KALAU Prof Dr Sapardi Djoko Damono (80) masih hidup ia akan
menertawakan kami. Tinggal di kaki gunung dengan kawalan belukar yang masih
perawan, teman kami adalah katak di sungai, ubi kayu (singkong), keladi,
petatas dari kebun orangtua, dan panorama alam pegunungan nan eksotik. Puisi
dengan modal kata? Sabar dulu. Biarkan kami anak laki berdeklamasi dengan baju
disisip dengan celana sobek di bawah selangkangan. Atau rok teman-teman sesama
anak kampung yang dijahit dengan benang hasil pintal ibu-ibu mereka.
Nikmat? Tentu.
Tapi, jangankan Chairil Anwar atau Idrus, nama "tuan tanah" di jagad
sastra, tuan Sapardi pun tak akan ambil pusing dengan kami. Kalaupun mereka
tahu kami anak-anak tengah berdeklamasi ria di bawah hawa gunung yang manja,
mungkin hanya sebait doa mereka yang rapuh di sunyi puisi dari Jakarta, kota
bertabur beton. Kami hanya berdeklamasi. Bukan berpuisi. Kok begitu? Ya, tak
ada kata "puisi" yang membaptis omongan-omongan lisan rada seni yang
indah. Puisi kami sudah mampus: kami "berpuisi" dengan gambar.
Kamus Besar
Bahasa Indonesia, gudang kata, adalah barang mewah tuan-tuan yang mengatur
negara. Kami terpaut jauh. Sejauh langit dan bumi; bumi, tanah leluhur tempat
kami pijak nun di lereng. Kata yang segera menjadi puisi telah lama mampus. Puisi
sudah lapar dan lama mati di tengah sunyi: dibalut rimba lereng. Ia mati tapi
tidak (mati) dalam batok kepala kami yang telah penuh dengan gizi ubi kayu,
bunga & daun pepaya dari ladang bapak & ibu kami. Otak kami sudah
menyatu dengan katak di sungai yang mengalir di lekuk alam yang masih perawan.
Puisi mati tapi ia suci dan bertahan dalam benak kami. Ia beranak pinak dalam
wajah ubi kayu, pisang, katak, daunan hijau yang kami santap di ladang atau di
bibir anak sungai, tak jauh dari kampung. Kalaupun Sapardi, Chairil atau Idrus
tahu kala itu, ia akan menyapa kami dari jauh: dalam puisi meski nantinya puisi
juga jadi barang asing.
Mengapa? Kami
punya sebatas satu ini: deklamasi. Pun musiman. Untung-untungan kalau guru kami
membawa kami ke tengah lapangan lalu kata luruh seperti butiran jagung dari
serbet ibu yang sudah kabur warnanya. Kemudian satu per satu disuruh deklamasi
modal corat coret guru di atas selembar kertas putih polos agar kata merasuk
sukma yang sudah kebal dengan gizi dari dapur sederhana ibu. "Tali celana
kamu diikat kuat. Kalau saat berekspresi dalam deklamasi celana kalian tidak
melorot. Sayang kalo tali celana putus ayahmu bisa pening. Kata-kata yang kita
produksi adalah bahasa jiwa. Ia lentera batin melihat ke (dunia) luar,"
kata guru Bahasa Indonesia kala itu.
Puisi? Tak
ada. Sekali lagi: puisi sudah (lama) mampus. Tapi ia jadi seperti orang suci,
kudus dalam batin. Ia akan setia bekerja membasuh jiwa kita, jiwamu, kelak di
manapun ujung bumi kau pijak. Puisi akan jadi guru dalam setiap jejak tapak
yang kau ciptakan, katanya. Benar. Bersentuhan dengan Golgota, tempat
tengkorak, dalam (baru belakangan setelah "deklamasi" bergeser) puisi
di kota Timor, di atas batu karang dalam selembar koran lokal. Puisi (nama
baru) menemui ruang edisi Minggu. Menyebut penulis deklamasi takut dibilang
ndeso: kampungan. Dibilang penyair terlalu tinggi setinggi gunung Labalekan.
Ya, mau dibilang apa, terserah. Tapi jangan dibilang penyair. Terlalu
berlebihan. Atau abai lebe lebe, kata orang Kupang. Saya tidak di posisi itu.
Pas kalau menyebut John Dami Mukese di tingkat lokal (sekadar menyebut satu
nama) atau Sapardi, Chairil Anwar atau Idrus di level atas. Kalau Sapardi, ya.
Sapardi dalam hati saya tak lebih seorang pemangku ulayat "deklamasi",
"puisi" dalam khasana satra Indonesia. Ia telah memenuhi panggilan
Tuhan, sang Penyair dari segala penyair. Langit negeri bertabur kata di Ahad 19
Juli 2020 di Rumah Sakit Eka, Tangerang Selatan, seputaran Bumi Serpong Damai,
Banten. Sapardi menutup mata selamanya menghadap Tuhan, Sang Sabda.
Sosok Sapardi
Siapa
sastrawan Sapardi Joko Damono? Ia bukan orang kampung saya. Tapi kelak ia telah
mengajarkan banyak orang arti mengolah batin, mencintai manusia, dan negeri di
mana kita tinggal. Negeri bertabur onggokan tanah besar dan kecil bernama
seperti Lembata. Pulau yang juga jadi tempat lahir Prof Dr Gregorius Perawin
(Gorys) Keraf, guru besar dan ahli Tata Bahasa Indonesia. Sapardi lahir di
Solo, Jawa Tengah pada 20 Maret 1943. Ia anak pertama dari dua bersaudara pasangan
orangtua Sadyoko dan Sapariah. Sekolah mulai SD hingga SMA ia lalui di Solo.
'Melarat' (dalam istilah kampung saya) atau merantau ke Jogja, ia diterima di
jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada hingga meraih gelar tahun
1964. Tahun 1970-1971, ia terbang ke Hawaii untuk menempuh pendidikan non gelar
di University of Hawaii, Honolulu. Masa studi Sapardi yang kala itu saya masih
orok setelah ibu pecah ketuban di hutan tak jauh dari kampung dan saya mulai
bertemu dunia luas. Tahun 1989, Sapardi meraih gelar doktor (S-3) Universitas
Indonesia (UI). Disertasinya membedah novel-novel di Jawa tahun 1950-an. Baru
tahun 1995, ia dikukuhkan sebagai guru besar di Fakultas Sastra kampus negeri
itu.
Jejak Sapardi
Sapardi
memiliki sejarah panjang pengabdiannya di jalur pendidikan. Ia guru di ruang
kuliah dan guru di tengah masyarakat. Ia tentu mengajar bagaimana cara olah
gerak mimik dan tubuh yang baik saat deklamasi, berpuisi bagi banyak orang
terutama para penyair Indonesia bahkan dunia. Kompas.com menulis sekilas jejak
pengabdian Sapardi. Ia pernah menjadi dosen tetap, Ketua Jurusan Bahasa
Inggris, IKIP Malang Cabang Madiun, tahun 1964-1968. Tak lama diangkat sebagai
dosen tetap di Fakultas Sastra-Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang, tahun
1968-1973. Sejak 1974, ia bekerja sebagai dosen tetap di Fakultas Sastra, UI,
jurusan Sastra Indonesia. Fakultas ini yang kalau tak salah juga ada Gorys
Perawin Keraf, penulis Tata Bahasa Indonesia, buku yang jadi bacaan di
sekolah-sekolah, termasuk kampus-kampus di Indonesia. Sapardi pernah menjabat
Pembantu Dekan III, Fakultas Sastra, UI kurun waktu tahun 1979-1982. Tak lama
kemudian diangkat jadi Pembantu Dekan I pada 1982-1996. Lalu menjabat Dekan
tahun 1996-1999 di UI.
Tahun 2005, ia
memasuki masa pensiun sebagai guru besar Fakultas Ilmu Budaya, UI. Meski
demikian, ia masih diberi tugas sebagai promotor dan penguji di beberapa
perguruan tinggi, termasuk menjadi konsultan Badan Bahasa. Ia juga aktif di
lembaga seni dan sastra tahun 1970-1980. Ia pernah menjadi Direktur Pelaksana
Yayasan Indonesia Jakarta (1973-1980), redaksi majalah sastra Horison (1973),
Sekretaris Yayasan Dokumentasi Sastra HB Jassin (sejak 1975), anggota Dewan
Kesenian, anggota Badan Pertimbangan Perbukuan Balai Pustaka Jakarta (sejak 1987)
dan lain-lain. Tahun 1986, Sapardi mengemukakan perlunya mendirikan organisasi
profesi kesastraan di Indonesia. Ia pun mendirikan organisasi bernama Himpunan
Sarjana-Kesusasteraan Indonesia (Hiski) pada 1988 dan terpilih sebagai Ketua
Umum Hiski Pusat selama tiga periode. Sapardi juga tercatat sebagai anggota
Himpunan Pembina Bahasa Indonesia (HPBI), dan sebagai anggota Koninklijk
Instituut vor Taal Land-en Volkenkunde (KITLV). Selain aktif di dunia sastra
dalam negeri, Sapardi juga sering menghadiri berbagai pertemuan internasional,
seperti Translation Workshop dan Poetry International di Rotterdam, Belanda
(1971) dan Seminar on Literature and Social Exchange in Asia di Australia
National University Canberra.
