Headlines News :
Home » » Retak Pecah Kekuasaan

Retak Pecah Kekuasaan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, December 11, 2012 | 8:08 PM


Oleh Max Regus
Peneliti Doktoral The International Institute of Social Studies
Universitas Erasmus Belanda

Dua soal penting diangkat editorial Media Indonesia seminggu yang lalu. Kedua soal ini saling berhubungan erat. Soal pertama –dalam editorial– Pemimpin Parpol Tidak Masuk Hitungan (4/12) – berhubungan dengan krisis kepercayaan politik yang dialami para pemuncak partai politik (Parpol). Survei politik pencapresan 2014 menyiratkan runtuhnya dominasi para pemimpin parpol. Mereka sedang tidak berada di benak publik untuk menjadi calon presiden. Popularitas mereka kalah dibandingkan dengan sejumlah tokoh profesional dengan posisi tawar politik kuat, muncul dari komitmen dan tanggung jawab publik yang kuat. Mengapa para tokoh parpol menerima penghakiman langsung dari publik –dalam bentuk ambruknya popularitas politik?

Jawaban untuk pertanyaan di atas mudah ditemukan dalam soal kedua dalam editorial –Menuju Puncak Hambalang– (7/12). Kejahatan korupsi yang melekat erat dalam pola laku petinggi politik di negeri ini –yang semuanya bersandar pada sejumlah kekuatan politik utama– telah membuat publik berpaling– meninggalkan para pemimpin parpol sebagai calon presiden. Parpol telah dianggap sebagai salah satu sumber musibah politik di Indonesia. Parpol seolah menjadi tempat berlindung para tersangka dan terdakwa kasus-kasus korupsi.

Spektrum

Sudah lama demokrasi menyodorkan paradoks. Paradoks itu nampak dalam diri sejumlah pejabat publik yang mabuk status, posisi dan privelese politik. Hingga pada gilirannya mereka menyapu bersih semua hal yang dekat dengan jangkauan politik mereka. Selagi mengendalikan posisi politik maka apapun bisa dilakukan secara sahih untuk kepentingan diri, keluarga dan kelompok politik. Rakyat yang percaya bahwa demokrasi akan menjadi jalan tunggal menuju masa depan yang bebas kemiskinan ternyata berhadadapan dengan kelakuan politik para wakil mereka yang jauh dari desah nestapa rakyat paling miskin. Bukan hal sulit untuk menemukan sikap tindak politik seperti ini. Demokrasi adalah sumber keuntungan multi-wajah untuk pelaku politik.

Kekuasaan yang mengumbar kekejian melalui serangkaian penyelewengan dan sistematisasi perusakan basis pembangunan menjadi pangkal kerunyaman politik di negeri ini. Ketika para penguasa membangun medan pandang yang keliru tentang kekuasaan, maka publik serentak bergerak ke sisi yang lebih kritis. Tidak mengherankan, akumulasi kejahatan korupsi yang ada di ruang kekuasaan menumbuhkan antipati politik publik. Begitu para pejabat publik menjadikan kekuasaan sebagai sumber pemasukan profit ekonomi-politik, maka dengan seketika mereka terjerembab ke dalam pusaran laku politik anti-demokrasi.

Keadaan semakin parah manakala kasus-kasus korupsi yang sudah mulai terungkap menjadi senjata yang akan digunakan lawan politik untuk menembak saingan politik. Selalu ada kemungkinan di mana lawan politik akan menarik keuntungan dari kasus-kasus korupsi. Publik semestinya harus tetap menaruh sikap awas. Usaha menyembunyikan kejahatan di balik kasus-kasus korupsi seperti mega proyek (korupsi) Hambalang yang sudah menyentuh orang-orang kunci kekuasaan adalah perilaku yang sama buruknya.

Tidak banyak perubahan yang akan diraih ketika kecenderungan mentalitas politik seperti ini masih menjadi bagian dari kultur kekuasaan. Kekuasaan tidak menunjukkan penyesalan sama sekali ketika KPK menyebut Andi Mallarangeng sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang. Tidak nampak bagaimana kekuasaan membuat refleksi radikal atas kasus ini. Yang ramai diperbincangkan justru bagaimana dengan nasib kursi kosong kementerian yang ditinggalkan Andi Mallarangeng. Beberapa Parpol bersiap-siap merebut posisi yang sedang kosong. Sungguh, cara pandang yang tidak memenuhi unsur etis-moral politik. Penguasa tetap terpenjara dalam spektrum yang sesat tentang kekuasaan. Di tengah suasana kelabu politik nasional mereka masih memikirkan jatah partai dan jatah kekuatan politik.

Radikalisasi

Bagaimana ujung dari pengadilan publik terhadap kader-kader Parpol? Apakah pergeseran kesadaran politik publik memiliki efek signifikan untuk perubahan kultur kekuasaan di Indonesia? Pertanyaan ini penting untuk dikemukakan mengingat arus perubahan pilihan politik publik yang mulai (sudah) meninggalkan tokoh parpol untuk kancah pilpres 2014. Sementara, ruang untuk tokoh-tokoh non-parpol tidak tersedia dalam konteks Pilpres 2014.

