Oleh Laode M Syarif
Penasihat Senior Bidang Hukum dan
Lingkungan di Kemitraan;
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
DUA minggu
terakhir ini kita dikagetkan berita miris dan menyedihkan tentang sejumlah
anggota DPRD yang baru saja terpilih ketahuan menggadaikan SK untuk bayar utang
selama kampanye dan kelangsungan hidup mereka.
Kita juga geram sebab kita semua tahu mereka berutang
sampai ratusan juta bahkan miliaran rupiah karena saat kampanye mereka berusaha
menarik simpati masyarakat dengan membeli suara dan bukan menawarkan program
kerja yang baik dan disenangi masyarakat. Kita berhak marah dan kecewa karena
anggota DPRD yang terlilit utang akan sulit berkonsentrasi untuk menyalurkan
aspirasi masyarakat yang diwakilinya, sebab mereka akan lebih banyak
memperhatikan diri-sendiri untuk melunasi utang-utangnya.
Sudah rahasia umum, pemilu kita penuh kecurangan dan
permainan uang, tapi para petinggi parpol yang jadi tempat bernaung para wakil
rakyat menutup mata, bahkan menyuburkan kecurangan dan permainan uang yang
terjadi di parpol mereka.
Survei Kemitraan tahun 2001 dengan jelas menempatkan
parpol sebagai salah satu lembaga publik terkorup. Kondisi ini tak berubah pada
survei sepuluh tahun kemudian, bahkan makin mengukuhkan posisi parpol sebagai
salah satu lembaga publik terkorup di Indonesia. Hasil kedua survei diperkuat
survei-survei terbaru yang dilakukan lembaga lain, seperti Political
Communication Institute (Polcomm Institute) yang menyatakan mayoritas penduduk
Indonesia tak percaya pada parpol (Kompas, 9/2/2014). Transparency
International Indonesia melalui Survei Global Barometer 2013 mengungkapkan
parpol adalah lembaga terkorup keempat di Indonesia setelah kepolisian,
parlemen, dan peradilan.
Intinya, parpol adalah lembaga publik yang masih penuh
dengan korupsi. Anggota DPRD yang menggadaikan SK mereka adalah produk dari
lingkungan yang sangat korup. Maraknya korupsi pada parpol disebabkan banyak
hal, tetapi yang paling dominan adalah ketidakjelasan sumber dan pengelolaan
keuangan parpol. UU No 2 Tahun 2008 jo UU No 2/2011 tentang Partai Politik
menyatakan bahwa sumber keuangan partai politik berasal dari: (a) iuran
anggota; (b) sumbangan yang sah menurut hukum; dan (c) bantuan keuangan dari
APBN/APBD.
Kenyataannya, hampir semua parpol tak dapat berharap dari
iuran anggota, sedangkan yang berasal dari APBN/APBD hanya 5 persen dari total
keuangan parpol. Dapat disimpulkan, sumber utama keuangan politik adalah
sumbangan "siluman" karena sering tak diketahui asal-usul dan
jumlahnya. Jangan heran dengan sistem pemilu yang transaksional karena uang
yang jadi mesin parpol tak jelas asal-usulnya.
Usulan perbaikan
Untuk mencegah kejadian serupa di masa mendatang, tak
cukup dengan hanya menghujat dan menyalahkan para anggota DPRD yang
menggadaikan SK mereka, tanpa mengatasi akar permasalahan yang menimbulkan
fenomena ini. Salah satu cara yang diyakini dapat memitigasi praktik jual beli
suara ialah dengan memperbaiki sistem keuangan parpol di Indonesia.
Kajian yang kami lakukan di Kemitraan, perbaikan sistem
keuangan parpol dapat dilakukan dengan memperbaiki "empat pilar"
keuangan parpol yang meliputi: (i) pemasukan, (ii) pengelolaan, (iii)
pengeluaran, dan (iv) pengawasan (Kemitraan, "Anomali Keuangan Partai
Politik").
Dari segi pemasukan, parpol harus transparan dalam
pencatatan sumber keuangan mereka. Sampai hari ini, tak ada satu parpol pun
yang memiliki catatan lengkap dan transparan tentang asal-muasal keuangan
mereka, khususnya yang berasal dari sumbangan pihak lain. Ketiadaan catatan
yang baik pasti akan menyuburkan praktik korupsi dalam parpol tersebut.
Dari segi manajemen keuangan, parpol harus memiliki sistem
manajemen keuangan yang transparan dan akuntabel, agar pengelolaan keuangan
mereka sesuai standar-standar sistem akuntansi modern yang baik. Adalah ironis
jika sebuah parpol yang salah satu fungsinya menentukan arah politik berbangsa
dan bernegara, dia sendiri tak memiliki sistem keuangan yang baik. Kajian
Kemitraan menunjukkan, tak ada satu parpol pun yang memiliki sistem manajemen
keuangan yang baik.
Kenyataan ini harus dilihat sebagai "lonceng
kematian demokrasi" dan masyarakat Indonesia tak boleh membiarkan hal ini
berlangsung terus-menerus. Sudah saatnya kita menggunakan suara kita untuk
menuntut elite parpol memperbaiki sistem manajemen keuangan mereka karena
sistem keuangan mereka sekarang lebih mirip sistem keuangan organisasi
terlarang yang penuh rahasia dan kegelapan.
Ketidakberesan dari segi pengeluaran dan belanja parpol
dapat dilihat pada tingginya selisih antara keuangan yang mereka laporkan dan
belanja iklan yang mereka keluarkan. Sebagai contoh, pada kuartal I-2014,
belanja iklan Partai Golkar untuk pemilu mencapai Rp 170 miliar, disusul
Gerindra Rp 147 miliar, Partai Demokrat Rp 135 miliar, dan Partai Nasdem Rp 115
miliar (Bisnis Indonesia, 7/5/2014).
Tingginya belanja iklan ini tak mungkin diambil dari
bantuan APBN/APBD dan dapat dipastikan berasal dari sumbangan yang tak dikenal
asal-usulnya. Tingginya selisih laporan keuangan dan belanja parpol seharusnya
bisa dijadikan pintu masuk oleh kejaksaan dan KPK untuk meneliti sistem
akuntansi parpol agar "pembodohan publik" ini tidak berlanjut.
Audit dan pengawasan
Faktor lain yang perlu diperbaiki adalah sistem
pengawasan dan audit keuangan parpol. Sampai kini, BPK tak bisa mengaudit
keseluruhan keuangan parpol karena hanya diberi kewenangan mengaudit keuangan
parpol yang berasal dari APBN/APBD yang jumlahnya berkisar 5 persen dari total
keuangan parpol. Lembaga publik seharusnya jauh lebih transparan dan akuntabel
dibandingkan dengan lembaga lain.
Pendeknya kita tak boleh lagi membiarkan parpol kita
hidup dalam kegelapan dan menutup dirinya dari jangkauan lembaga audit negara.
Praktik semacam ini tidak saja bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola
yang baik (good governance) yang mengutamakan transparansi dan akuntabilitas,
tapi juga melanggar norma-norma dalam UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik. Jika elite parpol masih enggan terbuka, masyarakat bisa
bergerak maju menuntut hak-hak mereka melalui UU Keterbukaan Informasi Publik
dan sejumlah bentuk pengawasan lainnya.
Sumber: Kompas, 22 September 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!