kehidupan bernegara, tetapi juga menciptakan
dan menyemaikan atmosfer disharmonisasi dan kekacauan bersosial.
Marthin Luther
mengatakan bila kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan sarat kekacauan, hanya
menguntungkan kaum berandalan karena mereka selalu memanfaatkan kondisi negara
yang masyarakatnya tidak memiliki integeritas.
Penegakan
konstitusi merupakan jalan utama membangun keharmonisan dan kedamaian bagi
setiap kaum beragama di negeri ini. Hak konstitusional mutlak ditegakkan adalah
hak beragama dan menjalankan ritualnya seperti merayakan Natal.
Pasal 28E Ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan, "Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya..." dan Pasal 28E Ayat (2) berbunyi,
"Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya." Selain itu, kebebasan
beragama juga diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) "Negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu."
Garis konstitusi
itu sudah jelas di mana setiap orang berhak dan bebas menjalankan ajaran
agamanya, baik Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, maupun
keyakinan lainnya. Siapa pun dan kekuatan apa pun tidak boleh memaksakan
kehendak dengan cara mengganggu, mengancam, merusak, menyebarkan teror, atau
melakukan upaya-upaya individual maupun kolektif yang merugikan pemeluk agama
lainnya.
Perayaan Natal juga
merupakan hak konstitusional umat Kristiani yang bukan hanya tidak boleh
diganggu hak kebebasannya dalam menjalankan agama dan keyakinannya, tetapi kaum
agama lain juga berkewajiban melindunginya supaya mereka dapat merayakan Natal
dengan damai, tanpa gangguan tangan-tangan kotor (the dirty hands).
Sudah demikian
sering terdengar ungkapan negara ini bukan hanya milik satu agama atau
golongan, tetapi semua golongan, etnis, kelompok, dan elemen lainnya (semua
pemeluk agama). Sebagai milik semua elemen, tentu negara ini tak ubahya sebagai
kapal besar yang digunakan berselancar bersama secara fair, jujur, egaliter,
dan saling memartabatkan (memanusiakan). Jadi, bukan untuk saling mengganggu
dan mengalahkan.
Ucok Unpad (2012)
menyebut Indonesia dibangun berdasarkan kesepakatan semua pihak. Tanah
bangunanya terbentang dari Sabang sampai Merauke. Fondasinya terbuat dari lima
sila yang digali dari sejarah bangsa, sedangkan batu batanya adalah beragam
suku, etnis, budaya, dan agama dengan segala kemajemukanya dilapisi semen
keinginan atau perasaan senasib akibat penjajahan untuk hidup bersatu sebagai
sebuah bangsa. Artinya, Indonesia tidak elok jika dikatakan milik sepihak saja.
Indonesia adalah satu untuk semua dan semua untuk satu (one for all and all for
one).
Pernyataan itu
semacam warning pada kita, khususnya yang selama ini memunculkan dan
menampilkan agama berwajah darah untuk mengonstruksi kecerdasan nalar dan sikap
keberagamaannya yang berbasis universalitas, pluralitas, dan humanitas.
Beragama secara konstitusional bukan sebatas mencari yang benar dan memuaskan
kepentingan spiritualitas untuk diri dan kelompoknya, tetapi juga untuk
membahagiakan, menyelamatkan, dan mendamaikan sesama (pemeluk agama lain).
Jika dalam perayaan
Natal kali ini komunitas Kristiani bisa menjalankan agama atau keyakinannya
dengan damai, harmonis, dan penuh kasih, ini dapat menjadi tolok ukur bahwa hak
konstitusional beragama benar-benar ditegakkan.
Sumber: Koran
Jakarta, 20 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!