Merujuk
Ikhtisar Kesusasteraan Indonesia Modern (1988) karya Pamusuk Eneste, Sapardi
dimasukkan dalam kelompok pengarang Angkatan 1970-an. Begitu pula dalam Sastra
Indonesia Modern II (1989) karya A Teeuw, Sapardi digambarkan sebagai
cendekiawan muda yang mulai menulis sekitar 1960. Puisinya banyak dikagumi.
Mengapa? Banyak kesamaan dengan yang ada dalam persajakan Barat yang disebut
simbolisme sejak akhir abad ke-19. Beberapa karyanya adalah Duka-Mu Abadi
(1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Hujan
Bulan Juni (1994), dan Arloji (1998). serta Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela
(2000), Ada Berita Apa Hari Ini, Den Sastro (2003), kumpulan cerpen Pengarang
Telah Mati (2001), dan kumpulan sajak Kolam (2009).
Sapardi
sungguh pakar sastra yang dimilik Indonesia. Beberapa buku penting karyanya
saya sebut di sini. Misalnya, Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas
(1978), Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusastraan Indonesia
Modern: Beberapa Catatan (1999), Novel Jawa Tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi,
dan Struktur (1996), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), Sihir
Rendra: Permainan Makna (1999), dan Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan: Sebuah
Catatan Awal. Ia juga menerjemahkan beberapa karya sastra asing ke dalam bahasa
Indonesia. Misalnya, Lelaki Tua dan Laut (The Old Man and the Sea, Hemingway);
Daisy Manis (Daisy Milles, Henry James); Puisi Brasilia Modern; George Siferis;
Sepilihan Sajak; Puisi Cina Klasik; Puisi Klasik; Shakuntala; Dimensi Mistik
dalam Islam karya Annemarie Schimmel; Afrika yang Resah (Song of Lowino dan
Song of Ocol oleh Okot p'Bitek); Duka Cita bagi Elektra (Mourning Becomes
Electra oleh Eugene O'Neill); Amarah I dan II (The Grapes of Wrath, John
Steinbeck), dan lain-lain.
Apresiasi
Sapardi adalah
sastrawan berjasa di bidangnya selama masih hidup. Peran dan karyanya di bidang
sastra, berbuah aneka penghargaan, apresiasi di bidang sastra. Hadiah Majalah
Basis atas puisinya "Balada Matinya Seorang Pemberontak" (1963);
Penghargaan Cultural Award dari Pemerintah Australia (1978); Mendapat Hadiah
Anugerah Puisi-Puisi Putera II untuk bukunya Sihir Hujan dari Malaysia (1983);
Mendapat hadiah dari Dewan Kesenian Jakarta atas bukunya yang berjudul Perahu
Kertas (1984); Mataram Award (1985); Menerima hadiah SEA Write Award (Hadiah
Sastra Asean) dari Thailand (1986); Mendapat Anugerah Seni dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1990); Kalyana Kretya dari Menristek RI (1996);
Mendapat penghargaan The Achmad Bakrie Award for Literature (2003);
Khatulistiwa Award (2004); dan Penghargaan dari Akademi Jakarta 2012). Hari ini
dunia sastra Tanah Air tentu merasa kehilangan Sapardi. Tapi, saya percaya
panggilan Sang Sabda lebih ia rindukan. Sapardi tak mau puisinya tetap hadir
nun di rumah-Nya. Tak lagi seperti kami anak kampung tempo doeloe yang suka
deklamasi di tengah lapangan di bawah bayang-bayang tali celana yang rerancam
putus. Meski perut kami sudah aman dengan singkong, daging katak atau pesona
alam pegunungan yang menggoda dan menyemangati kami melangkah dalam diam demi
masa depan. Meski kami relah puisi kami mampus dan kami bertahan dengan
deklamasi saja.
Sapardi, saya
akan deklamasikan "Hujan Bulan Juni", puisi karyamu. Dalam hati,
tentunya. Kali ini saya deklamasikan tanpa tali celana berbahan benang pintalan
ibu atau tali waru hasil kreasi ayah saya di kampung saat saya masih kecil.
Hujan Bulan
Juni
tak ada yang
lebih tabah
dari hujan
bulan Juni
dirahasiakannya
rintik rindunya
kepada pohon
berbunga itu
tak ada yang
lebih bijak
dari hujan
bulan Juni
dihapusnya
jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu
di jalan itu
tak ada yang
lebih arif
dari hujan
bulan Juni
dibiarkannya
yang tak terucapkan
diserap akar
pohon bunga itu
(hujan bulan
juni, 1994).
Selamat jalan,
Sapardi. Berpuisilah dari Surga agar puisi tak lagi mampus seperti dulu; dalam
sunyi alam pegunungan. Bahagia selalu. Selalu, Sapardi. Requiscat In Pace.
Damailah di sisi-Nya.
Jakarta, 19
Juli 2020
Ansel Deri
Orang udik
penikmat sastra;
Mengenang
Sapardi Djoko Damono
Sumber foto:
google.co.id
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!