Oleh
Max Regus
Peneliti Doktoral The International
Institute of Social Studies
Universitas Erasmus Belanda
Dua soal penting
diangkat editorial Media Indonesia
seminggu yang lalu. Kedua soal ini saling berhubungan erat. Soal pertama –dalam
editorial– Pemimpin Parpol Tidak Masuk Hitungan (4/12) – berhubungan dengan
krisis kepercayaan politik yang dialami para pemuncak partai politik (Parpol).
Survei politik pencapresan 2014 menyiratkan runtuhnya dominasi para pemimpin
parpol. Mereka sedang tidak berada di benak publik untuk menjadi calon
presiden. Popularitas mereka kalah dibandingkan dengan sejumlah tokoh profesional
dengan posisi tawar politik kuat, muncul dari komitmen dan tanggung jawab
publik yang kuat. Mengapa para tokoh parpol menerima penghakiman langsung dari
publik –dalam bentuk ambruknya popularitas politik?
Jawaban untuk
pertanyaan di atas mudah ditemukan dalam soal kedua dalam editorial –Menuju
Puncak Hambalang– (7/12). Kejahatan korupsi yang melekat erat dalam pola laku
petinggi politik di negeri ini –yang semuanya bersandar pada sejumlah kekuatan
politik utama– telah membuat publik berpaling– meninggalkan para pemimpin
parpol sebagai calon presiden. Parpol telah dianggap sebagai salah satu sumber
musibah politik di Indonesia. Parpol seolah menjadi tempat berlindung para
tersangka dan terdakwa kasus-kasus korupsi.
Spektrum
Sudah lama demokrasi
menyodorkan paradoks. Paradoks itu nampak dalam diri sejumlah pejabat publik
yang mabuk status, posisi dan privelese politik. Hingga pada gilirannya mereka
menyapu bersih semua hal yang dekat dengan jangkauan politik mereka. Selagi
mengendalikan posisi politik maka apapun bisa dilakukan secara sahih untuk
kepentingan diri, keluarga dan kelompok politik. Rakyat yang percaya bahwa
demokrasi akan menjadi jalan tunggal menuju masa depan yang bebas kemiskinan
ternyata berhadadapan dengan kelakuan politik para wakil mereka yang jauh dari
desah nestapa rakyat paling miskin. Bukan hal sulit untuk menemukan sikap
tindak politik seperti ini. Demokrasi adalah sumber keuntungan multi-wajah
untuk pelaku politik.
Kekuasaan yang
mengumbar kekejian melalui serangkaian penyelewengan dan sistematisasi
perusakan basis pembangunan menjadi pangkal kerunyaman politik di negeri ini.
Ketika para penguasa membangun medan pandang yang keliru tentang kekuasaan,
maka publik serentak bergerak ke sisi yang lebih kritis. Tidak mengherankan,
akumulasi kejahatan korupsi yang ada di ruang kekuasaan menumbuhkan antipati
politik publik. Begitu para pejabat publik menjadikan kekuasaan sebagai sumber
pemasukan profit ekonomi-politik, maka dengan seketika mereka terjerembab ke
dalam pusaran laku politik anti-demokrasi.
Keadaan semakin
parah manakala kasus-kasus korupsi yang sudah mulai terungkap menjadi senjata
yang akan digunakan lawan politik untuk menembak saingan politik. Selalu ada
kemungkinan di mana lawan politik akan menarik keuntungan dari kasus-kasus
korupsi. Publik semestinya harus tetap menaruh sikap awas. Usaha menyembunyikan
kejahatan di balik kasus-kasus korupsi seperti mega proyek (korupsi) Hambalang
yang sudah menyentuh orang-orang kunci kekuasaan adalah perilaku yang sama buruknya.
Tidak banyak
perubahan yang akan diraih ketika kecenderungan mentalitas politik seperti ini
masih menjadi bagian dari kultur kekuasaan. Kekuasaan tidak menunjukkan
penyesalan sama sekali ketika KPK menyebut Andi Mallarangeng sebagai tersangka
kasus korupsi Hambalang. Tidak nampak bagaimana kekuasaan membuat refleksi
radikal atas kasus ini. Yang ramai diperbincangkan justru bagaimana dengan
nasib kursi kosong kementerian yang ditinggalkan Andi Mallarangeng. Beberapa
Parpol bersiap-siap merebut posisi yang sedang kosong. Sungguh, cara pandang
yang tidak memenuhi unsur etis-moral politik. Penguasa tetap terpenjara dalam
spektrum yang sesat tentang kekuasaan. Di tengah suasana kelabu politik
nasional mereka masih memikirkan jatah partai dan jatah kekuatan politik.
Radikalisasi
Bagaimana ujung
dari pengadilan publik terhadap kader-kader Parpol? Apakah pergeseran kesadaran
politik publik memiliki efek signifikan untuk perubahan kultur kekuasaan di
Indonesia? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan mengingat arus perubahan
pilihan politik publik yang mulai (sudah) meninggalkan tokoh parpol untuk
kancah pilpres 2014. Sementara, ruang untuk tokoh-tokoh non-parpol tidak
tersedia dalam konteks Pilpres 2014.