Kendali proses politik masih berada di tangan partai politik. Pakem demokratisasi belum berubah. Demokratisasi hanya menjadi kendaraan politik pemimpin parpol untuk mendapatkan legitimasi dan menarik keuntungan ekonomi dan politik dari proses yang ada. Dengan medan politik dan aras mekanisme demokrasi yang masih seperti sekarang, maka tidak banyak perubahan yang bisa dicapai dalam Pilpres 2014. Seberapapun menakjubkan popularitas dan elektabilitas banyak tokoh di luar parpol, mereka tentu tidak mudah menjadi kandidat pemimpin politik.

Apa yang dapat dikerjakan secara sungguh-sungguh oleh publik adalah mengontrol secara kritis sejumlah tokoh politik generasi baru yang memperlihatkan kapasitas sebagai pemimpin masa depan di negeri ini. Banyak pemimpin politik lokal yang bisa muncul sebagai pemimpin alternatif di Indonesia. Banyak cendekiawan, intelektual, budayawan yang menunjukkan prospek sebagai sekumpulan calon pemimpin penuh harapan.

Sikap kritis publik terhadap kiprah sedikit tokoh yang berkualitas ini akan mengacu pada dua tujuan penting. Pertama, mereka akan terhindarkan dari rasa jenuh untuk selalu tampil beda dari para pejabat publik (politisi) kebanyakan yang sudah sarat dengan isu-isu kejahatan kekuasaan, yang memuakkan selera politik publik. Sebab rasa jenuh untuk selalu menampilkan kualitas terbaik akan mempercepat pelapukan kesadaran dari tokoh-tokoh politik alternatif ini. Publik harus menjaga trend-trend cemerlang ini agar segelintir pemimpin politik generasi baru ini bisa memengaruhi konstelasi Pilpres 2014.

Kedua, pengawalan kritis publik akan meluputkan mereka terhadap skenario sesat kekuasaan yang mungkin secara sengaja meruntuhkan kredibilitas dengan jerat-jerat manis kekuasaan. Saat ini, segelintir pemimpin politik yang berdedikasi kepada kepentingan rakyat adalah musuh utama para penguasa yang busuk. Radikalisasi kontrol publik terhadap jejak laku para pemimpin politik generasi alternatif ini adalah keniscayaan. Dengan itu, para pejabat publik yang disesaki ambisi dan kerakusan tidak mampu memperluas medan pengaruh jahat mereka secara masif.

Prospek

Kita tiba pada pertanyaan kunci ini. Apakah demokrasi masih memiliki prospek di Indonesia. Demokrasi –dengan apapun term ini didefinisikan– berdekatan dengan rasa keadilan publik. Atau, bagaimana sebetulnya langkah yang diambil untuk memproyeksikan sekelumit harapan yang ditemukan publik dalam diri segelintir tokoh politik alternatif. Sungguh tidak dapat disangkal bahwa demokrasi sedang menghadapi serangan premise-premise sesat yang muncul dari perilaku kekuasaan kanibalistik.

Kita sedang menerima satu kesimpulan penting bahwa kekuatan politik utama yang muncul dari Parpol justru sedang memainkan kalkulus kekuasaan yang membahayakan demokratisasi. Hilangnya rasa duka terhadap pemimpin atau kader pemimpin negara akibat kasus korupsi, muncul rasa senang dan diskusi yang serampangan tentang jatah kekuasaan, sungguh menimbulkan rasa muak politik yang tidak tertahankan.

Apakah para pejabat partai politik, pejabat publik, wakil rakyat tidak menyadari begitu banyaknya uang rakyat yang digunakan untuk mencetak satu orang pemimpin politik atau pejabat publik –yang pada akhirnya menistakan publik dan bangsa dengan aksi keji, menghina kekuasaan dengan tindakan-tindakan korupsi? Hilangnya rasa sesal semacam ini menjadi pangkal segala laku politik yang membuat kekuasaan ´retak pecah´ kehilangan kewibawaan. Kekuasaan sedang mengingkari maksud kehadirannya untuk memperbesar medan kesejahteraan sosial.

Banyak jalan untuk menyelamatkan muka kekuasaan sebagai alat politik untuk memperjuangkan kepentingan orang banyak. Publik harus membantu dengan sungguh-sungguh agar dua tahun menjelang proses politik pilpres dan pileg ada proses cuci gudang kekuasaan dan kekuatan politik. Kontrol publik akan mendorong parpol untuk lebih berhati-hati memperkenalkan calon pemimpin dan pejabat publik mereka. Barangkali, hal ini yang akan menentukan apakah demokrasi masih mempunyai prospek yang baik dan kekuasaan kembali ke jalur yang benar.
Sumber: Media Indonesia, 11 Desember 2012
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger