Headlines News :
Home » » Menegakkan Hak Beragama

Menegakkan Hak Beragama

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, December 20, 2012 | 10:58 PM

Oleh Abdul Wahid
Penulis mengikuti Program Doktor Ilmu Hukum Untag Surabaya

Setara Institute menyebut negara ini belum maksimal menjamin kebebasan beragama yang satu tahun ini (2012) benar-benar terancam, khususnya di kota-kota besar. Praktik intoleransi, diskriminasi, dan kekerasan masih terus terjadi untuk mengganggu kebebasan beragama dan berkeyakinan

Selama 2012 tercatat 264 pelanggaran kebebasan beragama dan 371 bentuk tindakan yang menghambat kebebasan beragama menyebar di 28 provinsi. Lima provinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi secara berturut-turut: Jawa Barat dengan 76 peristiwa, Jawa Timur (45), Aceh (36), Jawa Tengah (30), dan Sulawesi Selatan (17). Ini belum termasuk sweeping yang dilakukan FPI ke sejumlah tempat ibadah (Koran Jakarta, 18 Desember 2012).

Akibat fenomena ancaman kekerasan terhadap kebebasan beragama itu, logis jika menjelang Natal ini, komunitas pemeluk agama Kristen di Indonesia merasa was-was akan menjadi objek radikalisme atau praktik-praktik fundamentalisme seperti peledakan bom dan sejenisnya. Mereka takut jangan-jangan saat menjalankan kegiatan atau seremonial spiritualitas, tiba-tiba diserang dan dirusak.

Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan karena kondisi hubungan lintas agama di negara ini belum benar-benar terkonstruksi secara harmonis. Tidak sedikit elemen sosial dan agama yang belum mau menerima kehadiran pemeluk agama lain sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang pluralistik.

Kelompok minoritas ditempatkan seolah-olah bukan bagian dari anatomi keindonesiaan, tetapi sebatas suplemen sekunder yang tidak boleh banyak memunyai hak-hak asasi.

Ironisnya lagi, sering kali dalam acara-acara yang bertemakan peringatan hari besar, seperti Natal, berbagai peristiwa radikalisme agama, di antaranya yang berbentuk terorisme atau perusakan fasilitas, terjadi sehingga mengusik kenyamanan dan kedamaian.

Praktik semacam itu tentu saja layak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang serius. Umat yang seharusnya bisa menjalankan kegiatan keagamaan dengan khusyuk dan damai, terganggu karena tindakan segelintir orang yang menghalalkan aksi-aksi destruktif.

Mereka seharusnya paham bahwa hidup di negara ini dituntut taat konstitusi dan bukan melecehkan. Konstitusi itu memuat suatu aturan fundamental mengenai sendi-sendi utama untuk menegakkan bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus kokoh, kuat, dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak.

Hamid S Attamimi mengatakan konstitusi atau undang-undang dasar merupakan pegangan dan pembatas sekaligus merupakan petunjuk cara suatu negara dijalankan. Hak bebas memeluk atau menjalankan agama merupakan sendi utama konstitusi. Bila sendi ini berhasil ditegakkan, bangunan negara menjadi kuat. Sebaliknya, saat dia runtuh atau sering kali terkoyak, rapuhlah bangunan kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan.

Umat tidak mungkin bisa menikmati kebebasan dan kedamaian dalam menjalankan ritus keyakinannya bila terus-menerus terjadi penyerangan, perusakan, penganiyaaan, dan bahkan pembunuhan atas nama agama.

Seseorang atau komunitas di mana pun berelasi dengan siapa pun dan dalam kondisi apa pun. Norma-norma konstitusi wajib ditegakkan. Pelanggaran terhadap hak konstitusional bukan hanya mengakibatkan desakralisasi kehidupan bernegara, tetapi juga menciptakan dan menyemaikan atmosfer disharmonisasi dan kekacauan bersosial.

Marthin Luther mengatakan bila kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan sarat kekacauan, hanya menguntungkan kaum berandalan karena mereka selalu memanfaatkan kondisi negara yang masyarakatnya tidak memiliki integeritas.

Penegakan konstitusi merupakan jalan utama membangun keharmonisan dan kedamaian bagi setiap kaum beragama di negeri ini. Hak konstitusional mutlak ditegakkan adalah hak beragama dan menjalankan ritualnya seperti merayakan Natal.

Pasal 28E Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menggariskan, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya..." dan Pasal 28E Ayat (2) berbunyi, "Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya." Selain itu, kebebasan beragama juga diatur dalam Pasal 29 Ayat (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

Garis konstitusi itu sudah jelas di mana setiap orang berhak dan bebas menjalankan ajaran agamanya, baik Islam, Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, Konghucu, maupun keyakinan lainnya. Siapa pun dan kekuatan apa pun tidak boleh memaksakan kehendak dengan cara mengganggu, mengancam, merusak, menyebarkan teror, atau melakukan upaya-upaya individual maupun kolektif yang merugikan pemeluk agama lainnya.

Perayaan Natal juga merupakan hak konstitusional umat Kristiani yang bukan hanya tidak boleh diganggu hak kebebasannya dalam menjalankan agama dan keyakinannya, tetapi kaum agama lain juga berkewajiban melindunginya supaya mereka dapat merayakan Natal dengan damai, tanpa gangguan tangan-tangan kotor (the dirty hands).

Sudah demikian sering terdengar ungkapan negara ini bukan hanya milik satu agama atau golongan, tetapi semua golongan, etnis, kelompok, dan elemen lainnya (semua pemeluk agama). Sebagai milik semua elemen, tentu negara ini tak ubahya sebagai kapal besar yang digunakan berselancar bersama secara fair, jujur, egaliter, dan saling memartabatkan (memanusiakan). Jadi, bukan untuk saling mengganggu dan mengalahkan.

Ucok Unpad (2012) menyebut Indonesia dibangun berdasarkan kesepakatan semua pihak. Tanah bangunanya terbentang dari Sabang sampai Merauke. Fondasinya terbuat dari lima sila yang digali dari sejarah bangsa, sedangkan batu batanya adalah beragam suku, etnis, budaya, dan agama dengan segala kemajemukanya dilapisi semen keinginan atau perasaan senasib akibat penjajahan untuk hidup bersatu sebagai sebuah bangsa. Artinya, Indonesia tidak elok jika dikatakan milik sepihak saja. Indonesia adalah satu untuk semua dan semua untuk satu (one for all and all for one).

Pernyataan itu semacam warning pada kita, khususnya yang selama ini memunculkan dan menampilkan agama berwajah darah untuk mengonstruksi kecerdasan nalar dan sikap keberagamaannya yang berbasis universalitas, pluralitas, dan humanitas. Beragama secara konstitusional bukan sebatas mencari yang benar dan memuaskan kepentingan spiritualitas untuk diri dan kelompoknya, tetapi juga untuk membahagiakan, menyelamatkan, dan mendamaikan sesama (pemeluk agama lain).

Jika dalam perayaan Natal kali ini komunitas Kristiani bisa menjalankan agama atau keyakinannya dengan damai, harmonis, dan penuh kasih, ini dapat menjadi tolok ukur bahwa hak konstitusional beragama benar-benar ditegakkan.
Sumber: Koran Jakarta, 20 Desember 2012

SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger