Lembata hingga pertengahan Mei 2002 masih sebagai kabupaten bungsu dari 13 kabupaten dan satu kota di Nusa Tenggara Timur (NTT). Usianya pun masih bayi. Baru lepas dari induknya, Kabupaten Flores Timur (Flotim) tanggal 14 Oktober 1999 sesuai UU Otonomi Lembata No 52/1999. Menyusul itu, PB Keraf ditunjuk sebagai pelaksana tugas Bupati Lembata hingga pemilihan bupati/wakil bupati definitif, tanggal 8 April 2001.
Saat pemilihan itu ada tiga pasang kandidatnya. Mereka adalah PB Keraf/Alo Liliweri, PB Keraf (lagi) /Y Oladolu dan terakhir Andreas Duli Manuk/Felix Kobun. Hasil pemilihan menempatkan pasangan terakhir, Andreas/Felix sebagai pemenangnya setelah berhasil meraih 12 suara dari 20 anggota DPRD Lembata. Saingannya, PB Keraf/Alo Liliweri (7) dan PB Keraf/Oladolu (1). Setelah terjadi tarik dorong terkait isu politik uang, pasangan Andreas/Felix akhirnya dilantik menjadi bupati definitif pertama Lembata, tanggal 4 Agustus 2001 atau empat bulan setelah pemilihannya.
Sebagai kabupaten baru, ada sejumlah persoalan daerah yang menuntut perhatian serius pemerintah bersama masyarakatnya. Dari wilayahnya seluas 1.266,38 km persegi, sebagian besar wilayah daratannya masih terisolasi. Kalaupun jaringan jalannya sudah menusuk hingga sejumlah perkampungan pedalaman, kondisinya masih mirip jalan liar. Badan jalannya sempit, berlubang-lubang atau masih dengan gundukan batu liar yang sangat menghambat kelancaran lalu lintas.
Sebagai contoh, Kampung Kluang di Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun. Dari Lewoleba, ibu kota Kabupaten Lembata, jaraknya hanya sekitar 28 km arah selatan dan jaringan jalannya sudah tembus. Namun tidak perlu terkejut. Amat jarang angkutan pedesaan ke sana. Bepergian ke kampung itu, pilihan cepat hanya dengan kendaraan sewaan jenis jip. Tarifnya luar biasa mahalnya, Rp 400.000 sekali jalan. Menjadi sangat mahal karena perjalanan harus ditempuh antara tiga sampai empat jam. Kendaraan terpaksa merangkak sangat pelan karena harus menerobos jalan yang belum tersentuh penataan semestinya.
"Wilayah perkampungan termasuk daerah kantung produksinya yang masih terisolasi, merupakan kendala serius Lembata," tutur Bone Pukan (40), warga Kota Kupang asal Lembata, yang terakhir mengunjungi kampung kelahirannya, Kluang, April lalu. "Hasil kebun kami seperti kemiri, jambu mete, kacang dan lainnya untuk sementara sulit dipasarkan akibat kendala transportasi itu," kata Yoseph Enga (40) di Desa Belabaja, Nagawutun.
Berpenduduk 89.697 jiwa, Lembata yang kini didukung delapan kecamatan, hingga sekarang tanpa jalan negara. Jaringan jalan yang ada seluruhnya 1.017 km, terdiri dari jalan provinsi 52 km, jalan kabupaten 325 km dan jalan kecamatan/desa 640 km. Kondisi jalan seluruhnya rata-rata memprihatinkan. Lebih parah jalan kecamatan/desa, lebih mirip disebut sebagai jalan liar.
Wakil Bupati Lembata Felix Kobun bahkan mengakui kecuali isolasi wilayah, masih ada dua masalah serius lainnya yang mengganjal kabupaten baru itu. Kedua masalah itu adalah kesulitann air bersih serta jangkauan penerangan listrik PLN yang masih sangat terbatas. “Kesulitan air bersih masih merupakan persoalan besar di Lembata,” katanya Rabu (15/5) lalu.
KABUPATEN Lembata yang wilayahnya berupa sebuah pulau dalam kepungan sekitar 300 km garis pantainya, pada tahun 2002 ini APBD-nya Rp 130,686 milyar lebih. Seperti di tingkat provinsi atau kabupaten lain di NTT, ketergantungan Lembata pada subsidi pusat hampir total. Lihat saja dari keseluruhan APBD 2002 itu, sumbangan dari Dana Alokasi Umum (DAU) mencapai Rp 97,2 milyar. Lainnya dari pendapatan asli daerah hanya Rp 3,3 milyar, pos bagi hasil pajak Rp 2,5 milyar dan sisa perhitungan anggaran tahun lalu Rp 26,595 milyar.
Tidak jauh berbeda dengan daerah lainnya di NTT, Lembata termasuk kabupaten kering, juga miskin. Meski demikian tidak berarti tanpa potensi ekonominya. Sejauh ini tumpuan hidup masyarakat terbanyak dari kiriman keluarga mereka di perantauan terutama di Malaysia. Daratan Lembata juga menghasilkan kopra yang produksi tahunannya sekitar 2.000 ton. Menyusul kemiri sekitar 1.000 ton, jambu mete kurang lebih 500 ton. Lainnya, jagung 24.000 ton, kacang tanah 4.500 ton, kacang hijau 5.000 ton, juga ada sayuran serta buah-buahan.
Sementara para petani selalu kesulitan memasarkan berbagai jenis hasil kebunnya ke pasar akibat kendala jaringan jalan yang belum meluas atau wilayahnya yang masih terisolasi. Meski belum cukup menonjol, Lembata memiliki beberapa kawasan yang diketahui sebagai kantung produksinya. Kawasan itu seperti di Kecamatan Nagawutun, Atadei, Omesuri dan Boyasuri yang dikenal sebagai penghasil kemiri, kopra dan jambu mete dan juga kopi.
Bumi Lembata dilaporkan juga menyimpan potensi pertambangan. Penelitian LPPGI (Lembaga Penelitian dan Pengembangan Geoteknologi Indonesia) bekerja sama dengan Geological Survey Japan (GSJ) beberapa waktu lalu, pernah melaporkan Lembata menyimpan kandungan emas sekitar 600 gram per ton batuan. Katanya, kandungan itu sekitar 150 kali dari kandungan emas di Cikotok (Jawa Barat) atau 300 kali dari kandungan emas di Kalimantan. Namun kesemuanya masih berbentuk potensi yang belum bernilai ekonomis. (Frans Sarong)
Sumber: Kompas
Ket foto: Sejumlah warga desa yang melintas di depan kantor Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, NTT. Foto: dok. Ansel Deri
Ket foto: Sejumlah warga desa yang melintas di depan kantor Desa Belabaja, Kecamatan Nagawutun, Kabupaten Lembata, NTT. Foto: dok. Ansel Deri
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!