Kendali proses
politik masih berada di tangan partai politik. Pakem demokratisasi belum
berubah. Demokratisasi hanya menjadi kendaraan politik pemimpin parpol untuk
mendapatkan legitimasi dan menarik keuntungan ekonomi dan politik dari proses
yang ada. Dengan medan politik dan aras mekanisme demokrasi yang masih seperti
sekarang, maka tidak banyak perubahan yang bisa dicapai dalam Pilpres 2014.
Seberapapun menakjubkan popularitas dan elektabilitas banyak tokoh di luar
parpol, mereka tentu tidak mudah menjadi kandidat pemimpin politik.
Apa yang dapat
dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh publik adalah mengontrol secara kritis
sejumlah tokoh politik generasi baru yang memperlihatkan kapasitas sebagai
pemimpin masa depan di negeri ini. Banyak pemimpin politik lokal yang bisa
muncul sebagai pemimpin alternatif di Indonesia. Banyak cendekiawan,
intelektual, budayawan yang menunjukkan prospek sebagai sekumpulan calon
pemimpin penuh harapan.
Sikap kritis publik
terhadap kiprah sedikit tokoh yang berkualitas ini akan mengacu pada dua tujuan
penting. Pertama, mereka akan terhindarkan dari rasa jenuh untuk selalu tampil
beda dari para pejabat publik (politisi) kebanyakan yang sudah sarat dengan
isu-isu kejahatan kekuasaan, yang memuakkan selera politik publik. Sebab rasa
jenuh untuk selalu menampilkan kualitas terbaik akan mempercepat pelapukan
kesadaran dari tokoh-tokoh politik alternatif ini. Publik harus menjaga
trend-trend cemerlang ini agar segelintir pemimpin politik generasi baru ini
bisa memengaruhi konstelasi Pilpres 2014.
Kedua, pengawalan
kritis publik akan meluputkan mereka terhadap skenario sesat kekuasaan yang
mungkin secara sengaja meruntuhkan kredibilitas dengan jerat-jerat manis
kekuasaan. Saat ini, segelintir pemimpin politik yang berdedikasi kepada
kepentingan rakyat adalah musuh utama para penguasa yang busuk. Radikalisasi
kontrol publik terhadap jejak laku para pemimpin politik generasi alternatif
ini adalah keniscayaan. Dengan itu, para pejabat publik yang disesaki ambisi
dan kerakusan tidak mampu memperluas medan pengaruh jahat mereka secara masif.
Prospek
Kita tiba pada
pertanyaan kunci ini. Apakah demokrasi masih memiliki prospek di Indonesia.
Demokrasi –dengan apapun term ini
didefinisikan– berdekatan dengan rasa keadilan publik. Atau, bagaimana
sebetulnya langkah yang diambil untuk memproyeksikan sekelumit harapan yang
ditemukan publik dalam diri segelintir tokoh politik alternatif. Sungguh tidak
dapat disangkal bahwa demokrasi sedang menghadapi serangan premise-premise
sesat yang muncul dari perilaku kekuasaan kanibalistik.
Kita sedang
menerima satu kesimpulan penting bahwa kekuatan politik utama yang muncul dari
Parpol justru sedang memainkan kalkulus kekuasaan yang membahayakan
demokratisasi. Hilangnya rasa duka terhadap pemimpin atau kader pemimpin negara
akibat kasus korupsi, muncul rasa senang dan diskusi yang serampangan tentang
jatah kekuasaan, sungguh menimbulkan rasa muak politik yang tidak tertahankan.
Apakah para pejabat
partai politik, pejabat publik, wakil rakyat tidak menyadari begitu banyaknya
uang rakyat yang digunakan untuk mencetak satu orang pemimpin politik atau
pejabat publik –yang pada akhirnya menistakan publik dan bangsa dengan aksi
keji, menghina kekuasaan dengan tindakan-tindakan korupsi? Hilangnya rasa sesal
semacam ini menjadi pangkal segala laku politik yang membuat kekuasaan ´retak
pecah´ kehilangan kewibawaan. Kekuasaan sedang mengingkari maksud kehadirannya
untuk memperbesar medan kesejahteraan sosial.
Banyak jalan untuk
menyelamatkan muka kekuasaan sebagai alat politik untuk memperjuangkan kepentingan
orang banyak. Publik harus membantu dengan sungguh-sungguh agar dua tahun
menjelang proses politik pilpres dan pileg ada proses cuci gudang kekuasaan dan
kekuatan politik. Kontrol publik akan mendorong parpol untuk lebih berhati-hati
memperkenalkan calon pemimpin dan pejabat publik mereka. Barangkali, hal ini
yang akan menentukan apakah demokrasi masih mempunyai prospek yang baik dan
kekuasaan kembali ke jalur yang benar.
Sumber: Media Indonesia, 11 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!