Oleh Refly Harun
Pakar/Praktisi Hukum Tata Negara dan Pemilu
LAMA tidak terdengar nasibnya, kini RUU tentang
Pemilihan Kepala Daerah termasuk yang bakal disahkan pada akhir masa jabatan
anggota DPR periode 2009-2014. Namun, semakin mendekati pengesahan, pembahasan
malah terkesan mundur.
Salah satu
proposal yang diajukan adalah mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan oleh DPRD, baik untuk provinsi
maupun kabupaten/kota. Usul terakhir ini sangat kuat didukung oleh Koalisi
Merah Putih, aliansi baru dalam altar politik Indonesia yang awalnya terbentuk
untuk mengusung pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa.
Isu tentang
cara pemilihan kepala daerah termasuk masalah yang telah memunculkan pro kontra
selama proses pembahasan RUU Pilkada. Awalnya, draf pemerintah mengintroduksi
dua hal: gubernur dipilih DPRD dan bupati/wali kota dipilih langsung oleh
rakyat. Alasan yang mengiringi proposal gubernur dipilih DPRD antara lain biaya
pemilihan gubernur terlalu mahal, padahal kewenangannya terbatas. Ada pula
alasan soal konflik horizontal yang dipicu oleh pilkada.
Usul
pemerintah tersebut mengundang kritik. Kalau soalnya biaya, mengapa bukan
bupati/wali kota saja yang dipilih DPRD, karena jumlah bupati/wali kota yang
harus dipilih hampir 500 orang, sedangkan gubernur hanya 33 (kini 34 setelah
Kalimantan Utara ditetapkan sebagai provinsi baru). Demikian pula soal konflik
horizontal, justru pemilihan bupati/wali kota yang lebih berpotensi memicu
konflik horizontal di masyarakat karena teritorial yang lebih sempit serta
jarak antara kandidat dan calon yang lebih dekat. Lalu soal terbatasnya fungsi
gubernur, bukankah jalan keluarnya dengan memperkuat kewenangannya dalam revisi
UU Pemerintahan Daerah, bukan meniadakan pemilihan langsung.
Merespons
kritik tersebut, haluan pun berbalik. Pemerintah merevisi usulan menjadi
gubernur yang dipilih langsung, sementara bupati/wali kota dipilih oleh DPRD.
Proposal ini juga didukung sebagian ahli yang berpendapat banyak kabupaten/kota
belum siap ber-pilkada. Bisa dikatakan, belum ada usul untuk menghapuskan sama
sekali pemilihan langsung kepala daerah.
Gugatan
konstitusionalitas
Kini, dengan
munculnya Koalisi Merah Putih, pemilihan langsung yang telah diperjuangkan
komponen masyarakat sejak 2002 —saat itu Centre for Electoral Reform (Cetro)
mengampanyekan pemilihan langsung menjelang Pilkada DKI Jakarta— hendak
dihapuskan sama sekali.
Imajinasi
Koalisi Merah Putih mudah ditebak. Dengan perkiraan penguasaan mayoritas di
DPRD-DPRD seluruh Indonesia, sangat mudah bagi aliansi yang terdiri dari Partai
Golkar, Gerindra, PPP, PAN, PKS, dan Demokrat ini untuk merenggut posisi
kepemimpinan daerah sepanjang koalisi solid. Pertanyaan tentang soliditas itu
penting dikemukakan karena PKS ternyata tidak ikut dalam barisan penyokong
pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Soalnya bukan
apakah Koalisi Merah Putih akan menyapu bersih pilkada, melainkan pemilihan
oleh DPRD itu akan memunculkan gugatan konstitusional. Bagi sebagian ahli
konstitusi, pemilihan oleh DPRD bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 18 Ayat (4)
UUD 1945 memang menyatakan bahwa pemilihan dilakukan secara demokratis, tidak
eksplisit dipilih secara langsung.
Namun, jangan
lupa, pasal tersebut disepakati pada Perubahan Kedua (2000) UUD 1945, sebelum
kesepakatan pemilihan langsung presiden pada Perubahan Ketiga (2001). Apabila
kesepakatan pemilihan langsung presiden telah dirumuskan terlebih dulu,
ceritanya bisa lain.
Alotnya
perdebatan tentang pemilihan langsung presiden di antara fraksi-fraksi di MPR
telah membuat perumusan pemilihan kepala daerah sengaja digantung dengan frasa
"dipilih secara demokratis". Padahal, kalau diperhadapkan mana yang
lebih demokratis antara pemilihan langsung dan pemilihan tidak langsung, tentu
saja yang pertama yang lebih demokratis.
Sejak 2004,
melalui UU Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 telah ditafsirkan
sebagai pemilihan langsung. Hal itu merupakan perkembangan tafsir yang bisa
dipandang lebih sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut.
Dalam sistem
pemerintahan presidensial, kepala pemerintahan di level nasional dipilih melalui
pemilu, tidak oleh parlemen seperti dalam sistem parlementer. Hal yang sama
tentu berlaku pula untuk pemilihan kepala pemerintahan di level lokal.
Masa jabatan
anggota DPR periode 2009-2014 tinggal berbilang hari. Pada 1 Oktober nanti para
anggota DPR yang baru akan mengangkat sumpah.
Bisa dikatakan
ritme kerja anggota Dewan saat ini sudah memasuki masa transisional. Mereka
yang masih terpilih lagi mungkin akan memanfaatkan fase sekarang untuk evaluasi
diri. Mereka yang tidak terpilih, bisa jadi, mulai melirik lahan lain
pengabdian. Pada situasi seperti ini sangat tidak bijak memaksakan pengesahan
RUU Pemilihan Kepala Daerah. Terlebih masih ada hal substansial dan krusial
yang belum disepakati.
Tolak
pengesahan
Kalaupun ingin
dipaksakan pengesahan RUU Pilkada, lebih baik dilakukan perubahan terbatas atas
pasal-pasal pilkada dalam UU No 32/2004. Cukup disepakati penyesuaian terhadap
aturan-aturan pemilu yang sudah berkembang dan diterima dalam praktik pemilu
setelah disahkannya UU No 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan UU No 8/2012
tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Pembentukan
undang-undang apa pun harus berada di ruang yang terang, tidak boleh di lorong
gelap sebagaimana kesan kejar tayang RUU Pemilihan Kepala Daerah. Kemajuan
demokrasi yang sudah dicapai hendaknya terus ditingkatkan dengan memperbaiki
pranata berpemilu dari waktu ke waktu, tidak lantas mundur alias setback karena
kepentingan jangka pendek untuk sekadar menguasai kursi kepala daerah.
Oleh karena
itu, melalui mimbar ini, saya ingin mengajak kita semua untuk menolak proposal
pilkada oleh DPRD!
Sumber: Kompas,
9 Septrember 2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!